Sulfikar Amir: Klaim Teknokrat Bebas Kepentingan adalah Mitos

HEBOH kasus Bank Century, kini memasuki babak baru dengan dibentuknya Panitia Khusus (Pansus) oleh DPR. Pembentukan Pansus ini menunjukkan, ada keganjilan besar dalam proses pengucuran dana talangan ke bank tersebut oleh Bank Indonesia, sehingga harus ada sebuah proses politik yang signifikan untuk mengurai sebab-musabab keganjilan itu.

Tetapi, walaupun kontroversi ini sudah menjadi masalah politik, tetapi urusan politik itu tidak lepas dari pengungkapan soal-soal teknis-prosedural, yang berkaitan dengan ikhwal dana talangan tersebut. Yang luput dari perhatian publik, bahwa akar soal dari gonjang-ganjing ini, adalah peran teknokrat yang begitu besar dalam pengambilan keputusan. Misalnya, Para teknokrat di Bank Indonesia itu, selalu mengatasnamakan kepentingan publik, tapi sama sekali tidak melibatkan peran publik dalam pembuatan kebijakannya. Dan ironi ini terus saja berlanjut. Mengapa demikian?

Menjawab pertanyaan ini, Coen Husain Pontoh dari IndoPROGRESS (IP), berdialog dengan Sulfikar Amir, asisten profesor Sosiologi di Nanyang Technological University (NTU), Singapura. Berikut petikannya:
IndoPROGRESS (IP): Yang menarik, tapi tidak banyak dibicarakan dalam kasus kontroversi Bank Century ini, adalah peran teknokrat yang begitu dominan. Mengapa kekuasaan para teknokrat itu sedemikian menentukan?

Sulfikar Amir (SA): Agak panjang ceritanya, tapi baiklah saya mulai dengan pernyataan berikut: "sejarah modernitas adalah sejarah pengetahuan." Dan pengetahuan yang kita bicarakan disini bersifat spesifik, yakni yang merujuk pada sistem pengetahuan modern yang dibangun oleh peradaban Eropa. Teknokrasi adalah anak pengetahuan modern yang diciptakan sebagai respon terhadap keinginan untuk menciptakan ketertiban (order) dalam masyarakat, sekaligus kepercayaan bahwa pengetahuan ilmiah dapat digunakan untuk menghasilkan ketertiban itu. Dan ketika masyarakat modern sukses menciptakan tertib sosial di negara-negara ekonomi maju, teknokrasi menjadi salah satu aspek fundamental dalam pembuatan kebijakan publik yang "rasional" dan berlandaskan logika.

Patut dicatat, ada beragam elemen teknokrasi, tetapi sepertinya yang paling dominan dan yang bersentuhan dengan aspek hidup yang paling nyata adalah ilmu ekonomi. Karena itu, tidak heran jika kemudian para teknokrat selalu diidentikkan dengan kelompok ekonom, padahal, sebenarnya, seorang sosiolog, insinyur, atau seniman bisa saja menjadi teknokrat. Lepas dari kategorisasi itu, para teknokrat ekonomi senantiasa menempati posisi sentral dalam pembuatan kebijakan di tingkat makro. Ada dua penyebab dari kondisi ini: pertama, adalah depolitisasi teknokrasi, di mana karena kepercayaan penuh akan pengetahun ilmiah yang bersifat netral, para teknokrat diberi semacama ruang khusus yang lepas dari kekuatan politik. Kepercayaan ini sebenarnya dibangun sendiri oleh para ekonom dan bisa dilacak dari epistemologi ilmu ekonomi yang sejak awal berfantasi bahwa ekonomi dan politik adalah dua ruang yang terpisah. Menyatukan keduanya, menurut mereka, akan menciptakan polusi yang tidak perlu dalam memahami proses-proses ekonomi yang terjadi di masyarakat.

Faktor kedua adalah sistem kapitalisme modern (Amerika) yang dibangun sejak awal duapuluh, yang bertumpu pada institusi-institusi keuangan dimana kompleksitas kofigurasi dari institusi ini membutuhkan sains yang spesifik. Inilah yang mendorong teknokrasi muncul sebagai solusi dari sistem pemerintahan yang membutuhkan alat-alat yang efektif untuk memonitor dan mengontrol mekanisme proses-proses produksi. Sejak itu, teknokrasi muncul sebagai praktek yang tidak terpisahkan dari tata kelola pemerintah.

