Menjaga Seulawah Untuk Republik

Saiful Haq

Dari Seulawah pertama hingga ketiga

16 JUNI 1948. Bertempat di hotel Kutaraja, Banda Aceh, berhasil terkumpul 20 kg emas untuk republik. Emas inilah yang kemudian digunakan pemerintah Indonesia, untuk membeli pesawat Dakota, yang merupakan pesawat angkut pertama milik Indonesia. Presiden Soekarno, kemudian memberi nama Seulawah, kepada Dakota ini. Seulawah dalam bahasa Aceh, berarti gunung emas.
Tahun berikutnya, atas inisiatif dari Teungku Daud Beureueh, rakyat Aceh mengumpulkan sumbangan berupa uang untuk pemerintah Republik Indonesia. US$ 250.000 untuk Tentara Nasional Indonesia, US$ 50.000 untuk membangun kantor pemerintahan Republik Indonesia, US$ 100.000 untuk keperluan memindahkan pusat pemerintahan Republik Indonesia dari Yogyakarta ke Jakarta dan US$ 100.000 untuk biaya operasional pejabat pemerintah Republik Indonesia. Inilah periode pertama hadiah rakyat Aceh untuk republik.

Tahun 2005, Seulawah kedua kembali dihadiahkan oleh rakyat Aceh. Setelah perang berkepanjangan, akhirnya pada 15 Agutus 2005, pemerintah Republik Indonesia bersama Gerakan Aceh Merdeka, menandatangani sebuah piagam perdamaian di Helsinki, Finlandia. MoU ini bukan saja menghentikan pertikaian antara Republik dengan Aceh, lebih dari itu, perdamaian ini telah mengubah citra Indonesia di mata internasional. Belum pernah kita melihat apresiasi internasional yang begitu tinggi. Citra Indonesia sebagai negara dengan angka pelanggaran HAM yang tinggi menjadi berubah, bahkan SBY-JK sempat masuk daftar kandidat peraih nobel perdamaian. Dan sejak itu, Indonesia kembali diterima dan terlibat aktif dalam pergaulan internasional dan berbagai upaya menciptakan perdamaian dunia.

Jika di level internasional perdamaian di Aceh menjadi salah satu referensi penting dalam penyelesaian konflik di belahan dunia yang lain, maka di tingkatan nasional, Aceh menjadi model perubahan, terutama berkaitan dengan relasi kekuasaan dan ekonomi antara pusat dan daerah yang dituangkan melalui Undang-undang Pemerintahan Aceh.

Tahun berikutnya, pilkada (pemilihan kepala daerah) langsung digelar di Aceh. Pilkada berlangsung damai dan aman. Pasangan Irwandi Yusuf seorang mantan tokoh GAM (Gerakan Aceh Merdeka) dan Muhammad Nazar, seorang aktivis SIRA (Sentral Informasi Rakyat Aceh), terpilih menjadi gubernur. Untuk pertama kalinya dalam sejarah republik, pasangan calon independen bisa bertarung dan menang dalam pemilihan umum. Momentum ini tidak diragukan lagi, menjadi preseden positif dalam tradisi berdemokrasi di Indonesia. Hasilnya, pada 2008, calon independen resmi diperkenankan bertarung dalam pilkada di seluruh Indonesia. Pelajaran yang berharga ini merupakan periode ketiga sumbangan Seulawah dari rakyat Aceh untuk republik.

Seulawah Keempat

Dalam MoU Helsinki disebutkan, keberadaan partai politik lokal diperkenankan dalam Pemilu di Aceh. Enam partai lokal dinyatakan berhak ikut dalam pemilu 2009. Kembali, untuk pertama kali dalam tradisi politik republik, sebuah model berpolitik yang yang baru ditawarkan. Peluang kemenangan partai lokal sangat besar, namun di sisi lain, partai lokal dituntut untuk menampilkan performa terbaiknya di hadapan publik. Yang menarik, tentu, bahwa momentum ini adalah peringatan berharga kepada partai nasional untuk mulai berbenah diri, pola-pola kekuasaan partai yang berpusat di Jakarta dan jauh dari representasi kepentingan daerah akan mengalami koreksi. Suka tidak suka, partai nasional harus melakukan akomodasi dan memberikan porsi yang besar bagi kepentingan masyarakat di daerah, jika tidak mereka akan ditelan oleh masa transisi.

Politik masa transisi selalu menghadirkan kecemasan-kecemasan sekaligus harapan-harapan baru. Antusiasme politik rakyat Aceh sangat tinggi, berbagai pihak menunggu sejauhmana keberadaan partai lokal bisa menjadi model alternatif bagi berbagai kebuntuan politik sentralistik selama ini. Keberadaan partai lokal bukan hanya sekedar menjadi ”basa-basi politik” pusat terhadap Aceh, tapi lebih jauh diharapkan bisa menjadi referensi penting dalam merumuskan model demokrasi Indonesia di masa yang akan datang. Keberadaan partai lokal tentu semakin mendekatkan partai politik terhadap konstituennya, sehingga akses penyerapan aspirasi, pertanggungjawaban partai terhadap publik, representasi calon yang dikenal baik oleh masyarakat akan semakin mudah dilakukan. Sehingga, tidak dimungkinkan sebuah partai politik bertarung dalam pemilu tanpa program politik dan ideologi yang jelas. Inilah yang diharapkan dan ditunggu-tunggu akan menjadi Seulawah keempat dari rakyat Aceh.

