Nezar Patria
KAWAN-kawan aktivis yang bersemangat. Selamat malam.
Malam ini kita berkumpul melakukan ziarah gerakan mahasiswa, dan saya diminta berbicara mewakili angkatan 1990.
Ziarah yang kita lakukan tentu bukan kepada satu makam, satu tempat dimana kehidupan sudah berhenti. Pada ziarah makam, yang hidup mungkin sepenggal kenangan, atau juga doa. Sementara yang kita ziarahi malam ini adalah satu masa, satu rentang waktu ketika mahasiswa dari pelbagai tempat bersatu, mengamalkan teori dan praktik revolusioner, menguji kata dan perbuatan.
Malam ini mari sebentar kita menengok ke masa lalu itu. Satu zaman marah, dimana anak-anak muda yang lahir dan besar pada rezim Suharto, mulai mengepalkan tinju melawan sang rezim. Mereka menantang satu orde kekuasaan yang kerap memproduksi ketakutan, membungkam pikiran kritis, melindungi para pemodal, dan menginjak setiap geliat dari rakyat tertindas.
Ya, “rakyat”, satu kata yang menjadi mahkota pada revolusi Agustus 1945, telah menjadi hantu pada masa orde baru.
Saya teringat satu adegan latihan aparat keamanan, pada satu hari, pada satu masa dari kekuasaan maha buas itu. Sejumlah serdadu bersenjata berbaris dalam keadaan bersiap setelah latihan yang tampak meletihkan. Sang komandan bergegas memeriksa kelengkapan barisan, dan mungkin, sedang menguji kesiapan mental pasukan.
Dia berdiri di depan barisan, dan lalu bertanya: “Prajurit, apa yang harus kita pertahankan?”
Para serdadu menjawab: “Siap! Pancasila dan UUD 1945”.
Lalu, pertanyaan berikutnya, “Siapakah musuh kalian?”
Para serdadu menjawab kompak: “Rakyat!”.
Tentu, jawaban ini mengejutkan, dan tak sesuai dengan ajaran di kelas-kelas penataran P4. Adegan itu juga hanya mempertajam kesan betapa munafiknya kekuasan orde baru. Rupanya latihan itu disiapkan untuk mengantisipasi satu aksi rakyat petani dalam sengketa tanah dengan pemodal, satu dari kasus perampasan tanah yang mulai ramai sejak akhir 1980an.
Gerakan Mahasiswa Angkatan 90an mewarisi sejumlah kelemahan, dan juga kekuatan dari angkatan sebelumnya. Pada angkatan 90, kelompok diskusi yang menjamur pada 1980an mulai ditinggalkan karena dinilai tak bisa mengubah keadaan.
Angkatan sebelumnya telah memulai membentuk komite aksi, meskipun kecil dan terbatas. Lalu aksi bersama rakyat mulai dilakukan, didukung oleh LSM progresif yang digerakkan oleh mantan aktivis dari angkatan lebih tua. Pembelaan di Kedungombo, Cilacap, dan Badega adalah bagian dari latihan keberanian yang mengagumkan.
Pada angkatan 1990 pula, gerakan mahasiswa mengalami satu persimpangan serius. Pada satu sisi, gerakan moral masih dianggap menjadi landasan penting dalam mengkritik kekuasaan. Pada sisi lain, sejumlah organ mahasiswa percaya, dibutuhkan gerakan lebih ideologis dan politis, untuk menggantikan sistem ekonomi dan politik yang menindas.
Kubu gerakan moral cenderung menilai pergantian kekuasaan akan menyelesaikan persoalan rakyat. Sementara kubu lainnya menganggap persoalan rakyat jauh lebih kompleks ketimbang urusan mengganti penguasa belaka. Bahwa jalan kapitalisme yang ditempuh orde baru adalah jalan sengsara bagi rakyat, dan karena itu harus digulingkan. Dibutuhkan satu partai revolusioner agar keadilan bagi yang terhisap kembali mendapat tempat.