Sejalan dengan mengalirnya sistem pemerintahan modern yang mengadopsi sistem kapitalisme modern, teknokrasi menjadi elemen yang senantiasa berada dijalur depan dalam proses pengontrolan produksi, distribusi, dan konsumsi dalam masyarakat. Dan ini terjadi pula di negara-negara pasca kolonial, khususnya yang mengadopsi sistem kapitalisme barat seperti negara-negara di Asia Timur dan Asia Tenggara.


Di Indonesia, seperti kita ketahui, sejarah teknokrasi adalah bagian dari sejarah Orde Baru. Bahkan, menurut Brad Simpson dan banyak pengamat Indonesia lainnya, lahirnya praktek teknokrasi di Indonesia tidak bisa dipisahkan dari karakter rejim Orde Baru yang otoriterian dan penuh kekerasan. Dan inilah yang kita warisi hingga kini.

Sekarang menjawab pertanyaan anda secara spesifik. Kasus Bank Century adalah contoh gamblang bagaimana sebuah pengambilan keputusan publik yang melibatkan dana yang luar biasa besarnya, hanya dilakukan oleh segelintir elit teknokrat di tingkat atas. Kenapa itu bisa terjadi? Lepas dari apakah itu sebuah skandal korupsi yang melibatkan kepentingan partai politik tertentu, kekuasaan para teknokrat terbentuk oleh ketergantungan penguasa (pemimpin pemerintahan) dalam hal menjaga stabilitas ekonomi. Ketergantungan ini berkonsekuensi pada kepercayaan yang begitu besar kepada teknokrat, karena kepakaran yang mereka miliki. Kepakaran itu sendiri, dari kacamata sosiolog Pierre Bourdieu, adalah sebuah bentuk "symbolic power" yang dapat ditransaksikan dengan kapital jenis lain, apakah itu kapital finansial, kapital kekuasaan, dan lainnya. Dari titik pandang ini, kepakaran sebaiknya tidak dimaknai secara biasa (taken for granted), tetapi harus dicermati secara kritis seperti yang dianjurkan oleh Foucault, karena dalam kepakaran terkandung suatu bentuk "manufaktur fakta" yang dapat menjadi ilusi dalam distribusi kekuasaan. Dengan kata lain, kepakaran adalah sebuah sistem eksklusi yang dibangun untuk memisahkan mereka yang disebut "pakar" dan mereka yang tidak. Batas ini bersifat sangat politis dan jika tidak dikritisi akan berujung pada sebuah bentuk otoriterianisme.

IP: Bisa dijelaskan lebih jauh, bagaimana teknokrasi ini terbentuk dan menjadi dominan sejak masa kekuasaan Orba?

SA: Sejarah teknokrasi orde baru (Orba), bisa dilacak dari ideologi Orba itu sendiri yang berakar pada developmentalism atau kalau di Indonesiakan menjadi "pembangunanisme." Sebagai sebuah ideologi, developmentalism tidak lahir dari ruang vakum, tetapi dibentuk oleh kekuatan sejarah, yakni Politik Perang Dingin yang melibatkan dua ideologi besar, yakni komunisme dan kapitalisme.

Orde Baru lahir anak sejarah politik Perang Dingin yang melakukan penetrasi ke Indonesia, atau Asia Tenggara pada umumnya, pada era 1950 dan 1960. Malaysia, Singapura, dan Indonesia, adalah tiga negara Asia Tenggara yang menjadi panggung pertarungan dua kekuatan besar yang kemudian menjadi saksi kemenangan Barat Kapitalisme.

Khusus di Indonesia, faktor domestik sangat berperan besar dalam memberi ruang kemenangan bagi rejim Orde Baru yang pro Barat. Yang menarik, rejim Orde Baru dibangun oleh koalisi dua kekuatan utama, yakni elit militer dan akademik intelektual beraliran ekonomi liberal. Dua elemen inilah yang menjadi tulang punggung proses modernisasi di Indonesia sejak akhir 1960an, dimana sistem ekonomi nasional dibentuk dengan mengikuti platform ekonomi Barat, atau lebih tepatnya, Amerika Serikat.

