I Fahmi-Panimbang
Judul buku: Direktori Serikat Pekerja/Serikat Buruh Indonesia
Penyusun : Kosuke Mizuno, dkk
Penerbit : Pusat Kajian Asia Tenggara Universitas Kyoto, Jepang, dan AKATIGA-Pusat Analisis Sosial, Bandung
Tahun terbit : 2007
Tebal halaman: xxx + 575 halaman
SETIAP tanggal 1 Mei, seperti pada 1 Mei yang lalu, kita selalu menyaksikan Jakarta dan kota-kota besar lainnya di Indonesia diwarnai demonstrasi besar-besaran yang dilakukan ratusan ribu buruh. Pada momen peringatan Hari Buruh Sedunia itu para buruh berorasi di depan istana presiden, tumpah-ruah di depan kantor-kantor pemerintah, atau berjalan jauh menuju gedung-gedung Dewan Perwakilan Rakyat. Mereka meneriakkan yel-yel protes atas kebijakan pemerintah yang lebih banyak merugikan kaum buruh. Pemberitaan media pun ramai mengangkat peringatan ini. Akan tetapi tahukah Anda bagaimana sesungguhnya peta serikat buruh Indonesia saat ini?
Direktori Serikat Pekerja/Serikat Buruh Indonesia (2007) susunan Kosuke Mizuno dkk ini membantu kita memahami gambaran umum tentang serikat buruh/serikat pekerja di Indonesia. Dalam direktori ini pembaca disuguhi informasi mengenai 75 serikat buruh tingkat nasional lengkap dengan alamat, nama ketua umum, tahun berdiri, sejarah singkat, dasar perjuangan, tujuan pendirian, struktur organisasi, keanggotaan, pendanaan, program, sebaran wilayah dan sektor, hubungan dengan institusi lain, serta pandangannya mengenai beberapa isu utama perburuhan.
Duapuluh enam halaman pertama direktori ini, termasuk pohon silsilah serikat buruh yang dipetakan sejak 1973 hingga 2003, menjelaskan peta dan petunjuk bagaimana cara efektif menelusuri sederet informasi tentang organisasi buruh di Indonesia yang rumit. Meskipun tampak tumpang-tindih antara pengantar, pendahuluan, dan panduan ringkas mengenai direktori, artikel-artikel yang tersaji yang ditulis tiga orang pada halaman-halaman awal itu sangatlah menarik.
Tjandraningsih dalam pengantarnya, misalnya, menjelaskan bahwa serikat buruh di Indonesia secara umum memiliki tiga ciri pokok: rentan terhadap perpecahan, berorientasi serikat, dan bersifat eksklusif, yang kemudian ketiga ciri itu ia jelaskan secara terperinci (h 5-6). Sementara itu Herawati, penulis pengantar yang lain, menganalisa wajah serikat buruh dengan menilai kelebihan dan kekurangan penggunaan dua model struktur organisasi serikat buruh selama ini, serta memaparkan bagaimana kenyataan hubungan pengurus serikat buruh tingkat pusat dan akar rumput (h 12-16).
Pengantar lainnya yang menarik ditulis oleh Mizuno dengan tajuk “Pola Organisasi Buruh di Tingkat Pabrik dan Hubungan Industrial di Indonesia” (h 17-26). Tulisannya itu memapah pembaca pemula dengan mengelompokkan serikat buruh tingkat nasional ke dalam empat bagian: (1) kelompok buruh yang tergabung dalam KSPSI (Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia); (2) mereka yang keluar dari KSPSI; (3) organisasi buruh yang didirikan selama Orde Baru untuk menantang SPSI; dan (4) organisasi yang sudah ada sebelum tahun 1973, semasa lahirnya Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI) dan kini hidup kembali setelah Soeharto jatuh.
