LIPUTAN KHUSUS
Buruh Indonesia di Era Neoliberalisme
Coen Husain Pontoh
HARI-HARI Kiswoyo, sedang tidak menentu. Lelaki tua ini adalah buruh PT Sarasa Nugraha Tbk Management, unit pabrik Balaraja, Tangerang, sejak tahun 1994. PT Sarasa Nugraha adalah perusahaan manufaktur yang memroduksi pakaian dengan tujuan eksport AS. Kliennya antara lain Polo Ralph Lauren, Jones Apparel Group, Kohl’s Department Store, dan Perry Ellis International.
Selama bekerja di PT Sarasa Nugraha, gaji terakhir yang diterima Kiswoyo sebesar Rp. 675.000/bulan. Kebijakan perusahaan ternyata tidak membedakan antara gaji buruh lama dengan buruh baru. Di samping itu, kondisi kerja sangat buruk: fasilitas cuti hamil yang dipersulit pengambilannya, buruh sakit yang terus dipaksa bekerja, tidak diperbolehkan beristirahat, dan hanya boleh berobat ke klinik sederhana seperti PUSKESMAS (pusat kesehatan masyarakat). Jika buruh terpaksa harus masuk rumah sakit, maka perusahaan hanya menyanggupi untuk membayar separuh dari biaya pengobatan. Sementara itu, serikat buruh kuning, lebih berpihak kepada perusahaan ketimbang kepada anggotanya.
Kondisi kerja yang buruk ini, kemudian memicu pemogokan buruh yang tergabung dalam Federasi Serikat Buruh Karya Utama (FSBKU). Menghadapi pemogokan ini, perusahaan dengan dimediasi pemerintah mencapai kesepakan dengan serikat buruh, yang disebut collective labor agreement (CLA), yang masa aktif berlakunya dari 2002-2004. Berdasarkan hasil CLA ini, perusahaan diwajibkan memenuhi tuntutan buruh seperti dipermudahnya pengambilan cuti haid dan fasilitas berobat ke rumah sakit yang lebih baik. CLA juga menyebutkan bahwa kenaikan upah harus dinegosiasikan pada setiap bulan Januari.
Pada bulan Desember 2003, buruh yang menjadi anggota serikat pekerja tingkat pabrik (SPTP), melakukan perundingan dengan pihak manajemen. Hasil dari perundingan itu disepakati bahwa perusahaan akan memberikan kenaikan gaji tahunan pada Januari 2004. Tetapi hingga tanggal yang ditetapkan, perusahaan ternyata mengingkari kesepakatan bersama tersebut.
Setelah menunggu sampai tiga kali penundaan keputusan tentang kenaikan gaji oleh perusahaan, Kiswoyo bersama dengan 1.652 buruh lainnya, menggelar pemogokan setengah hari pada 3 February 2004. Jika sebelumnya perusahaan melunak terhadap aksi pemogokan buruh, kali ini mereka mengabaikan tuntutan tersebut. Dengan alasan pailit dan tidak ada order dari klien, perusahaan memutuskan untuk menutup pabrik secara temporer dan menjadwalkan kembali pertemuan dengan serikat buruh pada 6 Februari. Untuk menghindari aksi pengambilalihan pabrik oleh buruh, pihak perusahaan kemudian menyewa pasukan paramiliter sipil, untuk berjaga-jaga di sekeliling dan di dalam pabrik.
Dalam pertemuan tanggal 6 Feberuari, pihak perusahaan mengumumkan akan menutup pabrik secara permanen. Bersamaan dengan keputusan itu, gaji dan fasilitas lain yang menjadi hak buruh juga dihentikan. Akibatnya sebanyak 1652 orang buruh, 1084 diantaranya buruh perempuan dan keluarganya kehilangan sumber penghasilannya; 46 buruh perempuan yang hamil dan 961 anak balita terancam kekurangan gizi, 558 anak terancam putus sekolah. Selain itu 50 keluarga buruh terusir dari rumah kontrakan karena sudah tidak mampu membayar uang sewa rumah. Tragisnya ada 2 orang buruh meninggal dunia akibat tidak mampu lagi menyediakan biaya untuk berobat.