Barangkali kita semua sudah tahu bagaimana episode selanjutnya berlangsung. Berdirilah Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi atau SMID. Selama 1993 sampai dengan perjalanan lima tahun berikutnya, organisasi ini menjadi juru bicara sendirian di sebelah Kiri jalan. Dari konsolidasi di sektor mahasiswa ini pula, bersama sektor rakyat lainnya, lahirlah partai politik pembangkang orde baru, Partai Rakyat Demokratik.
Saya kira kita juga sudah tahu bagaimana episode selajutnya berlangsung. Hanya dua bulan berdiri, partai itu dilarang, aktivisnya ditangkap dan dipenjara. Selama dua tahun partai itu bergerak di bawah tanah, mengkombinasikan semua pengetahuan strategi dan taktik revolusioner untuk melawan kediktatoran. Pada ujungnya, ketika gerakan mahasiswa anti kediktatoran mulai marak di awal tahun 1998, sejumlah aktivis SMID/PRD diculik tentara orde baru, dan sejumlah dari mereka tidak pernah kembali sampai hari ini.
Suharto, sang diktator itu, pada akhirnya pamit dari tampuk kekuasaan. Benar, tuntutan politik kita diusung oleh banyak kawan dari gerakan lain. Tetapi, cita-cita yang kita tandu sejak awal belum sepenuhnya berhasil.
Yang datang setelah kediktatoran tumbang bukanlah sosialisme demokratik, tapi satu sistem yang awalnya samar-samar, dan hari ini kian pekat bersandar pada demokrasi liberal. Dalam perjalanan di medan demokrasi liberal ini, hampir semua angkatan tergagap-gagap. Demokrasi liberal sebagaimana wataknya yang telah diketahui sejak awal, kini mengetuk pintu setiap markas gerakan. Sebagian bekas aktivis lalu masuk ke politik, sebagian lainnya tetap memilih berada di luar sistem.
Kita tahu, sebagian kawan kini terjun ke jalur politik parlementer itu. Mereka masuk lewat jalan berbagai partai politik. Seorang kawan bercerita bahwa dia menghabiskan hampir separuh hartanya untuk maju berebut kursi parlemen. Seorang kawan lainnya datang dengan muka lesu, dan melepaskan kemejanya sambil memaki: “Dancuk Demokrasi Liberal!” Hartanya rupanya sudah habis tak terkira, dan dia kalah pula.
Tentu, dengan kenyataan di atas persoalan tak selesai dengan mengajukan pertanyaan klasik: apakah berada di luar sistem lebih baik, ketimbang masuk ke dalamnya. Kenyataan politik demokrasi liberal, dimana politik sangat dekat pasar atau uang, telah membuat angkatan 1990 dan mungkin juga angkatan sebelumnya seperti kehilangan pegangan. Ada yang berhasil, tapi lebih banyak lagi yang gagal.
Tampaknya, setelah ziarah ini, angkatan 1990 dan angkatan sebelumnya harus menata kembali garis ideologi, politik, dan organisasi, serta taktik dan strategi baru, agar usaha memenangkan kepentingan rakyat tertindas menjadi lebih bertenaga.
Kalau tidak, maka ziarah kita pada malam ini, bukan lagi ziarah tentang satu masa perlawanan. Kita seperti berziarah ke masa depan, ke makam politik kaum revolusioner, yang beristirahat dengan tenang di bawah bintang-bintang.
Sementara, kata “rakyat” yang sempat bangkit pada 1998, mungkin akan kembali hilang dari panggung kekuasaan.
Terimakasih. Selamat malam.***
Nezar Patria, mantan Sekjend SMID (Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi), kini adalah wartawan media online Vivanews.com.
(Orasi di acara “Ziarah Gerakan Mahasiswa”, Goethe Institute, Jakarta, 26 Agustus 2009)