Ada juga kriteria lain yang menurut Mizuno dapat digunakan untuk menganalisa serikat buruh baik tingkat nasional maupun tingkat perusahaan, yakni kategori keorganisasian yang mencakup keanggotaan, ruang lingkup kegiatan, dan lapisan buruh dalam satu perusahaan yang diorganisasikan. Bentuk-bentuk organisasi tersebut juga dapat dikelompokkan ke dalam empat model: (1) serikat buruh perusahaan (enterprise union), (2) serikat buruh lintas sektor (general union), (3) Serikat buruh industri (industrial union), dan (4) serikat buruh profesi (craft union). Pengelompokan semacam ini sangat umum digunakan untuk menganalisa model-model organisasi buruh di banyak negara (h 17).
Mizuno berpendapat bahwa jika keorganisasiannya matang atau kegiatannya berkembang, tiga model serikat buruh terakhir (yaitu serikat buruh lintas sektor, serikat buruh industri, dan serikat buruh profesi) biasanya dapat membuat perjanjian kerja bersama (PKB) dengan pengusaha. Di Indonesia sangat sedikit serikat buruh model-model ini yang dapat membuat perjanjian perburuhan kecuali model serikat buruh perusahaan (enterprise union) dan beberapa organisasi buruh seperti Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) (h 18).
Bukan Direktori Biasa
Penyusunan direktori setebal 575 halaman ini yang diterbitkan hasil kerja sama Pusat Kajian Asia Tenggara Universitas Kyoto, Jepang, dan Pusat Analisis Sosial-Akatiga, Bandung, memang pekerjaan berat yang memakan waktu. Dibagi berdasarkan dua masa wawancara yang panjang (pada tahun 2003-2004 dan 2006), penyusunannya telah dimulai sejak 1999. Walau demikian, masih tampak beberapa celah yang kurang tersusun teliti.
Dari tiga pengantar dan satu pendahuluan, termasuk mengenai direktori, tidak ada yang memberikan penjelasan ringkas mengenai beberapa konsep penting (lebih baik lagi jika dalam bentuk daftar istilah/glossarium), yang memuat antara lain apakah yang dimaksud dengan serikatburuhisme, apa itu P4P/P4D (yang kini sudah tidak ada lagi), atau apakah Hubungan Industrial Pancasila itu. Penjelasan ini memang penting hanya bagi pembaca pemula, tetapi mereka mestinya jadi target terbanyak pembaca direktori ini.
Tim penyusun juga sejak awal sudah menyadari bahwa rangkaian informasi dalam direktori ini tidak ditulis dalam bentuk yang sama untuk semua serikat buruh, sebab penulisannya tergantung pada proses dan hasil wawancara. Tidak jarang kita menemukan bentuk dan keluasan informasi yang berbeda-beda antara serikat yang satu dengan yang lainnya, sehingga gaya penulisan direktori semacam ini tidaklah biasa.
Misalnya, informasi tentang pandangan serikat buruh mengenai mogok tidak sedikit yang tertulis lumayan panjang (yang sebetulnya intinya hanyalah setuju atau tidak setuju tentang mogok), akan tetapi ada pula yang hanya dengan sangat singkat menyatakan bahwa serikatnya “tidak pernah melakukan mogok” (h 218) yang tentu saja ini tidak menjawab pertanyaan mengenai pandangannya tentang mogok.
Di samping itu, dengan memunculkan pendapat suatu serikat (Persaudaraan Pekerja Muslimin Indonesia/PPMI) mengenai mogok dan unjuk rasa secara berbeda (h 240) tampak bahwa tim penyusun seakan-akan ingin membedakan kedua istilah tersebut, namun hal ini tidak dilakukannya secara ajeg atau konsisten. Barangkali karena direktori ini umumnya memuat pandangan, bukan semata-mata data, maka gaya penulisan direktori tanpa bentuk baku seperti ini tidak dapat dihindarkan.
Dari 62 serikat buruh yang ditanyakan pandangannya mengenai mogok dan atau unjuk rasa di direktori ini hanya 8 yang menyatakan tidak setuju dengan mogok, serta satu yang tidak menjawab. Sedangkan sebanyak 53 sisanya menyatakan setuju karena mogok merupakan hak buruh, tetapi kebanyakan mereka memandangnya sebagai pilihan terakhir.