Menghadapi keputusan perusahan yang menutup pabrik, pihak SPTP tak mengendorkan perlawanannya. Dalam pandangan SPTP, alasan perusahaan menutup pabrik karena pailit dan tidak ada order, adalah alasan yang tidak berdasar. Faktanya, pabrik lain juga milik PT. Sarasa Nugraha yang terletak di Cibodas, Tangerang, tidak mengalami masalah. Karena itu, Pada t29 April 2004, SPTP mengadakan aksi demonstrasi di kantor Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Tangerang di Cikokol, menuntut agar 1.650 buruh yang dipecat secara massal itu dipekerjakan kembali oleh PT. Sarasa Nugraha. Karena tidak ada tanggapan dari perusahaan, pada 23 Agustus 2004, 1.650 buruh PT Sarasa Nugara tersebut, mengadakan aksi pendudukan kantor departemen tenaga kerja, di Jakarta. Tuntutan mereka tetap sama, menolak keputusan PHK massal yang dilakukan perusahaan dan menuntut agar perusahaan kembali mempekerjakan mereka seperti semula. Seminggu setelahnya, yakni 1 September 2004, ribuan Buruh PT. Sarasa Nugraha Tbk, kembali melakukan aksi unjuk rasa dengan memblokir jalan sepanjang depan Pabrik tekstil itu.
Melalui taktik demonstrasi jalanan yang dipadukan dengan taktik negosiasi, pada akhirnya sebagian tuntutan SPTP diakomodir. Pada 11 Oktober 2004, dicapai kesepakatan antara pihak SPTP dengan PT Sarasa Nugraha, dimana salah satu keputusannya adalah pihak perusahaan kembali membuka pabrik dan mempekerjakan kembali 800 orang buruh yang bersedia kembali bekerja di tempat yang sama. Tetapi, sisi buruk dari kesepakatan ini, SPTP terpaksa menerima kenyataan bahwa mereka yang dipekerjakan kembali ini dianggap sebagai buruh baru dengan dengan masa uji-coba tiga bulan. Jika dalam waktu tiga bulan pekerjaannya dianggap baik, mereka bisa diangkat sebagai buruh tetap.
Kenyataan ini membuat SPTP kembali menuntut agar perusahaan mempekerjakan kembali 800 buruh tersebut berdasarkan posisi semula sebelum pabrik ditutup. Setelah melalui serangkaian demonstrasi, perundingan, dan solidaritas internasional yang dipelopori oleh The Clean Clothes Campaign (CCC), the Campaign for Labor Right (CLR), and the Worker Right Consortium (WRC) pada Agustus 2005, perusahaan kemudian memenuhi tuntutan pihak SPTP terhadap hak-hak 800 buruh yang kembali bekerja tersebut.
Kiswoyo sendiri memilih untuk tidak lagi bekerja di pabrik tersebut. Ia kini aktif sebagai anggota divisi advokasi SPTP dan anggota Perhimpunan Rakyat Pekerja/The Working People Association (PRP), komite kota Tanggerang.
Berjuang di bawah hantaman neoliberalisme
Apa yang terjadi pada Kiswoyo dan buruh PT Sarasa Nugraha, hanyalah puncak gunung es dari masalah perburuhan yang terjadi di Indonesia.
Krisis ekonomi yang menghantam Indonesia pada 1997, telah menyebabkan negeri dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia itu, menderita sangat parah. Krisis ekonomi juga menyebabkan nilai mata uang rupiah melemah terhadap dollar US, yakni dari sekitar Rp. 2.500 per US$1 pada pertengahan tahun 1997 menjadi Rp. 17.000 per US$1 pada awal tahun 1998. Akibatnya, besaran utang luar negeri membengkak hingga mencapai US$138 pada Maret 1998.
Dua keadaan ini menyebabkan banyak perusahaan bangkrut atau melakukan pemecatan terhadap buruhnya. Misalnya, sebagai respon terhadap krisis moneter, pemerintahan Soeharto memutuskan untuk melikuidasi 16 bank pada akhir November 1997, yang menyebabkan sekitar 8.000 karyawannya menganggur. Hasilnya, jumlah pengangguran melonjak drastis dari masa sebelumnya. Berdasarkan data dari departemen tenaga kerja, pada tahun 1997 total angka pengangguran mencapai 40 % dari 90 juta angkatan kerja, atau sekitar 36 juta orang. Pada tahun 1998, dengan tingkat pertumbuhan sekitar 3.5% sampai 4%, maka tenaga kerja baru yang bisa diserap sekiar 1.3 juta orang dari tambahan angkatan kerja sebanyak 2.7 juta orang. Data lain dari biro pusat statistik juga memperlihatkan peningkatan jumlah pengangguran dari 4.9 % pada tahun 1996 menjadi 6.4. % pada 1999.
