Rudi Hartono
PADA tanggal 9 Juli lalu, capres SBY sudah menyampaikan pidato kemenangan di hadapan seluruh media massa. Padahal, seperti kita ketahui, Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai pejabat resmi untuk urusan ini, belum juga merampungkan tugasnya; melakukan penghitungan, rekapitulasi, dan finalisasi. Tanpa merasa berdosa, SBY-Budiono lupa bahwa mereka memenangkan pemilu tanpa demokrasi sedikitpun.
Pada pemilu legislatif lalu, begitu banyak orang yang tercengang ketika Partai demokrat berhasil menaikkan perolehan suaranya tiga kali lipat atau 300%, sesuatu yang sangat sulit terjadi bila ada kompetisi politik yang demokratis. Dan sekarang ini, kemenangan SBY-Budiono, yang oleh semua lembaga survey ditaksir sekitar 60%, juga merupakan hal yang aneh, karena tidak disertai sebuah rasionalisasi ilmiah dari pemikiran politik manapun.
Baiklah, dalam artikel ini, saya mencoba mengangkat sejumlah arsitek yang bekerja di belakang layar, yang punya kontribusi besar kepada kemenangan SBY-Budiono. Mungkin, dalam beberapa hal, kelompok-kelompok inilah yang menjadi “invisible hand”nya SBY-Budiono untuk memenangkan pilpres.
Korporasi global dan Institusi Keuangan Internasional
Sejak memerintah, SBY merupakan presiden yang begitu bersahabat dengan kebijakan neoliberal. Mungkin, hal itu pula yang menyebabkan dirinya menjadi “the God Boy,” bagi perusahaan raksasa dunia dan institusi keuangan internasional. The Times of India pernah mencatat, SBY adalah presiden yang dianggap paling ramah terhadap investasi asing.
Meski belum memegang bukti “otentik,” tapi kuat dugaan bahwa mereka inilah yang menjadi kekuatan terbesar di belakang SBY, terutama dalam hal financial. Seperti diketahui, SBY-Budiono tercatat sebagai capres paling miskin, tapi tercatat memiliki dana kampanye paling besar, yaitu Rp. 20 milyar. Kita pun akhirnya mengetahui, iklan kampanye SBY tersebar dimana-mana; TV, surat kabar, billboard, hingga alat peraga yang menyesaki setiap sudut negeri ini.
Selain itu, beberapa investor asing sangat memuji rencana presiden SBY untuk membersihkan nepotisme dan kronisme. Menurut SBY, pemerintahannya yang lalu masih diwarnai konflik kepentingan di antara para anggota kabinet dan pejabat negara yang terlibat bisnis. Untuk itu, SBY berjanji jika dia terpilih kembali, dia akan menyingkirkan kelompok kepentingan itu, dan menggantikannya dengan teknokrat.
Bagi investor asing, Indonesia masih merupakan surga “terbesar” bagi pengembangbiakkan modal mereka. Selain jumlah tenaga kerja yang besar dan berupah murah, Indonesia juga punya sumber daya alam yang melimpah, pasar yang besar, dan birokrasi yang penurut (baca, inlander). Tidak heran, meskipun investasi asing sempat merosot dalam beberapa tahun terakhir, tapi akan segera meningkat pada pertengahan 2009 ini, sekitar US$ 5,39 juta. Bukan itu saja, pada tahun ini juga, dua raksasa industri dunia, yakni Volkswagen AG dan British American Tobacco PLC, sudah mengumumkan rencana investasi baru di negeri ini, segera setelah Yudhoyono kembali terpilih.
Selanjutnya, pujian juga datang dari institusi keuangan dunia. Selain IMF dan Bank Dunia yang memuji-muji sikap bersahabat SBY dan administrasinya—khususnya menteri keuangan, Sri Mulyani—dalam memperlakukan pasar financial, pujian juga datang dari sejumlah perusahaan financial dan lembaga investasi, seperti Goldman Sachs. Bahkan, sehari sebelum pemilihan, Goldman Sachs telah menaikkan peringkat Indonesia dalam hal iklim investasi, sebuah sinyal persahabatan, tentunya. Selain itu, Moody investor service juga segera menaikkan peringkat Indonesia dari “stabil” menjadi “baik”.
Dan bagi pemerintah AS, kemenangan SBY dapat diilustrasikan sebagai kemenangan seorang gubernur mereka di pemilu lokal. Dalam segala aspek, politik luar negeri Indonesia di bawah Yudhoyono selalu mensupport kepentingan AS, bahkan dalam forum-forum internasional yang berhadapan dengan dunia ketiga. Tidak heran, pada april yang lalu, Hillary Clinton menyampaikan pujian kepada SBY. Menurut Hillary, pemerintahan SBY merupakan sekutu terpenting AS dalam “perang melawan terorisme”.
