Meletakkan Kembali Gerakan Mahasiswa ke Jalur Strategis

Hendardi

PROTES-protes heroik mahasiswa anti-komunis di bawah Orde Baru, kerap disebut gerakan mahasiswa. Aliansi segitiga tentara, teknokrat dan mahasiswa mengawali demonstrasi turun ke jalan untuk menumbangkan rezim Soekarno yang sedang runtuh: tiga tuntutan rakyat (tritura) pada 1966. Elite militer membentuk pemerintahan Orde Baru dan menggelar pembangunan ekonomi yang berorientasi pada pertumbuhan. Partai-partai pun dikendalikan oleh rezim yang berkuasa untuk mendukung pembangunan. Rakyat kemudian diubah menjadi 'massa mengambang' (floating mass) yang tidak boleh menghalangi pembangunan.
Setelah itu, mahasiswa kembali ke kampus (back to campus). Proses demo menyuarakan protes dan kisah kepahlawanan menumbangkan Soekarno yang didaur ulang, serta kemudian kembali ke bangku kuliah tanpa merasa punya kepentingan menikmati kursi kekuasan politik, maka mitos peran mahasiswa pun dibaptis sebagai “gerakan moral”. Identitas politiknya adalah kaum intelektual yang melakukan kritik terhadap pemerintah, tanpa ambisi berkuasa dan bebas kepentingan politik. Inilah lakon mahasiswa sebagai resi yang terus didaur ulang sebagai gerakan moral yang elitis.

Pemerintah Orde Baru mengakui pentingnya peran mahasiswa sebagai calon intelektual atau lapisan terdidik yang dibutuhkan untuk mengisi jaringan teknostruktur. Aksi-aksi protes mahasiswa memang tidak disukai pemerintah karena dapat menimbulkan 'aib', tapi juga tidak sepenuhnya dilarang. Mahasiswa boleh menyampaikan kritik dan protes, tapi tetap dalam batas-batas stabilitas keamanan dan pembangunan nasional. Setelah menyampaikan protes, mahasiswa harus kembali ke kampus sebagaimana yang ditunjukkan pada akhir 1960-an dan setelah 15 Januari 1974. Dengan begitu, skenario resi adalah lakon yang harus dipersembahkan mahasiswa dalam pembangunan di mana arenanya adalah kampus universitas. Setelah protes, mahasiswa harus kembali ke 'menara gading' itu.

Kritik mahasiswa pada dasawarsa 1970-an, tertuju pada strategi pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan. Dengan itu, 'kue ekonomi' lebih didistrubusi pada sedikit orang ketimbang rakyat kebanyakan. Bahkan, orientasi ini menimbulkan kesenjangan sosial dan dominasi modal asing. Protes seperti ini membuat mahasiswa mendapat tuduhan 'ditunggangi' atau 'politik praktis'. Gerakan mahasiswa juga sempat disebut-sebut sebagai “satu-satunya oposisi”.

Menguatnya pemerintah Orde Baru dengan penghasilan migas (minyak dan gas) yang melimpah, menyebabkan legitimasi mahasiswa mulai disingkirkan. Ketika tuntutan gerakan mahasiswa 1978 – tertuang dalam Buku Putih Mahasiswa ITB – tidak lagi mempercayai Soeharto, kebijakan yang keras pun ditempuh. Mahasiswa dituduh merongrong dan hendak menggulingkan pemerintah atau melakukan makar. Sebaliknya, mahasiswa berusaha menyangkal tuduhan itu dan tetap menyakinkan penguasa bahwa protes mereka sebagai gerakan moral. Tapi kebijakan represif dikeluarkan pemerintah selain menangkap dan mengadili para pimpinan DM, juga membekukan dan melarang dewan mahasiswa (DM). Sebagai gantinya, diberlakukan NKK/BKK.

Sejak pembrangusan 'pemerintahan mahasiswa' (student government) di kampus-kampus perguruan tinggi, politik mahasiswa kehilangan orientasi. Proses reorientasi mulai berlangsung pada dasawarsa 1980-an, di mana beberapa aktivis melakukan otokritik. Sebagian mahasiswa mulai belajar teori-teori pembangunan, ketergantungan dan marxisme. Mereka membentuk sejumlah kelompok studi/ diskusi. Mereka juga mulai berhubungan dengan kelompok-kelompok swadaya masyarakat yang belakangan dikenal dengan singkatan LSM. Dari menara gading, mereka ingin turun ke bawah, atau dari berteori ingin berpraktik. Dari mereka muncul pertanyaan: pembangunan yang dijalankan untuk kepentingan siapa?

Mahasiswa 1980-an mulai menemukan realitas bahwa hasil pembangunan bukan lagi 'menetes ke bawah' (trickle down effect), melainkan telah memiskinkan rakyat. Keprihatinan mereka timbul ketika menemukan proyek-proyek perkebunan inti rakyat (PIR) dan penggusuran penduduk dari lahan garapan di pedesaan maupun penertiban pedagang kecil dan sektor informal di perkotaan yang menghancurkan penghidupan rakyat. Mereka kian prihatin dengan sengketa lahan ketika rakyat Badega (Garut), digusur untuk lahan perkebunan dan rakyat Kedungombo (Jateng), disingkirkan untuk pembangunan waduk. Dari sinilah mahasiswa mengangkat kredo: “rakyat adalah tumbal pembangunan”, “rakyat sebagai korban pembangunan”.