Keadaan ini memicu demonstrasi besar-besaran di berbagai kota, dan mendorong krisis politik lebih jauh, sehingga tak bisa lagi dikontrol oleh pemerintahan jenderal Soeharto, yang berkuasa secara diktator selama lebih dari 30 tahun. Dalam kondisi krisis ekonomi politik itu, Soeharto terpaksa tunduk pada resep-resep neoliberal yang didiktekan oleh IMF. Hal yang paling diingat publik, bagaimana managing director IMF, Michel Camdessus, melipat tangan di dadanya dengan gaya yang angkuh, sambil memerhatikan Soeharto yang membungkuk membubuhkan tanda-tangannya ke atas letter of Intent (LoI), pada 15 Januari 1998. LoI tersebut berisi serangkaian kebijakan neoliberal seperti restrukturisasi perbankan, liberalisasi perdagangan, liberalisasi keuangan, dan deregulasi
Tetapi penandatanganan LoI ini, gagal menyelamatkan pemerintahan Soeharto. Krisis ekonomi terus memburuki, sementara gelombang demonstrasi massal yang dimotori gerakan mahasiswa tak bisa lagi dibendung. Perpecahan di tingkat elite penguasa akhirnya tak terhindarkan. Pada 18 Mei 1998, ketua DPR/MPR Harmoko, mengusulkan agar Soeharto sebaiknya mundur. Perpecahan rulling elite paling tampak terjadi pada 2008, ketika sebanyak 14 menteri kabinet pembangunan VII pimpinan Ginandjar Kartasasmita, menyatakan mundur pada 20 Mei 1998. Puncaknya terjadi pada 21 Mei 1998, jenderal Soeharto menyatakan mundur dari jabatannya sebagai presiden.
Berdasarkan konstitusi 1945, jika presiden berhalangan tetap, wakil presiden otomatis menjadi presiden. Soeharto kemudian menyerahkan kekuasaannya kepada wakil presiden, Baharuddin Jusuf Habibie. Sebagai presiden yang lahir dari hasil perlawanan rakyat terhadap Soeharto, Habibie berusaha menunjukkan bahwa pemerintahannya lebih demokratis ketimbang pendahulunya. Ia, misalnya, memberikan kebebasan bagi pers, yang sebelumnya dikontrol ketat oleh rejim Soeharto. Habibie juga menyetujui tuntutan referendum rakyat Timor Timur, sehingga negeri itu merdeka dari pendudukan militer Indonesia. Hal lain yang dilakukan Habibie adalah membebaskan tahanan politik rejim Soeharto. Di bidang perburuhan, walaupun hanya berkuasa selama satu tahun, Habibie menyetujui Peraturan Menteri Tenaga Kerja, No. 5/1998, yang memberikan kebebasan kepada buruh untuk membentuk serikat buruh bebas. Jika pada masa Soeharto, hanya ada satu serikat buruh yang diakui, yakni federasi serikat pekerja seluruh Indonesia (FSPSI) yang kepemimpinannya didominasi oleh aparat pemerintah dan militer, maka melalui peraturan menteri tenaga kerja No. 5/1998, era FSPSI sebagai satu-satunya wadah berserikat bagi kaum buruh berakhir. Menariknya, FSPSI kemudian pecah menjadi dua: FSPSI dan FSPSI Reformasi.
Kebebasan berserikat bagi buruh ini makin dipertegas dengan disahkannya Undang-undang Serikat Pekerja/Serikat Buruh no. 21 tahun 2000 pada tanggal 4 Agustus 2000. UU perburuhan yang baru ini disahkan oleh pemerintahan presiden Abdurrahman Wahid, hasil pemilu demokratis pertama setelah era rejim Soeharto. Undang-undang ini mengatur pembentukan organisasi serikat buruh, masalah keanggotaan, pemberitahuan dan pendaftaran kepada pemerintah, hak dan kewajiban, keuangan dan kekayaan, pembubaran organisasi, serta hal-hal lain yang menyangkut serikat buruh. Di bawah pemerintahan presiden Megawati Soekarnoputri, yang menggantikan pemerintahan Abdurrahman Wahid, hak-hak demokratis buruh makin dipertegas lagi dalam Undang-undang No. 13 tahun 2003. Dalam UU No. 13 tahun 2003 ini, serikat buruh tidak hanya dijamin kebebasannya untuk berserikat, tapi juga untuk mogok dan ancaman pemecatan massal melalui penutupan pabrik secara semena-mena. Namun, demikian UU No. 13 tahun 2003 ini juga memberikan hak kepada pengusaha untuk menerapkan sistem kerja kontrak.