Lembaga Pelaksana Pemilu dan Aparatus Pemerintahan
Dalam pemilu legislatif lalu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menjadi pihak tersendera mengenai kecurangan pemilu. Pada saat itu, KPU dianggap bermasalah karena beberapa hal; tidak mempersiapkan Daftar Pemilih Tetap (DPT), pelaksaan pemilu yang semrawut, dan KPU yang kurang independen (netral).
Bagi sejumlah pihak, kecurangan terbesar berpangkal kepada Daftar Pemilih Tetap (DPT). Selain persoalan pengabaian dan penghapusan hak politik rakyat, DPT telah menjadi dasar dari berbagai modus operandi kecurangan, seperti penggelembungan suara, manipulasi, dan sebagainya.
Dalam pilpres ini, KPU dengan “sengaja” tidak mempersiapkan DPT dengan baik. Padahal, untuk menjalankan pemutakhiran data, KPU diberi uang operasional oleh negara sebesar Rp. 3 trilyun. Pada pemilu-pemilu sebelumnya, khususnya 1999 dan 2004, rumah-rumah penduduk masih ditempeli “sticker” bergambar KPU dan nomor pemilih, sementara pada pilpres ini, hal itu tidak terjadi sama sekali.
Selain dicerca soal DPT, KPU juga dinilai bersikap tidak netral (baca, independen). Beberapa hari menjelang pilpres, KPU mengeluarkan spanduk sosialisasi yang menganjurkan contreng nomer dua. Selain itu, KPU juga mengeluarkan spanduk sosialisasi yang mendukung pilpres satu putaran. Ini merupakan bukti nyata.
Selain itu, berdasarkan SMS yang beredar luas (yang katanya dikirimkan oleh George Aditjondro) bahwa tim sukses SBY-Budiono (Fox Indonesia) sudah menguasai bagian programmer dan data entry KPU.
Di pihak lain, keterlibatan apparatus negara seperti TNI, POLRI, dan BIN juga sangat nyata pada pilpres ini. Pada beberapa hari yang lalu, menjelang pilpres, polisi berkali-kali merepresi aksi-aksi anti neoliberalisme, terutama jika bertepatan dengan kampanye SBY-Budiono. Selain itu, di Balikpapan, Polisi juga membubarkan kampanye Mega-prabowo karena bertepatan dengan kedatangan SBY. Padahal, jika mengacu pada jadwal resmi, hari itu memang merupakan jadwal kampanye tim Mega-pro.
Selain itu, meskipun analis politik seringkali mengulang-ulang bahwa kemenangan SBY adalah karena politik pencitraan, maka itupun tidak bisa disebut sebagai penyebab tunggal. Menurut saya, kemenangan ini ditopang oleh sebuah teknik penguasaan territorial yang mantap, dan Partai demokrat dan PKS belum bisa melakukan hal ini. Partai demokrat tidak punya struktur mengakar hingga ke teritori dan menancap kebawah, sementara PKS baru berpusat di perkotaan. Dalam sejarah Indonesia, militer lah salah satu kekuatan politik yang mempunyai penguasaan territorial hingga ke RT dan RW. Jadi, kuat dugaan bahwa ada keterlibatan apparatus negara, khususnya TNI/Polri, dalam menyumbang kemenangan bagi kubu neoliberal, SBY-Budiono.
Lembaga Survey
Kemenangan SBY-Budiono juga tidak lepas dari kerja-keras dari berbagai lembaga survey. Seperti diketahui, lembaga survey berhasil menjaga opini publik mengenai popularitas SBY-Budiono. Caranya, lembaga survey terus menerus memasang survey mengenai popularitas kubu neolib ini “tertinggi” di banding pesaingnya.
Dalam sebuah diskusi, Dr. Jeffrey Winters dari Northwestern University pernah mengatakan, pihaknya meragukan akurasi dan validitas hasil survey-survey di Indonesia. Ia mengatakan, lembaga survey di Indonesia tidak pernah melakukan “random spot check” di lapangan setelah survei dilakukan untuk memastikan apakah pengambilan data betul-betul dilakukan di lapangan. Selain itu, menurutnya, lembaga survey di Indonesia tidak pernah netral dan independen, karena “kantong” mereka bergantung dari dana para kliennya.