Tentang mogok dan unjuk rasa ini amat menarik untuk menyimak pendapat serikat buruh wartawan, Aliansi Jurnalis Independen (AJI), yang sayangnya dalam seluruh direktori ini secara keliru ditulis Aliansi Jurnalis Indonesia. AJI mengakui bahwa mereka jarang melakukan mogok tetapi hanya sebatas berpartisipasi dalam peringatan 1 Mei. ”Kalaupun AJI melakukan demostrasi,” katanya, ”itu adalah unjuk rasa yang tidak berkaitan dengan masalah serikat buruh, seperti kebebasan pers, anti kekerasan terhadap jurnalis, dan menentang premanisme” (h 202). Ungkapan AJI ini cukup menggambarkan solidaritas antarserikat buruh yang umumnya masih lemah, di mana kondisi ini dalam pengantar Tjandraningsih disebut sebagai ekslusifisme serikat buruh (h 6).
Ringkasnya, direktori serikat buruh ini hanyalah gambaran umum mengenai buruh terorganisasi di Indonesia yang persentasinya dari seluruh angkatan kerja amatlah kecil. Walaupun 70% lebih jumlah angkatan kerja berada di sektor informal, serikat-serikat buruh umumnya masih belum mengupayakan pengorganisasian buruh di sektor informal ini. Memang ketika diminta pandangannya mengenai sektor informal kebanyakan serikat buruh berpendapat lugas bahwa sektor ini kurang mendapat perlindungan negara. Tetapi rupanya upaya beraliansi dan mengorganisasi buruh sektor informal adalah masalah tersendiri yang rumit.
Kita pun tidak akan tahu banyak bagaimana kenyataannya di lapangan, sebab direktori yang hanya fokus pada serikat buruh tingkat federasi/nasional ini tentu luput merekam dinamika serikat-serikat buruh akar rumput serta fakta-fakta lapangan yang sangat kaya dan menarik. Sehingga, tidaklah cukup bagi kita jika hanya dengan direktori ini ingin mendapatkan peta sesungguhnya yang terperinci dari gerakan buruh Indonesia.
Sumber Rujukan
Di awal direktori disediakan daftar serikat buruh berdasarkan tahun pendirian, abjad, dan tahun pencatatan di Departemen Tenaga Kerja yang cukup memandu pembaca dalam menelusuri isi direktori. Selain itu juga ada daftar singkatan dan akronim yang cukup panjang (bahkan termasuk yang tidak terlalu perlu seperti gelar akademik Drs atau MBA), yang dengannya pembaca diharapakan berhati-hati karena antara lain didalamnya akan ditemukan akronim GASBIINDO untuk dua kepanjangan yang berbeda: Gabungan Serikat Buruh Industri Indonesia dan Gabungan Serikat-Serikat Buruh Islam Indonesia.
Di atas segalanya tentu terbitnya Direktori Serikat Pekerja/Serikat Buruh Indonesia ini telah semakin memperkaya literatur perburuhan Indonesia dan akan sangat membantu siapapun yang ingin memahami gambaran umum serikat buruh di negeri ini. Potret luar atau wajah depan dari gerakan buruh yang ditampilkan direktori ini bagaimanapun merupakan dokumentasi yang akan menjadi sumber rujukan yang sangat berharga, yang penyusunannya patut mendapatkan sambutan.
Kalau saja direktori ini dilengkapi pula dengan daftar indeks (baik nama maupun isu penting), tentu akan sangat memudahkan mereka yang sekedar ingin mengetahui suatu tema atau isu tertentu secara cepat.***
I Fahmi-Panimbang, aktivis Lembaga Informasi Perburuhan Sedane (LIPS), Bogor.
Tulisan ini sebelumnya dimuat di Jurnal Kajian Perburuhan SEDANE, Vol.4 No.2, 2008. Arsip-arsip Jurnal Kajian Perburuhan SEDANE dapat diunduh melalui situs web www.lips.or.id atau diminta melalui email lips@lips.or.id.