Menurut pengamat perburuhan Indrasari Tjandraningsih, sejak keluarnya UU No.21/2000 itu, ribuan serikat buruh di berbagai tingkat bermunculan dan didaftarkan ke departemen tenaga kerja. Data resmi terakhir menyebutkan, per Juni tahun 2007, tercatat ada 3 konfederasi baru di luar (KSPSI/Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia, KSBSI/Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia, KSPI/Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia), 86 federasi, dan belasan ribu SB/SP tingkat pabrik. Dari ketiga konfederasi tersebut, KSPSI merupakan konfederasi serikat terbesar yang menyatakan memiliki 16 federasi dan lebih dari empat juta orang anggota. Posisi kedua ditempati KSPI dengan 11 federasi dan anggota lebih dari dua juta orang, serta KSBSI dengan anggota mencapai hampir dua juta orang di posisi ketiga. Data verifikasi terakhir yang dilakukan Depnakertrans untuk tahun 2006 menunjukkan, KSPSI tetap merupakan konfederasi terbesar dengan 16 federasi serikat pekerja.
Tetapi, berbarengan dengan kebangkitan kembali serikat buruh bebas, perekonomian Indonesia terus terpuruk dalam krisis. Resep-resep neoliberal yang dijalankan oleh pemerintahan pasca rejim kediktatoran militer, tidak sanggup memulihkan ekonomi Indonesia ke tahap sebelum krisis. Akibatnya, hal ini berdampak cukup serius pada serikat buruh. Serikat buruh, misalnya, kini harus berhadapan dengan makin banyaknya jumlah anggotanya yang kehilangan pekerjaan, sehingga kekuatannya sebagai serikat melemah. Selain itu, sebagai akibat dari penerapan kebijakan neoliberalisme, terjadi pergeseran hubungan kerja antara buruh dengan perusahaan dari hubungan kerja yang bersifat tetap menjadi hubungan kerja bersifat kontrak atau tidak tetap. Secara legal, pergeseran itu tertuang dalam UU. No. 13/2003.
Dalam kasus PT. Sarasa Nugraha, berdasarkan investigasi dan advokasi yang dilakukan oleh Federasi Serikat Buruh Karya Utama (FSBKU) dan Komite Buruh Cisadane (KBC), motivasi utama pemilik modal ketika menutup pabriknya pada Februari 2004, adalah untuk mengubah status buruh Tetap menjadi buruh Kontrak. Dengan menutup pabrik, perusahaan memiliki alasan untuk memecat seluruh karyawan tetap sebelumnya. Tak lama setelah penutupan pabrik, pihak perusahaan mengutus perwakilan menemui para buruh secara individual. Kepada para buruh ini ditawarkan bekerja kembali dengan status kontrak yang baru.
Di bawah syarat-syarat kerja yang baru, kehidupan buruh kontrak ini lebih buruk dari sebelumnya. Seperti dikatakan Kiswoyo, buruh kontrak ini digaji sebesar Rp. 16.000/hari (480.000/bulan) atau US$ 47.314/month, jauh di bawah ketentuan upah minimum regional sebesar Rp. 953.850/bulan (US$98.022/month). Selain itu, jika buruh tetap memperoleh cuti haid dan melahirkan, cuti tahunan, serta cuti berobat ke rumah sakit, maka buruh kontrak kehilangan seluruh fasilitas ini. Jika sakit dan mereka tidak bisa masuk kerja, otomatis pendapatan mereka berkurang dan lebih dari itu ia bisa kehilangan pekerjaannya karena kontraknya diputus secara sepihak. Buruh kontrak juga, tidak diperbolehkan untuk bergabung dengan serikat pekerja tingkat pabrik dan jika melanggarnya perusahaan bisa memecatnya dengan semena-mena.Ketika perusahaan kembali mengoperasikan pabrik, status buruh baru yang dipekerjakan adalah buruh kontrak.