Radikalisasi kritik mahasiswa terhadap pembangunan yang dijalankan pemerintah Orde Baru di pedesaan adalah bagian dari kebijakan intensifikasi di sektor pertanian dan perkebunan, menyusul porak-porandanya neraca pembayaran pemerintah akibat anjloknya harga migas di pasar internasional. Dengan kritik ini pula, mahasiswa pun menemukan sarana praktisnya memulai debutnya dalam kancah politik melalui bentuk komite-komite solidaritas terhadap rakyat yang menjadi korban pembangunan. Protes-protes mereka tidak lagi sendirian, melainkan bersama-sama rakyat yang kepentingannya diperjuangkan mahasiswa

Radikalisasi kritik mahasiswa pada akhir 1980-an dan awal 1990-an, juga berkembang ketika pemerintah mengintensifkan kebijakan industri orientasi ekspor yang mengandalkan upah buruh yang rendah dan jam kerja yang panjang. Sebagian aktivis mahasiswa menemukan rangkaian kasus perselisihan perburuhan yang dimanifestasikan dalam berbagai aksi pemogokan. Mereka pun terlibat untuk membela dan mendukung protes-protes kaum buruh di sejumlah kawasan industri seperti di Solo, Surabaya, Bogor, Jakarta, Tangerang dan Bekasi. Mereka pun membentuk kelompok-kelompok buruh dan bahkan semacam serikat buruh.

Menyulut Lahan Kering Perlawanan

Perubahan orientasi gerakan mahasiswa pun tampak. Jika sebelumnya lakon mahasiswa adalah gerakan moral, maka sejak 1990-an, menjadi gerakan politik yang berbaur bersama rakyat yang mereka perjuangkan kepentingannya. Dengan begitu, bayang-bayang mitos agung gerakan moral yang elitis mulai ditanggalkan. Mahasiswa beralih sebagai 'pejuang rakyat'. Panggung atau arenanya juga telah bergerak ke luar kampus. Kendati begitu, pemerintah juga tidak sepenuhnya melarang apa yang dilakukan mahasiswa di luar kampus, sejauh tidak mengganggu jalannya pembangunan. Pembatasan lakon ini dilakukan dengan menangkap, menahan dan bahkan mengadili mahasiswa.

Perubahan orientasi itu juga mengantarkan sejumlah aktivis mahasiswa ke gelanggang yang lebih luas. Mereka tidak lagi terkucil dalam kampus, sebaliknya membentang arena pertarungan pada basis pengorganisasian rakyat dalam menggalang aksi-aksi protes. Fenomena Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID) menunjukkan, bagaimana kritik radikal dan kebutuhan untuk beraliansi dengan kekuatan-kekuatan lain di masyarakat semakin menanggalkan identitas mahasiswanya, bahkan mengubah arena 'perjuangan'nya ke wilayah yang lebih luas. Kritik mereka juga langsung tertuju pada pengekangan kebebasan berpendapat dan berserikat ketika mereka membentuk SMID. Dan lebih tajam lagi, mereka membentuk Pusat Perjuangan Buruh Indonesia (PPBI), serta akhirnya mendeklarasikan Partai Rakyat Demokratik (PRD) – sebuah partai oposisi – melampaui batas-batas toleransi politik Orde Baru. Tapi setelah peristiwa 27 Juli 1996, PRD – bersama SMID dan PPBI – di-PKI-kan dan dilarang, termasuk mengadili para pimpinannya.

Kini, dengan gagalnya PRD merebut kursi parlemen, memudarnya identitas politik mahasiswa (kampus), seiring dengan dinikmatinya kebebasan berserikat atau berorganisasi di luar kampus, bahkan ditunjukkan dengan keberadaan sistem multipartai dan lantas pemilihan presiden secara langsung, bukan saja format politik baru ini memorak-porandakan identitas politik mahasiswa arahan Orde Baru dalam skenario resi, tapi juga yang lebih penting lagi, bagi masa depan, adalah meletakkan kembali gerakan mahasiswa dalam konteks politik kontemporer yang telah berubah.

Lebih mendasar lagi, mahasiswa tidak pernah meletakkan posisinya yang konkret sebagai sebuah lapisan sosial di mana universitas atau perguruan tinggi menjalankan fungsi reproduksi tenaga kerja, selain fungsi reproduksi ide dan teori modernisasi, industrialisasi dan pertumbuhan ekonomi. Adakah ada ide dan inisiatif baru yang dapat mengaitkan kembali relasi mahasiswa-rakyat di atas pondasi yang lebih kokoh dan jitu? Ataukah hanya menerima apa saja yang telah berlangsung selama lebih satu dasawarsa reformasi, seiring naiknya politik identitas sektarian?***


Artikel ini sebelumnya merupakan orasi Hendardi pada acara “Ziarah Gerakan Mahasiswa”, Goethe Institute, Jakarta, 26 Agustus 2009.