Dalam proses modernisasi ini, kelompok militer dan kelompok intelektual akademik (yang sering disebut sebagai Mafia Berkeley, sebutan yang saya kurang setuju) berbagi peran. Yang pertama dalam bidang politik, yang kedua dalam bidang ekonomi. Disinilah, saya kira, awal dari pemisahan ruang politik dan ruang ekonomi, dimana kelompok teknokrat ekonomi diberi wewenang yang begitu luas nyaris tanpa intervensi dari kelompok militer dalam menata ulang sistem ekonomi nasional. Apa yang dilakukan oleh para ekonom ini pada dasarnya adalah melakukan integrasi ekonomi Indonesia dengan sistem kapitalisme global, yang didasarkan pada asumsi bahwa aliran modal dan teknologi dari luar akan mampu mengakselerasi tingkat produksi kesejahteraan. Keberhasilan kelompok teknokrat dalam menciptakan stabilitas ekonomi dalam waktu singkat (sebuah prestasi yang sebenarnya tidak akan terjadi tanpa ditopang oleh opresi dalam sektor politik) memberi kekuatan "politik" yang begitu besar bagi kelompok teknokrat dalam menyusun kebijakan secara otonom. Sejak itu beberapa institusi keuangan dan ekonomi negara yang strategis menjadi wilayah yang diperuntukkan hanya bagi kelompok teknokrat.

Patut dicatat bahwa otonomi dan wewenang kelompok teknokrat ekonomi mengalami pasang surut selama 32 tahun rejim Orde Baru. Tetapi dapat dikatakan bahwa dalam rentang waktu yang begitu dinamis tersebut, peran teknokrat sangat sentral dalam proses kebijakan makro dan ini adalah salah satu faktor yang dapat menentukan legitimasi pemimpin kepemerintahan.

IP: Berdasarkan penjelasan ini, maka klaim bahwa teknokrat itu bebas kepentingan politik alias profesional, tidak berdasar sama sekali? Atau kalau ada kepentingan politik, kepentingan politik seperti apa yang mereka bela dan perjuangkan?

SA: Lazimnya sains modern, teknokrasi pada dasarnya dibangun dari seperangkat kepentingan. Karena itu klaim bahwa teknokrat bebas kepentingan adalah sebuah mitos yang terus dilestarikan oleh kaum teknokrat dan mereka yang berkepentingan terhadap otonomi teknokrat.

Dengan mengatakan demikian, tidak berarti kita telah terjebak ke dalam teori konspirasi. Studi-studi yang dilakukan oleh sosiolog yang mengamati sepak terjang para ilmuwan, termasuk ekonom, dalam proses pengambilan keputusan publik menunjukkan secara empirik bahwa alat ukur, metodologi, nomenklatur, serta seluruh bangunan epistemologi yang menjadi dasar para teknokrat dalam mengambil sebuah keputusan pada dasarnya dipengaruhi oleh faktor sosial, politik, dan budaya. Dengan kata lain, berbagai bentuk konsep dan teori yang menjadi kerangka kerja (framework) para teknokrat dikonstruksi secara sosial. Artinya, jika ditilik secara sosiologis makro, teknokrat menempati satu ruang dalam konstelasi sosial-politik yang tidak lepas dari kekuatan-kekuatan eksternal yang masuk ke dalam bangunan epistemologi ekonomi tanpa disadari oleh teknokrat itu sendiri.

Penjelasan di atas dari kacamata konstruktivisme. Dari kacamata politik ekonomi, kepentingan kaum teknokrat bisa dilacak dari bagaimana keputusan-keputusan yang diambil oleh para teknokrat memberi ruang bagi aktor-aktor tertentu untuk melakukan akumulasi kapital, baik secara kentara maupun tersembunyi. Tentu saja para teknokrat akan mengatakan bahwa keputusan yang mereka ambil didasari pertimbangan-pertimbangan "obyektif" demi kepentingan ekonomi secara makro. Penjelasan seperti ini, dari kacamata analisis politik ekonomi, sebenarnya sangat rapuh karena menggunakan nomenklatur ekonomi yang memiliki dasar asumsi yang dapat dipertanyakan. Misalnya, apa referensi utama dari obyektivitas itu? Kepentingan secara makro bagi siapa? Makro dalam hal apa?

IP: Kini kita masuk pada kasus Century, dimana ada situasi ekonomi-politik yang berubah sejak 1998. Bagaimana anda melihat peran teknokrat dalam kasus ini? Apakah kekuasaan mereka semakin melemah atau sebaliknya?