Menjaga Seulawah

Menjelang pemilu 2009, suhu politik nasional sudah mulai meningkat. Meski suara pemilih di Aceh tidak signifikan, namun Aceh tetaplah memiliki Seulawah yang bisa dicuri oleh siapapun. Aceh tetap menjadi issue yang sexy untuk dijadikan komoditas politik. Bagi kelompok nasionalis, Aceh tetap harus dicurigai akan memisahkan diri dari republik, apalagi jika partai lokal memenangkan pemilu. Bagi kelompok politik Islam, Aceh adalah kantong suara yang harus direbut dan dijadikan model penerapan syariat Islam, sehingga isu Palestina kemudian dijadikan sebagai ajang konsolidasi politik. Bagi kelompok demokrat, Aceh adalah sensitifitas politik sekaligus aset: salah bersikap terhadap Aceh bisa mengundang pukulan politik, bisa dituduh tidak nasionalis, pro-GAM, dan juga antek asing.

Tak bisa disangkal, tarik menarik politik di Jakarta, membawa pengaruh di Aceh. Angka kriminal berbau politik meningkat, intimidasi terhadap partai lokal, ketegangan antara partai lokal dengan partai nasional, atau antara sesama partai lokal semakin sering terjadi. Sementara itu, berbagai operasi keamanan mulai digelar, namun aroma politik tak bisa dihindari. Ketegangan politik ini kembali mengingatkan luka lama akan konflik, militer mulai memberikan pernyataan politik di media massa, polisi merasa tidak cukup percaya diri menjaga keamanan, permerintah propinsi merasa kehilangan kontrol atas kondisi keamanan. Aceh memasuki fase ketidakpastian, partai lokal terjepit antara upaya memenangkan pemilu di satu sisi, dan tuduhan sebagai upaya separatisme di sisi lain.

Menjelang pemilu 2009, aroma kontestasi politik semakin menyengat. Hal ini sebenarnya terjadi di semua daerah di Indonesia. Namun, Aceh selalu menjadi daerah istimewa. Ketika masyarakat Makassar, Surabaya, atau Medan boleh mengusung isu putra daerah dalam pilkada, Aceh tidak semudah itu. Orang Aceh memimpin Aceh bisa dimaknai sebagai ancaman keamanan dan disintegrasi. Sama halnya ketika partai lokal diamini untuk bertarung dalam Pemilu 2009 di Aceh, maka kemenangan partai lokal dianggap sebagai awal peluang lepasnya Aceh dari pangkuan Republik. Untuk hal seperti itu, banyak pihak yang merasa penting untuk merepotkan diri meredam peluang dominasi partai lokal. Berbagai argumentasi berbasis nasionalisme, kedaulatan dan keamanan kemudian digunakan untuk meyakinkan Jakarta, bahwa Aceh tidak aman dan separatisme akan kembali bangkit dalam bentuk yang lebih membahayakan.

Terlepas dari semua persoalan politik itu, masyarakat sipil yang telah merasakan nikmatnya menghirup udara perdamaian, menikmati bagaimana roda ekonomi kembali berputar, dan suasana mencekam dan saling mencurigai yang mulai hilang, kini kembali resah. Tiga tahun belumlah sanggup untuk menghapus trauma akan kekerasan pada masa konflik. Berbagai program kemanusiaan dan perdamaian tidak cukup untuk menghapus kenangan tersebut, bahkan, kenangan tersebut terkadang lebih kuat dari kepercayaan akan langgengnya perdamaian di Aceh.

“Es soll kein Friedensschluβ für einen solchen gelten, der mit dem geheimen Vorbehalt des Stoffs zu einem künftigen Kriege gemacht worden”, tidak boleh ada perjanjian perdamaian yang dianggap absah apabila di dalamnya terkandung maksud tersembunyi untuk mempersiapkan perang di masa depan, demikian Immanuel Kant menegaskan salah satu butir syarat sebuah perdamaian abadi. Dalam konteks Aceh, tidak ada pilihan lain kecuali mempertahankan perdamaian. Hanya dengan cara itu, semua pihak akan bisa mengambil pelajaran berharga dari Aceh. Pemilu 2009 diyakini adalah salah satu babakan penting dalam mengakhiri konflik berkepanjangan di Aceh. Tetapi ini hanya bisa terwujud jika Pemilu ini bisa dilewati dengan damai. Seluruh pihak sebaiknya melihat, proses politik yang berlangsung di Aceh, termasuk keberadaan partai lokal, adalah sebuah proses pembelajaran bagi semua pihak, sebuah momentum emas untuk memikirkan ulang pola relasi antara pusat dan daerah, sebagai proses transisi politik GAM dari perjuangan bersenjata menuju perjuangan demokratis, sebagai proses memenangkan kepentingan dan kesejahteraan rakyat Aceh. Hanya dengan itu, dan hanya dengan kebesaran hati seperti itu, Aceh tidak akan memisahkan diri dari republik, dan kemudian Seulawah keempat bisa diselamatkan.

