ANALISA EKONOMI POLITIK
Coen Husain Pontoh
Mahasiswa Ilmu Politik di City University of New York (CUNY)
SALAH satu ciri utama dari demokrasi, adalah adanya jaminan akan kebebasan berekspresi (freedom of expression). Maksudnya, agar demokrasi menjadi sehat dan kuat ia harus menjamin dan melindungi hak setiap orang dan kelompok untuk berpendapat. Setajam apapun pendapat itu.
Diktum ini, diterima oleh semua pendukung demokrasi. Soalnya kemudian, kebebasan berpendapat itu bukan hal yang abstrak. Dalam realitas, walaupun semua orang bebas mengemukakan isi kepalanya, tetapi jangkauan dan pengaruhnya berbeda-beda pada setiap orang. Suara seorang buruh pabrik, tidak sama kuat, luas dan pengaruhnya dengan suara seorang Susilo Bambang Yudhoyono, yang presiden. Atau, suara SBY juga tidak sama kuat, luas, dan pengaruhnya dengan suara Surya Paloh, seorang konglomerat pemilik media cetak dan televisi berjangkauan nasional.
Dengan demikian, ketika kebebasan berpendapat itu diperlakukan sama, maka sesungguhnya kita telah memperlakukan setiap orang tidak setara. Apalagi ditambah kenyataan bahwa konglomerasi media, dengan jejaring yang melintasi batas nasional telah menjadi hal yang lumrah saat ini. Dengan kekuasaan, kekayaan dan pengaruhnya yang luas, suara mereka jauh lebih dominan dan berpengaruh ketimbang suara petani yang demonstrasinya hanya muncul sekolom kecil di halaman dalam media cetak atau di running text di media televisi. Celakanya, ketika muncul upaya untuk memberlakukan regulasi diseputar masalah kebebasan berekspresi ini, khususnya regulasi terhadap media massa maka serta-merta muncul gugatan bahwa upaya tersebut bertentangan dengan demokrasi, telah satu langkah menuju kediktatoran.
Benarkah demikian?
Pertanyaan ini muncul di Republik Bolivarian Venezuela. Di negeri yang kini menjadi mercusuar gerakan sosialisme abad ke-21 itu, media massa cetak dan elektronika membuktikan dirinya anti demokrasi. Media di negeri itu bukan saja tidak menghormati presiden Hugo Chavez yang terpilih secara demokratis melalui pemilihan umum, tapi lebih dari itu telah memprovokasi dan mendukung secara aktif kudeta militer yang gagal pada 2002.
Apakah ini tujuan dari kebebasan berekspresi oleh media? Untuk menjawabnya, mungkin ada baiknya kita lihat sepintas, mengapa media massa di Venezuela begitu anti demokrasi. Secara ekonomi politik, struktur penguasaan media sangatlah timpang. Sekelompok kecil keluarga kaya menguasai 15 stasiun televisi, dimana dari yang kecil itu media televisi dikuasai oleh dua group besar, yakni group Cisneros dan group Bottome & Granier. Group Cisneros memiliki stasiun televisi terbesar di Venezuela, Venevisión. Mereka juga menguasai lebih dari 70 media outlet di 39 negara, termasuk DirecTV Latin America, AOL Latin America, Caracol Television (Colombia), the Univisión Network di AS, Galavisión, dan Playboy Latin America. Sementara konglomerasi Bottome & Granier memiliki Radio Caracas Televisión (RCTV) dan Radio Caracas Radio. Di luar kedua group ini, media swasta yang coba mengisi ruang udara penyiaran yang tersisa adalah Televen, Globovisión, CMT dan La Tele.
Di sektor media cetak, dominasi kepemilikan di tangan segelintir keluarga kaya juga menonjol. Sebagai contoh, enam harian terbesar hanya dimiliki group tertentu. Sementara itu, ada 200 majalah dan 50 koran yang beredar di Venezuela. Struktur kepemilikan ini juga bisa saling-silang, dimana pemilik tabloid adalah juga pemilik koran dan majalah. Salah satu pemipin oposisi Teodore Petkoff, adalah editor El Mundo, harian sore yang diterbitkan oleh group Capriles, yang menjadi media pertama yang secara terbuka menyatakan oposisinya terhadap presiden Hugo Chavez. Petkoff kemudian menggunakan El Mundo sebagai corong propagandanya melawan Chavez. Tidak cukup dengan El Mundo, Petkoff lalu menerbitkan harian Tal Cual, sebagai corong oposisinya.