Sebelumnya, Lembaga Survey Indonesia (LSI) pimpinan Syaiful Mujani mengaku bahwa keseluruhan surveinya mengenai elektabilitas capres-cawapres Pilpres 2009 dibiayai oleh Fox Indonesia. Sedangkan diketahui Fox Indonesia merupakan konsultan kampanye SBY-Boediono. Ini hanya satu contoh.
Sama halnya dengan pooling, yang ditayangkan pada saat debat capres dan cawapres, sama sekali tidak mencerminkan perolehan suara dari SMS yang sebenarnya. Jadi, jangan pernah berharap bahwa perolehan suara melalaui SMS itu merupakan hasil SMS dari para pemirsa. Semuanya itu telah diatur, terutama oleh mereka-mereka yang bekerja di belakang layar. Pada sebuah email di milis KAHMI diketahui, bagaimana pihak penyelenggara pooling (Media dan provider) bisa mengontrol SMS yang masuk, dan mengarahkannya untuk memenangkan capres tertentu. Untuk diketahui, seperti dituliskan di email itu, SBY-Budiono memenangkan pooling SMS dengan membayar sebuah perusahaan content provider dan menyiapkan sedikitnya 50 modem, dimana 1 modem berisi 5 -10 juta pulsa.
Hanya sehari setelah pemilu, lembaga survey sudah melangsir sebuah hasil akhir dari sebuah pemilu, yang diperoleh dari metode penghitungan cepat (Quick count). Meskipun hasil quick count berbeda tipis dengan hasil perhitungan manual KPU, seperti pada pemilu legislatif lalu, tapi itu bukan jaminan bahwa angka-angka yang disajikan benar adanya. Sebagai misal, pada tahun 2004, ketika syarat suara partai untuk pengajuan capres adalah 7%, maka suara partai demokrat pun benar-benar berkisar 7 %. Dan sekarang ini, ketika syarat pengajuan capres adalah 20%, maka perolehan suara partai demokrat pun melebihi 20%. Dan sekarang ini, ketika kubu SBY memaksakan pilpres satu putaran, maka hasil quick count pun bertengger di sekitar 60%. Apakah ini kebetulan atau rekayasa? Hanya tuhan dan kubu SBY yang tahu.
Ada beberapa hal yang perlu dicermati dari hasil quick count ini; pertama, hasil quick count berupaya mengkondisikan kemenangan SBY dalam persepsi masyarakat. Jadi, misalnya, kalaupun terjadi manipulasi perolehan suara dalam penghitungan KPU, rakyat sudah punya pegangan bahwa SBY adalah pemenang, dan mereka tidak akan terbawa “provokasi” pihak oposisi atau pesaing SBY. Kedua, hasil “quick count” yang sebagian besar mengunggulkan SBY-Budiono, akan memperkecil ruang bagi munculnya gerakan protes terhadap pelaksanaan pilpres. Dengan berpegang pada hasil survey, kubu SBY-Budiono sangat mudah menggirim persepsi publik bahwa mereka yang memprotes kecurangan pemilu hanyalah barisan “sakit hati”.
Keberpihakan Media
Media memberikan kontribusi penting kepada kemenangan SBY-Budiono, bukan hanya pada detik-detik terakhir menjelang pilpres, tapi sudah berlangsung lama saat media selalu memposisikan baik pemerintahan SBY. Sebagai misal, ketika pemerintahan SBY mengeluarkan kebijakan kurang populer, dan mengundang gerakan protes dimana-mana, media turun tangan mengatasi persoalan dengan memanipulasi keadaan dan mendiskreditkan oposisi dan gerakan protes.
Memang, menjelang detik-detik terakhir pilpres dan beberapa hari setelah pilpres, media memperlihatkan dukungan nyata terhadap kubu neoliberal, SBY-Budiono. Pada masa kampanye lalu, beberapa TV swasta nasional menolak iklan kampanye Mega-Prabowo yang tajam mengeritik kebijakan neoliberal pemerintah berkuasa, padahal iklan ini sudah lulus sensor oleh Lembaga Sensor Film (LSF).
Pada kenyataannya, beberapa TV swasta nasional tersebut menyiarkan pidato SBY yang berisikan kampanye politik, dengan durasi yang cukup panjang. Mungkin itu beberapa pihak menyebut ini sebagai bentuk “kecolongan”, tapi kok kejadian seperti ini terjadi berulang kali.