Aceh: Kemenangan Partai Lokal dan Politik Menjelang Pilpres 2009

Pemilu legislatif 2009 di Aceh, akhirnya dimenangkan oleh Partai Aceh (PA). Di tingkat propinsi, PA meraih 34 kursi (48%) dari 69 kursi DPRA. Di seluruh kabupaten/kota PA meraup 235, dengan unggul di 15 kabupaten/kota. Sementara itu Partai Demokrat (PD) dan partai Golkar mengikuti di posisi kedua dan ketiga. Hasil pemilu legislatif 2009 di Aceh ini menunjukkan beberapa hal: pertama, masyarakat Aceh dalam menentukan pilihan politiknya sangat mempertimbangkan faktor kelanjutan perdamaian. Kedua, karena faktor utama yang dipertimbangkan adalah kelanjutan perdamaian, maka partai yang dipilih (mesikpun ini lebih karena kepemimpinan individual di partai) adalah yang mereka anggap sebagai representasi dari penggagas perdamaian di Helsinki. Dalam hal ini, PA sebagai representasi para ex-GAM, PD atas komitmen SBY untuk perdamaian Aceh, dan Golkar karena ada JK di dalamnya.

Lalu, bagaimana dengan kandidat presiden yang akan tetap berkomitmen terhadap perdamaian Aceh? Menjelang pemilihan presiden Juli 2009, dengan bercerainya SBY dengan JK, ini menjadi dilema, karena keduanya dikenal sebagai tokoh yang ikut memrakarsai pertemuan di Helsinki. Bukan hanya itu, bahkan hingga saat ini, keduanya tetap menunjukkan komitmen yang kuat terhadap perdamaian Aceh. Dilema berlanjut ketika masing-masing, SBY dan JK, menetapkan calon wakil presiden pendampingnya. Boediono, walaupun masih merupakan pilihan yang aman, tidak pernah punya jejak berdarah di Aceh, tapi juga tidak pernah secara langsung memberikan kontribusi bagi perdamaian di Aceh, apalagi berkomitmen. Di sisi lain, JK memilih Wiranto sebagai calon wakil presiden, yang tidak seperti SBY, jenderal ini lebih kontroversial dibanding SBY, selain itu mungkin akan lebih dominan dibandingkan JK kelak ketika terpilih.

Pilihan-pilihan seperti ini akan terus menyulitkan, sehingga otomatis mesin partai dan tim sukses masing-masing kandidat yang bersangkutan, harus bekerja keras. Dilema yang dihadapi oleh partai-partai lokal dan organisasi politik di Aceh, kemungkinannya adalah ke SBY atau ke JK, tentunya dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Berharap sepenuhnya pada perjanjian di atas kertas yang ditandatangani di Helsinki, rasanya terlalu beresiko. Sikap dan afiliasi politik di level nasional dibutuhkan untuk melanggengkan perjanjian damai tersebut, dan pilihannya tentu saja kepada orang yang paling besar menunjukkan komitmennya.

Kendala lainnya, di tengah pragmatisme politik yang begitu tinggi di level nasional akan menyulitkan penentuan pilihan ini. SIRA, contohnya, sudah mendeklarasikan mendukung JK-Wiranto dalam pemilihan presiden Juli nanti. Lalu bagaimana dengan PA sebagai pemenang pemilu, dan berada di tengah-tengah kedua tokoh ini (SBY dan JK)? Atau bagaimana dengan sikap organisasi massa lainnya di Aceh, yang juga tentu masih signifikan diperhitungkan? PA sepertinya tidak akan mengambil keputusan secepatnya, dan sebaiknya memang tidak mendeklarasikan secara resmi mendukung siapa. Mesin politik partai yang masih solid akan menjadi modal utama PA, untuk memutuskan pada detik-detik terakhir, sehingga sangat mungkin bagi PA untuk menentukan pilihan di saat yang tepat. Sementara itu, menurut saya, organisasi massa di Aceh akan terbagi, walaupun lebih banyak yang mengusung JK-Wiranto. Sebabnya, karena JK memang memiliki komunikasi politik yang lebih baik ke akar rumput.

Lalu bagaimana jika pilpres masuk ke putaran kedua? Jika SBY berhasil menang dalam satu putaran, tentu tidak terlalu soal buat rakyat Aceh. Tetapi, jika SBY dan JK masuk putaran kedua, artinya siapapun yang menang tidak akan menjadi masalah. Begitupun jika JK atau SBY masuk keputaran kedua dan kemudian berhadapan dengan Mega- Prabowo, saya yakin suara pemilih akan solid untuk JK atau SBY. Kita tunggu saja.***

Saiful Haq, adalah kontributor Indoprogress, pemerhati politik dan militer. Sekarang bekerja untuk Friedrich Ebert Stiftung (FES).

Artikel ini merupakan versi update dari artikel dengan judul yang sama yang dimuat di majalah Aliansi Edisi Maret 2009, diterbitkan oleh YAPPIKA Jakarta.