Pergeseran hubungan kerja ini tentu saja menempatkan buruh pada posisi dilematis, antara memilih tetap bekerja dengan status Kontrak atau menjadi anggota serikat dengan konsekuensi kehilangan pekerjaannya setiap saat. Sementara bagi serikat buruh, perubahan hubungan kerja ini kian melemahkan secara organisasi karena tidak ada keanggotaan serikat yang bersifat tidak tetap.
Di tingkat internasional, persaingan ketat untuk memperebutkan investasi asing, memaksa rejim yang berkuasa di Indonesia untuk menata dirinya secantik mungkin. Celakanya, keberadaan UU No. 13/2003, sebagai produk dari proses demokratisasi politik justru dianggap menghambat laju investasi asing. Mohamad S. Hidayat, ketua kamar dagang dan industri nasional (KADIN), yang kini menjadi menteri Perindustrian, misalnya, menganggap, undang-undang No.13/2003 itu sebagai kontraproduktif di tengah-tengah keinginan pemerintah untuk menciptakan iklim yang bersahabat bagi investor asing. Menurut Hidayat, para investor mengaku tidak bisa memahami aturan perburuhan di Indonesia yang terlalu memberikan perlindungan terhadap buruh. Pernyataan senada dikemukakan oleh Pitono Purnomo, duta besar Indonesia di Hanoi, Vietnam, bahwa masalah yang dianggap paling sensitif oleh investor untuk berinvestasi di Indonesia adalah rumit dan berbelit-belitnya masalah perburuhan. Menurutnya, di Indonesia buruh begitu mudah melakukan demonstrasi, serta upah buruh yang dianggap relatif tinggi. Menurut Pitono, ini berbeda dengan kondisi perburuhan di Vietnam, yang tidak selalu diganggu dengan masalah pemogokan, serta upah buruh yang relative rendah.
Dua kondisi ini, dimana negara pada satu sisi menjamin kebebasan bagi buruh untuk berserikat dan diterapkannya kebijakan neoliberal di sisi lain, menempatkan posisi negara sekadar pengawas pertarungan buruh vs pengusaha. Tetapi, sebagaimana dikatakan Jemi Irwansyah, pengajar masalah perburuhan di Universitas Indonesia, Jakarta, dengan kondisi buruh yang semakin lemah, posisi negara seperti itu dimaksudkan untuk memuluskan dominasi logika pasar bebas sebagai mekanisme utama dalam hubungan kerja. Dengan posisi serikat buruh yang semakin lemah, maka hancurlah daya tawar kelas pekerja berhadapan dengan paksaan kelas pemilik modal. Karena itu, bagi Irwansyah, kebebasan membentuk serikat buruh yang tertuang dalam beragam UU pasca Soeharto, tujuan utamanya bukan agar buruh bebas berserikat dalam memperjuangkan kepentingannya, tapi terutama untuk membuat penyesuaian peran Negara dalam politik perburuhan. Serikat-serikat buruh yang massif terbentuk di era reformasi, terbukti tidak memiliki daya tawar politik dalam gelanggang hubungan industrial di tingkat nasional.
Di tengah-tengah kondisi perburuhan yang lemah seperti itu, pada tahun 2006, pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla (SBY-JK), berniat melakukan revisi terhadap UU No. 13/2003. Tujuan dari revisi ini adalah melonggarkan pasar tenaga kerja di Indonesia dan meningkatkan daya saing Indonesia di mata investor asing. Sejumlah pasal yang ada dalam revisi sangat tak memihak buruh. Misalnya, pasal tentang fleksibilitas pasar buruh (labor market flexibility) dengan praktik outsourcing tanpa memberikan batasan jenis pekerjaan. Dalam Rancangan Revisi UU No 13/2003, batasan waktu maksimal perusahaan mempekerjakan karyawan kontrak malah ditambah menjadi lima tahun. Selain itu, upah minimum, kata Yudi, dalam Rancangan Revisi UU No 13/2003 ditentukan pemerintah tergantung pada kondisi negara dan kemampuan perusahaan. Standar hidup layak dan tunjangan-tunjangan juga dihilangkan dan hanya bergantung pada perundingan bipartit dan kemampuan perusahaan. Karyawan yang telah bekerja selama dua tahun terancam tidak mendapat pesangon.Selain itu, cuti panjang setelah masa kerja enam tahun terus-menerus dihapuskan.
