CERITA PENDEK
Fransisca Ria Susansti
IA tak pernah menangis. Tidak saat suaminya hilang, tidak saat ia diseret ke meja interogasi bersama bayinya yang masih merah, tidak juga saat berbagi tikar dengan ketujuh anaknya di dalam sel sempit yang sudah dipenuhi 17 perempuan.
Ia hanya menangis satu kali. Saat sore yang basah, sang kakak datang jauh-jauh dari Jawa, menjemputnya di penjara dan membawanya pulang bersama ketujuh buah hatinya ke arah timur dengan kereta kelas ekonomi yang sesak dengan penumpang bertujuan sama.
Di dalam gerbong kereta, di antara bau keringat dan ludah yang tercecer di sepanjang lorong, keikhlasan kakaknya membuat matanya panas.
Ia menangis. Tak sampai menjadi isak, namun ia sadar bahwa ia menangis. Mula-mula ia merasakan panas di belakang telinganya, kemudian merambat naik ke kepalanya dan turun menggumpal di kedua lubang hidungnya. Lalu ia merasa matanya panas dan tiba-tiba satu bulir air jatuh di pipinya. Begitu saja. Keharuan itu menyergapnya tanpa mengucapkan salam pembuka.
Padahal selama setahun lebih, saat orang beramai-ramai menudingnya sebagai pesakitan, ia tak pernah menangis. Dan bertahun-tahun setelah bulir air matanya jatuh di stasiun kereta api senja itu, ia kembali tak bisa menangis.
Aku bertemu dengannya dalam suatu senja yang lain, di sebuah rumah petak di ujung gang sempit di pingiran Jakarta. Ia berjalan tertatih dan menyambut salamku dengan senyum yang berpendar di matanya. Senyumnya manis, sangat manis. Hingga sulit bagiku membayangkan ekspresi tangis dalam wajahnya pada senja di stasiun kereta, 40 tahun lampau.
Pendar di wajahnya malah menunjukkan sebuah getar cinta pertama seorang remaja yang menyimpan cintanya diam-diam karena darah biru yang mengalir di urat nadinya melarangnya menampilkan luap emosi.
Namun kemudian aku tahu, bahwa lelaki yang memendarkan bola matanya itu bukan catatan cinta pertamanya. Laki-laki itu hanya catatan kedua, meski jejak yang ditinggalkannya lebih dahsyat dari cinta pertama.
Kepada lelaki terakhir itu, ia mempercayakan seluruh hidupnya. Tanpa bertanya untuk apa dan bagaimana dia bakal bertahan. Budaya aristokrat Jawa mengajarinya untuk menanggung segala hal tanpa banyak pertanyaan. Menyimpan rahasia di sudut hatinya sendiri.
Saat ia memutuskan menerima pinangan lelaki itu, ia hanya tahu bahwa rasa sayang yang membimbingnya ke sana, bukan yang lain. Tapi barangkali juga deretan puisi dan dendang lagu “ngak-ngik-ngok” yang dilantunkan sang pemuda saat dentang bel sekolah menyudahi jam pelajaran yang membosankan.
Ya, mungkin sentimentalitas itu yang mendekatkannya pada pemuda tersebut. Hingga ia hanya bisa mengangguk saat pinangan itu dilontarkan. Anggukan yang sama ketika pemuda itu menyemaikan tujuh benih dalam rahimnya.
Ia tak menduga bahwa anggukan itu menyeretnya dalam sebuah labirin tak berkesudahan. Ruang yang ia tak paham kapan ia memasukinya, tapi mendadak terjebak di sana. Mula-mula ia merasa gamang, namun kemudian ia mulai terbiasa.
Sang pemuda yang telah menjadi suaminya, yang membawanya pada labirin tersebut, tak pernah menceritakan apa-apa dan perempuan itu juga tak berniat bertanya.
Ia hanya tahu bahwa rumah dinas yang lama ditinggalinya tiba-tiba harus ia tinggalkan, saat jalanan Jakarta mendadak lengang dan sunyi seperti kuburan, padahal matahari masih tinggi di atas kepala. Sementara lelaki yang ia ucapkan kata iya, tengah berada jauh di ujung Sumatera.
Dengan seorang sopir yang memiliki iba, ia singgahi deretan rumah kenalan, dengan lima anak di kedua tangan, si buyung di gendongan dan janin dalam kandungan. Namun tak ada pintu terbuka, saat situasi membuat setiap orang berubah menjadi curiga.
