Martin Manurung
Seratus tahun kebangkitan nasional yang kita peringati 20 Mei kemarin, seharusnya diisi dengan perayaan dan parade yang penuh sukacita. Namun, apa hendak dikata, menjelang seabad tonggak sejarah yang amat penting itu, kita justru tengah dihantui berbagai ancaman kesulitan hidup yang kian membelenggu dan nyaris memutus asa akibat kegagalan pemerintah dalam mengelola energi nasional.
Kita mendengar alasan yang santer diucapkan oleh pejabat pemerintah. Kenaikan harga minyak dunia dipersalahkan sebagai penyebab dari pemotongan subsidi BBM. Menurut mereka, pemotongan subsidi adalah keniscayaan untuk mengurangi beban dan menyelamatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Ini adalah alasan klise yang telah dilontarkan sejak jaman Orde Baru. Seakan-akan, penguasa negeri ini hendak mengatakan bahwa mereka telah ‘tersandera’ oleh fenomena global sehingga mereka tak harus merasa bersalah telah memaksa rakyat berkorban untuk kesekian kalinya.
Persoalannya, krisis energi yang kini menghebat di Indonesia telah lama dapat diperkirakan. Lebih kurang satu dekade yang lalu, ketika Kuntoro Mangkusubroto menjabat Menteri Pertambangan dan Energi, departemen itu telah memperkirakan bahwa Indonesia akan mengalami krisis persediaan energi apabila tidak segera dilakukan peningkatan produksi bahan bakar dan pembangunan pembangkit-pembangkit energi. Berbagai langkah untuk mengantisipasinya pun, bahkan telah dituangkan dalam satu dokumen yang disebut ‘buku putih’.
Janji Palsu
Akan tetapi, sampai kini tak tak terlihat langkah-langkah strategis untuk menjalankan rekomendasi-rekomendasi yang disarankan. Tiga tahun yang lalu, ketika pemerintah menaikkan harga BBM mencapai 126 persen, Presiden Yudhoyono pun telah berjanji untuk melakukan langkah-langkah antisipasi agar opsi kenaikan harga tak perlu dilakukan. Sayangnya, komitmen itu tak lebih daripada ‘janji-janji palsu’ yang tak kunjung direalisasikan. Seandainya pemerintah bersungguh-sungguh melaksanakan langkah-langkah yang dijanjikan itu, tentu dampak kenaikan harga minyak dunia saat ini tidak akan sebesar sekarang.
Lagipula, alasan kenaikan harga minyak dunia itu terasa dibuat-buat. Fenomena melonjakya harga minyak saat ini tidak bersifat permanen, melainkan temporer dan spekulatif. Kendati sempat mencapai 127 dollar/barel di bursa berjangka New York, saat ini harga minyak dunia justru sedang mengalami penurunan.
Harga Minyak Dunia Turun
Sebagaimana dilaporkan media-media internasional, minyak mentah jenis light sweet dan Brent North Sea untuk pengiriman Juni, telah turun masing-masing sebesar 43 sen dan 2,24 dollar AS. Kemudian, pada Rabu 14 Mei, New York Mercantile Exchange melaporkan bahwa acuan kontrak minyak ditutup dengan penurunan sebesar 1.58 dollar AS.
Gejala penurunan harga minyak dunia itu terjadi setelah Energy Information Administration (EIA) di AS mengumumkan bahwa cadangan minyak mentah AS naik 200.000 barel pada pekan lalu. Informasi itu diperkuat oleh International Energy Agency (IEA) berbasis di Paris yang menurunkan proyeksi pertumbuhan permintaan minyak global pada 2008 menjadi 86,8 juta barel per hari (bph), atau turun sekitar 390.000 bph.
Cadangan minyak dunia juga akan semakin diperkuat dengan kerjasama PetroChina dan PDVSA, badan usaha serupa Pertamina yang dimiliki Venezuela. Sebagai negara dengan kebutuhan energi yang sangat besar, Tiongkok saat ini menjadi satu faktor utama yang menentukan tingkat permintaan minyak dunia. Kerjasama itu diperkirakan akan dapat memenuhi sekitar 13 persen kebutuhan minyak Tiongkok dan dengan demikian akan semakin menurunkan permintaan minyak global.
Fenomena Temporer
Berbagai gejala itu menunjukkan bahwa melangitnya harga minyak dunia cenderung disebabkan oleh pembelian berlebih (overbought) akibat berbagai kehawatiran atas cadangan minyak dunia dan spekulasi. Fenomena yang bersifat temporer tak bisa dijadikan alasan untuk menaikkan harga minyak dalam negeri. Sebab, akibat dari kenaikan harga bersifat permanen sebagaimana terjadi pada melonjaknya harga-harga kebutuhan pokok saat ini. Tentu sulit dibayangkan bahwa harga-harga bahan pokok akan menurun bila nantinya harga minyak dunia telah turun. Inilah yang disebut sebagai kekakuan harga (price rigidity); ia tidak bergerak fleksibel, terutama untuk harga-harga bahan-bahan pokok.
Bergemingnya sikap pemerintah untuk menaikkan harga BBM di tengah kecenderungan turunnya harga minyak dunia saat ini, tentu menimbulkan tanda tanya. Hal itu menunjukkan bahwa faktor kenaikan harga minyak dunia bukan merupakan alasan utama mengapa harga BBM harus dinaikkan. Ada alasan lain yang melatarbelakangi kebijakan itu.
Apakah alasan lain itu? Tentu hanya penguasa yang bisa menjawabnya. Akan tetapi, wajar bila kita menduga bahwa perburuan rente dari para pedagang yang bercokol di kabinet adalah alasan yang lebih dominan daripada kenaikan harga minyak dunia. Apapun alasannya, satu hal yang tak dapat dibantah, yaitu pemerintah telah gagal mengelola negara dan khususnya energi nasional. Karena itu, tak berlebihan bila kita meminta para pejabat pengelola negara untuk bertanggung jawab dan tidak mengorbankan rakyat akibat kegagalan mereka.
Mosi Tidak Percaya
Untuk itu, saya memberanikan diri untuk mengajukan mosi tidak percaya kepada pemerintah yang berkuasa saat ini. Pemerintah yang gagal dan tak amanah, tak selayaknya mengambil keputusan, apalagi keputusan yang mendasar dan memiliki akibat kerusakan yang akut.
Memang, umur pemerintahan sekarang ini telah kurang dari setahun lagi. Akan tetapi, masa setahun bisa saja menjadi waktu yang terlalu lama untuk membiarkan orang-orang tak bertanggung jawab untuk terus mengambil kebijakan dan mengeruk keuntungan pribadi di atas penderitaan rakyat.