Namun, pemerintah rupanya salah berhitung dengan kekuatan kaum buruh. Tidak disangka-sangka, keinginan pemerintah untuk merevisi UU No. 13/2003 ini mendapatkan perlawanan yang sangat besar dari kaum buruh. Walaupun UU No. 13/2003 itu dipandang belum maksimal dalam melindungi dan menjamin hak-hak kaum buruh, tetapi sejauh itu inilah UU perburuhan terbaik sejak jaman rejim Soehato berkuasa.
Bertepatan dengan momentum Mayday 2006, lebih dari satu juta kaum buruh turun ke jalan-jalan di seluruh kota di Indonesia, untuk menolak rencana revisi tersebut. Kiswoyo juga terlibat aksi penolakan tersebut. Ia bergabung dengan massa aksi dari Aliansi Buruh Menggugat (ABM), yang merupakan koalisi terbesar yang paling aktif dan militant dalam menggalang aksi-aksi demonstrasi menolak revisi UU No. 13/2003. ABM adalah koalisi dari 52 organisasi serikat buruh, organisasi jurnalis dan NGO. Aksi ini merupakan aksi demonstrasi buruh terbesar sejak reformasi bergulir pada tahun 1998. Akibat aksi ini, usaha pemerintah untuk merevisi UU tersebut berhasil digagalkan.
Namun demikian, perjuangan kaum buruh Indonesia, masih jauh dari selesai. Menurut Irwansyah, yang juga aktivis Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP), pasca keberhasilan aksi penolakan rencana revisi tersebut, ABM, misalnya, kembali hanya menjadi sekadar komite aksi. Secara politik nasional, kelas pekerja belum merupakan kekuatan yang menentukan arah politik keseluruhan. Kaum buruh hanya dibutuhkan oleh partai politik di saat-saat menjelang pemilihan umum. Dalam kasus yang menimpa Kiswoyo di PT Sarasa Nugraha, partai politik sama sekali tidak terlibat dalam upaya pembelaan kepentingan kaum buruh.
Para intelektual dan aktivis buruh di Indonesia, menyadari betul kondisi ini. Dua hal yang paling mendapatkan fokus perhatian bagi pembangunan gerakan buruh dalam menghadapi rejim neoliberal: pertama, masalah internal organisasi yang meliputi kecakapan berorganisasi dan lemahnya sumberdaya buruh itu sendiri. Menurut Tjandraningsih, angkatan kerja di Indonesia didominasi oleh tenaga-tenaga berpendidikan rendah—lebih dari 50 persen berpendidikan tidak lulus SD —yang menunjukkan rendahnya posisi tawar mereka sebagai tenaga kerja dari segi keahlian. Di samping rendahnya tingkat pendidikan, karakteristik angkatan kerja yang masuk ke pasar tenaga kerja adalah minimnya pengalaman mereka dengan sejarah dan kesadaran berorganisasi sebagai pekerja/buruh. Kebutuhan mendesak untuk memenuhi kebutuhan hidup, ditambah dengan persaingan ketat dalam memperebutkan kesempatan kerja, telah menggerus semangat kolektif dan menghilangkan relevansi berorganisasi.
Masalah kedua adalah lemahnya perjuangan politik kaum buruh. Selama ini, perjuangan kaum buruh terkungkung pada perjuangan ekonomi semata, yakni perjuangan untuk peningkatan upah dan perbaikan kondisi kerja. Isu-isu non-buruh yang paling jauh mendapatkan respon adalah aksi penolakan terhadap rencana revisi UU No. 13/2003. Yang menarik, telah muncul kesepakatan di kalangan serikat buruh bahwa neoliberalisme merupakan pemicu memburuknya kehidupan kaum buruh, tetapi perjuangan untuk melawan neoliberalisme itu sendiri tidaklah maksimal. Lemahnya perjuangan politik ini, menurut Irwansyah, disebabkan oleh lemahnya kerja serikat di bidang pengembangan teori dan pengetahuan politik.
Hanya dengan mengatasi kedua kendala inilah, gerakan buruh di Indonesia akan semakin kuat berhadapan dengan tekanan kebijakan neoliberal.***