***
“Aku tak pernah menangis,” ucapnya dengan senyum di mata saat langit di luar berubah jingga. Ia telah menyinggahi sejumlah kota dalam status sebagai terdakwa.
Tujuh bocah yang pernah lahir dari rahimnya, memanggilnya mama dan baru ia jumpai setelah belasan tahun tersekap dalam penjara, tanpa pernah menghadiri sidang pidana.
Seorang bocah lelaki menghampirnya, menyorongkan buku sejarah dan menunjuk gambar tujuh pemuda yang telunjuknya menuding ke depan, tampak gagah dengan burung besar dari beton di belakangnya.
“Kapan si Bung akan ada di pelajaran sekolahku?” tanyanya, menarik daster perempuan di depanku yang ia panggil eyang.
Ia tak menjawab. Hanya tersenyum.
Aku mengamatainya tanpa berkedip. Berharap ada genangan air di kedua matanya. Jarum jam bergerak dalam tik tak yang pasti, namun penantianku ternyata sia-sia. Genangan air itu tak kutemukan.
“Ia mengada-ada,” ujarnya padaku sambil mengusap kepala si bocah.
Di ruang belakang, bunyi sendok beradu dengan tepi gelas. Aroma kopi memenuhi ruangan dan seorang perempuan paruh baya menyuguhkan minuman di atas meja.
“Buyung berharap eyang kakungnya muncul di buku sejarah, tapi mama selalu menggangap hal itu tak mungkin,” ujarnya dan segera menarik buah hatinya itu ke dalam kamar.
“Ia sudah pergi,” ujar perempuan itu kembali. Seolah mengabaikan percakapan yang baru saja terjadi.
“Ibu mencintainya?” tanyaku hati-hati.
Ia kembali tersenyum, sekali lagi dengan matanya.
***
Aku membawa perempuan itu ke Gambir, mengenang jejak yang pernah ia lintasi 40 tahun lampau.
“Semua berubah,” ucapnya saat melihat antrean panjang penumpang kereta berbaju rapi dan wangi. Ia asing dengan kereta berlokomotif putih yang meruapkan dingin AC itu.
“Ini bukan sepurku,” ucapnya.
Lalu aku membawanya ke Senen. Di bangku peron yang kumuh dengan aroma apek itu, ia duduk diam-diam. Matanya lurus mengawasi penumpang yang berjubel di depan pintu gerbong kereta yang menuju ke timur.
Sekali lagi, aku menunggu genangan air di matanya. Namun penantianku kembali sia-sia.
“Aku tak pernah menangis,” ujarnya seolah membaca penantianku, saat kusodorkan segelas air mineral.
“Karena ibu yakin, ia tak bakal kembali?” tanyaku.
Ia menggeleng.
“Karena aku tak punya pilihan,” ujarnya.
Nadanya datar, tak ada tekanan kemarahan, bahkan kesedihan pun tak.
Sungguh, aku ingin sekali melihatnya menangis. Sekali saja. Agar aku punya alasan membenci bapakku, lelaki yang mengaku membunuh si Bung atas perintah
komandannya.
Ia ingin aku menemui perempuan itu, menyampaikan maaf, setelah jiwanya tak juga tenang, hingga ajal menjemputnya bulan lalu.
“Bagaimana seandainya ibu tahu siapa sebenarnya yang membunuh si Bung?” tanyaku sambil menggeser duduk, menjauh. Takut ia mendengar detak jantungku.
Perempuan itu menoleh ke arahku. Mengusap pipiku. “Aku tak akan menangis,” ujarnya.
Keringat dingin mengucur di tubuhku, suara lokomotif membuat pendengaranku pekak, lalu semuanya gelap. Bayangan wajah pucat bapak di depan pintu setelah eksekusi itu melintas dalam ingatanku. Baju lorengnya meningalkan bercak warna coklat, ia datang dari timur dengan kereta sama yang membawa perempuan itu pulang ke rumah orang tuanya.***
Hong Kong, Desember 2006
* Aku bukan cerpenis, karena sudah kucoba dan gagal. Namun tiga tahun lalu kucoba memaksa diriku menulis sebuah cerita pendek, sebagai hormatku untuk perempuan tangguh yang menolak mengeluarkan air dari matanya. Usai membaca Tempo edisi pekan ini, aku ingat kembali cerpen itu. Kepadamu Ibu..., cerpen ini kupersembahkan.