SA: Untuk melihat peran teknokrat, seperti anda bilang, perlu kita melihat bababkan dalam sejarah teknokrasi di Indonesia sejak Orde Baru. Seperti kita ketahui, dalam tubuh rejim Orde Baru ada banyak faksi, salah satunya kelompok teknokrat ekonomi. Ada dua "musuh utama" kelompok ini. Pertama, adalah kelompok teknokrat insinyur (BJ Habibie dan kawan-kawan). Kedua, yang juga musuh kelompok teknokrat insinyur, adalah kekuatan oligarki Suharto. Teknokrat ekonomi secara praktis hanya "berkuasa" selama 10 tahun pertama. Setelah itu teknokrasi dikuasai oleh kelompok insinyur hingga pertengahan 1990an. Awal 1980s, kelompok teknokrat ekonom sempat kembali ke pusat panggung teknokrasi, khususnya dalam periode deregulasi tetapi kemudian diambil kembali oleh Habibie dkk yang diperkuat oleh kelompok hijau ICMI, hingga akhirnya Orde Baru kolaps.

Perubahan politik sejak 1998, adalah momentum bagi kembalinya teknokrat ekonom dengan dukungan kekuatan dari luar lewat kebijakan-kebijakan neoliberalisme yang ditekankan oleh IMF ke Indonesia. Praktis, setelah Habibie mundur, teknokrat ekonom (kecuali Rizal Ramli dkk) yang beraliran neoliberal, memainkan peran yang semakin sentral dalam kebijakan ekonomi makro Indonesia. Semakin besarnya ketergantungan Indonesia terhadap donatur asing, menyebabkan semakin besar pula bargaining position kelompok ini terhadap pemerintah. Ini sebenarnya cukup ironis, karena ketika secara politik Indonesia menjadi sangat demokratis, proses kebijakan ekonomi menjadi semakin tertutup dari cermatan publik. Hal ini, seperti saya jelaskan di atas, didukung oleh asumsi bahwa politik dan ekonomi adalah dua ruang yang berbeda.

Selain itu, berkaitan dengan kontinuitas generasi teknokrat, ada asumsi umum bahwa generasi teknokrat ekonom yang saat ini memegang kendali kebijakan ekonomi Indonesia, adalah kelanjutan dari generasi sebelumnya, yakni mereka yang menjadi arsitek sistem ekonomi Orde Baru. Saya kira ada perbedaan signifikan dalam hal epistemologi dan tujuan utama antar kedua generasi.

Generasi pertama yang dikomandoi oleh Widjojo Nitisastro, adalah kelompok yang secara epistemologis memiliki kecenderungan untuk memadukan dua pendekatan yakni neoklasik dan Keynesianisme. Indikasinya adalah agenda-agenda yang disusun yang ditujukan untuk menguatkan peran negara dalam pengelolaan pembangunan dan pada saat yang bersamaan menggabungkan pendekatan mekanisme pasar sebagai stimulan utama dalam pertumbuhan ekonomi. Hal ini tidak mengherankan karena agenda utama dari generasi ini adalah modernisasi kelembagaan ekonomi Indonesia, yang meletakkan negara sebagai salah satu pilar pokok dalam proses produksi, distribusi, dan konsumsi.

Sebaliknya, generasi kedua yang muncul setelah reformasi berada dalam jalur yang dapat dikatakan berbeda secara substantial. Sejak tahun 1970an hingga 1990an, ilmu ekonomi kontemporer mengalami perubahan signifikan dalam hal metodologi dan asumsi-asumsi dasar yang dipengaruhi secara masif oleh pemikir-pemikir dari mazhab Chicago, yang ditandai oleh dua kecenderungan utama: pertama, kentalnya elemen saintisme dalam analisis ekonomi, dan kedua, kepercayaan bahwa pasar adalah sebuah sistem natural yang memiliki mekanisme yang otonom dan karenanya intervensi negara harus diminimilasi secara ekstrim. Generasi teknokrat ekonomi saat ini adalah mereka yang mendalami ilmu ekonomi yang sudah mengalami banyak perubahan dari generasi pertama. Fatalnya, para teknokrat ekonom tidak memiliki daya kritis, atau dalam sosiologi disebut refleksivitas, dalam melihat ilmu mereka sendiri. Implikasinya, mereka beranggapan bahwa ilmu ekonomi bersifat universal dan karena itu berlaku di mana saja. Dengan kata lain, "one size fits all".

Kepercayaan yang begitu besar terhadap universalisme ekonomi akhirnya berujung pada tumpulnya kemampuan para teknokrat ekonom dalam melihat realitas sosial politik yang sangat menentukan bekerjanya sistem ekonomi itu sendiri.