Paska pilpres, dimana KPU belum mengumumkan sang pemenang, media secara bersahut-sahutan telah menobatkan SBY-Budiono sebagai pemenang pilpres, hanya dengan berpegang kepada hasil quick count. Selain itu, media tidak jarang melempar sinisme dan pandangan negatif terhadap protes-protes pesaing SBY mengenai kecurangan pemilu. bahkan, jika anda menyaksikan beberapa tayangan TV swasta nasional (khususnya TV one dan Metro TV), dan terkadang dengan nada mengejek, mereka menganjurkan kepada pihak yang kalah agar legowo untuk mengakui kekalahan dan mengutamakan kepentingan bangsa.
Dalam beberapa kejadian terakhir ini, saya mencatat beberapa hal;
Pertama, media telah berpihak kepada kaum elit dan pebisnis besar. Dalam pro-kontra neolib, misalnya, media terlihat jelas mendiskreditkan kelompok anti-neoliberal sebagai pendukung kubu kandidat tertentu. Selain itu, media juga tidak jarang menghakimi “program-program kerakyatan” yang diajukan kandidat di luar SBY-Budiono, sebagai sekedar janji politik belaka. Padahal, seharusnya memberikan tempat kepada kandidat dan rakyat untuk memperdebatkan program tersebut, mengikat kontrak politik, hingga mengontrol janji-janji ini.
Harian Rakyat Merdeka, misalnya, pada edisi 28 juni 2008, memberitakan kampanye Mega-pro di gelora Bung karno, kemudian ditambahkan sebuah berita photo yang kurang baik, dimana Mega dan prabowo kelihatan sedikit miring ke depan (baca, terdorong ke depan) karena mobil bus direm, sepertinya. Sementara itu, pada sisi bagian bawah, terdapat berita gambar Budiono sedang meminta air putih, yang mengesankan Budiono sebagai orang sangat sederhana. Dalam hal pemberitaan pun demikian, sering sekali saya menemukan nada sinis terhadap program capres di luar SBY-Budiono, terutama program yang anti neoliberal dan program yang berbau kemandirian bangsa. Sebaliknya, mereka sering mengulas soal kesederhanaan hidup pribadi SBY dan Budiono.
Kedua, dalam beberapa hal, media aktif mendepolitisasi kehidupan politik rakyat, dengan melemparkan sinisme dan antipati terhadap hal-hal yang berbau politik. Di kolom-kolom media cetak, kita tidak akan kesulitan menemukan pujian yang berlebihan terhadap angka golput yang besar, serta menurunnya kepercayaan rakyat terhadap para politisi dan partai politik.
Sebetulnya, beberapa faktor lain juga terindikasi menguntungkan atau memberi kontribusi kepada kemenangan SBY, seperti LSM/NGO. Dalam beberapa kasus, sebagian LSM terang-terangan mendukung SBY, khususnya LSM pemerintah seperti LIRA (Lumbung Informasi Rakyat). Tapi, pada sudut yang lain, beberapa LSM sebetulnya tidak menyampaikan dukungan apapun kepada SBY, tetapi memberikan keuntungan kepada pada kubu neoliberal ini pada penggunaan dan kampanye isu spesifik, khususnya korupsi dan HAM.
Dalam isu korupsi, SBY-Budiono punya komitmen kuat untuk menghabisi korupsi. Tapi, di sini, tekanan pemberantasan korupsi ala SBY bertujuan untuk menciptakan iklim yang baik bagi investasi, untuk menyenangkan investor. Sebaliknya, rakyat berharap agar pemberantasan korupsi hingga ke akar-akarnya bisa menyelamatkan keuangan negara, sehingga dapat dipergunakan membiayai kesejahteraan rakyat. Hanya saja, dalam putaran kampanye pemilu, isu ini dapat dicolong kubu SBY-Budiono untuk mendukung kampanye pemerintahan bersihnya.
Sementara pada isu HAM, seperti yang kita perhatikan, tekanan utamanya hanya berputar-putar pada pelanggaran HAM di kurun waktu 1996-1998, tidak menyeluruh, dan kurang menyebut andil Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Selain itu, perspektif HAM yang diungkapkan sangat sempit, dan tidak menjangkau pada persoalan-persoalan hak ekonomi-sosial-budaya (ekosob). Akhirnya, kejadian-kejadian atau penindasan ekonomi dibawah neoliberal, seperti pembakaran 700 rumah dan penembakan petani Suluk Bongkal, penggusuran PKL dan pemukiman kumuh, serta kejahatan ekonomi lainnya, tidak dimasukkan sebagai bagian dari pelanggaran HAM oleh pemerintahan neoliberal, SBY-Budiono.***
Rudi Hartono, peneliti di Lembaga Pembebasan Media dan Ilmu Sosial (LPMIS), pengelola jurnal Arah Kiri, dan Berdikari Online.