Dengan struktur kepemilikan seperti itu, media di Venezuela tidak hanya bicara soal kebebasan berekspresi, tapi juga menjadi corong untuk menyuarakan kepentingan politik para pemiliknya, serta menjadi mesin bagi proses akumulasi kapital yang luar biasa besar. Sebagai contoh, di Venezuela, lima stasius televisi utama menguasai 90 persen pasar, dan stasiun swasta yang lebih kecil hanya menguasai 5 persen sisanya. Semenjak Chavez terpilih sebagai presiden pada 1999, penguasa 95 persen pasar media televisi ini telah memainkan perannya sebagai oposan Chavez. Apa yang disebut netralitas media, hanya ada dalam literatur-literatur penuh debu di perpustakaan dan ruang-ruang kuliah yang terasing dari realitas.
Lantas bagaimana bersikap terhadap standar ganda dan perilaku anti demokrasi yang dipertontonkan oleh media yang dikuasai korporasi ini? Ada dua jalan yang mesti dilakukan: pertama, harus ada regulasi soal demokratisasi kepemilikan media melalui pembatasan luas jangkauan penyiaran serta penguasaan pangsa pasar; kedua, kelompok progresif sendiri harus mampu membangun medianya sendiri yang kredibel, taat pada cara kerja jurnalisme yang benar, serta menghindarkan diri dari jargonistik.
Yang terakhir inilah yang coba dilakukan oleh Correo del Orinico. Tabloid mingguan ini, adalah tabloid pertama dan satu-satunya yang berbahasa Inggris yang terbit di Venezuela dan dikelola oleh para pendukung revolusi Bolivarian. Pertama kali diluncurkan pada 22 Januari 2010, Correo del Orinoco dimaksudkan untuk menyuarakan peristiwa-peristiwa terkini yang terjadi di Venezuela, dari perspektif Venezuela.
Menurut Eva Golinger, sang pemimpin redaksi, tabloid ini hadir untuk menjadi alternatif dari media domestik maupun internasional yang dikuasai oleh korporasi, yang dalam pemberitaannya miskin fakta namun sangat bias dan cenderung mengabaikan capaian-capaian positif dari pemerintahan republik Bolivarian. “Misi terpenting kami adalah menghancurkan manipulasi masif yang dilancarkan oleh media mainstream dan menerobos blokade informasi melawan Venezuela. Kami juga ingin menginformasikan kepada komunitas internasional tentang kegiatan-kegiatan yang luar biasa yang terjadi di Venezuela sehari-hari, yang sangat jarang mendapatkan perhatian dari media korporat,” ujar Golinger, perempuan yang oleh Chavez diberi julukan “La Novia de Venezuela/kekasih hatinya Venezuela”,
Tujuan yang dikemuakakan Golinger itu tampak dari pemilihan nama tabloid ini. Pada mulanya, Correo del Orinoco adalah media yang didirikan oleh Simon Bolivar, pejuang pembebasan Amerika Latin dari kolonialisme Spanyol, pada 27 Juni 1818. Tujuannya untuk menjadi sumber informasi utama selama masa perang kemerdekaan dan saat pendirian Republik Venezuela. Guna mewujudkan tujuan itu, Bolivar mendorong penulisan berita dan opini yang berpihak pada kepentingan pembebasan nasional. Karena itu, Bolivar kemudian memberikan slogan ““Artillery of Ideas” kepada Correo del Orinoco.
Rupanya, walau berbeda jaman, tantangan yang dihadapi Simon Bolivar tetap dianggap aktual. Itu sebabnya, nama dan slogan peninggalan Bolivar ini, tetap dipertahankan oleh generasi baru pergerakan progresif Venezuela.
Selamat datang Correo del Orinoco.***