IP: Bagaimana mengontrol peran teknokrat yang begitu besar dalam pengambilan kebijakan publik?

SA: Sebelum menjawab pertanyaan ini, saya ingin mengatakan bahwa membangun daya kritis terhadap teknokrasi tidak serta merta membuat kita anti teknokrasi. Dalam proses modernisasi negara-negara industri baru, teknokrasi memiliki peran besar dalam mencapai tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi, yang kemudian dapat dinikmati oleh sebagian besar masyarakat. Negara-negara Asia Timur, adalah contoh bagaimana peran teknokrat yang cukup otonom dapat menghasilkan sebuah rejim ekonomi yang tangguh serta menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat luas.

Karena itu saya percaya bahwa teknokrasi sangat dibutuhkan di Indonesia. Hanya saja ada fakta yang harus kita lihat secara kritis. Indonesia adalah salah satu negara dengan distribusi kesejahteraan yang paling buruk di Asia. Tentu kita bertanya mengapa hal itu bisa terjadi? Saya kira ini tidak lepas dari kegagalan kelompok teknokrat ekonom, yang tidak mampu membuat suatu formula ekonomi makro yang sesuai dengan kondisi sosial politik Indonesia. Ketidakmampuan ini bisa disebabkan oleh kelemahan epistemologis dari prinsip-prinsip keilmuan ekonomi aliran utama, yang selama ini menjadi acuan para teknokrat ekonomi. Di sisi lain, bisa jadi, para teknokrat itu sendiri tidak mampu menjaga otonomi yang diberikan. Akibatnya, mereka menolak intervensi dari kelompok yang satu, tetapi tidak untuk kelompok yang lain. Dan saya kira inilah yang terjadi dengan kasus Bank Century.

Sekarang bagaimana mengontrol para teknokrat? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu bertanya, apa yang membuat teknokrat tidak dapat dikontrol? Pekerjaan teknokrat sama seperti tukang bengkel. Jika mobil anda rusak dan bawa ke bengkel, anda akan meminta tukang untuk memeriksa apa yang salah. Selama memeriksa mobil anda, si tukang melakukannya tanpa anda. Tiba-tiba saja dia bilang bahwa mobil anda perlu turun mesin dan biayanya 10 juta rupiah. Jika tidak dilakukan, kata si tukang, dalam waktu singkat mobil anda akan rusak selamanya. Dalam posisi seperti ini, anda dibuat percaya mau tidak mau. Di situlah pengetahuan si tukang bengkel telah menjadi media yang membangun suatu relasi kuasa antara anda dan dia. Dan, karena anda tidak punya pengetahuan yang cukup, akhirnya hanya bisa menurut. Apa yang kira-kira anda lakukan untuk menghindari situasi ini? Pertama, anda bisa belajar sedikit soal kendaraan, baik secara otodidak maupun mengambil kursus singkat. Pilihan kedua, adalah dengan meminta second opinion ke tukang bengkel yang lain yang anda yakin tidak memiliki hubungan dengan yang pertama. Ketiga, anda minta ikut ditunjukkan apa yang rusak dengan mobil anda sehingga anda tahu persis kerusakannya di mana.

Dengan analogi di atas, ada tiga hal yang bisa kita lakukan untuk mengontrol sepak terjang teknokrat. Pertama, kita perlu melakukan "demistifikasi" ilmu ekonomi dengan memahami secara mendasar prinsip-prinsip sistem ekonomi moderen. Saya sebut demistifikasi karena ini adalah sebuah proses membuka kotak hitam ilmu ekonomi yang hanya ekonom tahu isinya seperti apa. Kedua, kita membutuhan ekonom-ekonom dari berbagai aliran untuk menjadi semacam watchdog terhadap kebijakan-kebijakan ekonomi yang dibuat oleh para teknokrat. Dan ketiga, yang paling pokok, adalah membuat proses pengambilan keputusan transparan bagi publik. Setiap diskusi, debat, dan perhitungan-perhitungan yang dibuat di ruang dan di atas meja para teknokrat harus terdokumentasi dengan rapih dan dapat diakses oleh publik. Untuk itu seharusnya ada undang-undang yang mengaturnya. Ketiadaan proses yang transparan itulah yang menjadi salah satu faktor pemicu kasus Bank Century yang kita saksikan saat ini.***