Vedi R. Hadiz
SEJAK terjadinya serangan terhadap World Trade Centre (WTC), pada September 2001, Islam politik muncul sebagai fokus perhatian dunia. Tapi, sebenarnya, ini bukan perhatian yang benar-benar baru. Hanya beberapa tahun setelah berakhirnya Perang Dingin, di kalangan pemerintahan negara-negara industrial, telah berkembang perhatian mengenai sikap anti-Barat, khususnya oleh agen-agen sosial yang “radikal” dari Islam politik. Perhatian tersebut tercermin dalam karya akademik berpengaruh dari Samuel Huntington (1993), yang secara sederhana menyebut Peradaban Islam sebagai sumber ancaman utama pada Peradaban Barat yang dipimpin AS, dan pada nilai-nilai demokrasi liberal yang konon melekat padanya.
Hal yang sama bisa dikatakan mengenai munculnya perhatian terhadap Islam politik di Indonesia – sebuah negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia – yang telah mengalami perubahan dramatis sejak kejatuhan sang diktator era Perang Dingin, almarhum Soeharto, pada 1998, setelah lebih dari tiga dekade berkuasa. Di sini, adalah “Bom Bali” pertama yang memicu pengamatan intensif terhadap kelompok-kelompok Islam – yang paling terkenal adalah Jemaah Islamiyah – dan kemungkinan keterkaitannya dengan kelompok Jihadi global yang dicurigai dipimpin oleh Al-Qaeda. Signifikansi kemunculan kembali Islam politik, sebenarnya telah menjadi salah satu pokok perdebatan sejak tahun-tahun terakhir Soeharto, meskipun banyak perhatian kini telah bergeser kepada agen-agen sosialnya yang radikal.
Namun demikian, sebuah pemahaman atas Islam politik – termasuk “Islam politik ‘radikal”1
– sebagai gejala sosial dan historis (Sidel, 2006) – membutuhkan perhatian yang lebih mendalam terhadap beberapa masalah yang kurang diangkat dalam analisis selama ini. Khususnya, perhatian terhadap aspek-aspek terorisme dan kekerasan. Dalam kasus Indonesia, masalah pertama adalah warisan hubungan yang naik-turun antara negara dan Islam politik setelah kemerdekaan, lebih khususnya selama masa Orde Baru yang panjang (1966-1998). Yang kedua, berkaitan dengan peran de facto Islam politik sebagai artikulator utama isu-isu keadilan sosial dalam hubungannya dengan kontradiksi yang bertalian dengan pembangunan kapitalis. Dan, lebih signifikan lagi, dalam konteks ketiadaan tantangan dari kelompok kiri, sosial-demokrasi, maupun kalangan liberal. Masalah ketiga, berkaitan dengan arah yang ditempuh Islam politik sehubungan pergulatan-pergulatan politik yang terjadi di masa Perang Dingin. Dapat dikemukakan, apa yang saat ini dicap “Islamisme radikal” di Indonesia, pada intinya merupakan produk dari fase yang panjang pembangunan kapitalis otoritarian di bawah kekuasaan Orde Baru - sebagaimana pada level global ialah warisan era politik Perang Dingin, dan tidak sekadar dalam pengertian pengalaman mujahideen ketika Uni Soviet menduduki Afghanistan.
Pemahaman seperti ini sangat menyimpang jauh dari pandangan yang dipropagandakan oleh beberapa “ahli” terorisme, yang mengatakan bahwa Islam politik ‘radikal’ adalah produk dari berakhirnya Orde Baru yang kuat dan otoritarian, yang menyebabkan munculnya kekosongan yang kemudian dieksploitasi oleh eksponen-eksponen penggagas negara Islam. Para aktor tersebut secara tipikal digambarkan sebagai tidak bersahabat pada budaya Barat, pasar bebas, dan demokrasi. Ketakutan pun muncul bahwa versi-versi Islam politik ‘radikal’ akan semakin berkembang-biak dalam konteks lingkungan politik yang cair di era Indonesia pasca-otoritarianisme.
Situasi Indonesia juga dianggap mengandung suatu tantangan terhadap keamanan regional yang serius. Ada penerimaan pandangan yang luas di lingkaran pembuat kebijakan bahwa terdapat jaringan intra-regional yang kuat di antara kelompok-kelompok “sealiran” di seantero Asia Tenggara. Begitu luasnya pandangan ini dianut, sehingga konflik-konflik yang kompleks dan secara historis konflik sangat mengakar di Selatan Thailand dan Filipina (Gunaratnya et.al, 2005; Abuza 2003), secara kasar dijajarkan bersama dengan agenda Al-Qaeda atau Jemaah Islamiyah.
Kenyataannya, ketakutan berlebihan terhadap Islam politik di Indonesia, berkaitan dengan kegelisahan atas watak demokrasi Indonesia yang tidak menentu. Asumsi yang tidak dinyatakan adalah, “Islamisme radikal” pada khususnya, hanya bisa dibendung melalui kekuasaan tangan besi a la Soeharto. Dengan kata lain, terdapat permintaan diam-diam untuk kembali ke masa pemerintahan otoritarian – guna menciptakan kestabilan yang dipercaya merupakan prasyarat memadai bagi berfungsinya pasar. Ironisnya, pada saat yang sama, tindakan kelompok-kelompok Islam ‘radikal’ digambarkan sebagai bertentangan dengan demokrasi. Itu sebabnya, muncul desakan agar Indonesia mengadopsi undang-undang anti-teror yang keras.
Menurut saya, sebuah respon reakif dalam memahami “Islamisme radikal,” sungguh sangat tidak membantu. Akar fundamentalisme ini, tidak bisa dicari pada masyarakat Arab abad ketujuh tetapi, dalam tata dunia kontemporer, lengkap dengan ketegangan dan kontradiksi yang melekat padanya. “Islamisme radikal,” menurut saya, bukanlah produk dari suatu penyimpangan budaya pra-modern yang dalam beberapa cara – setelah mengalami kehancuran di sana-sini – bisa bertahan hidup dan kini mencari celah untuk melakukan tindakan pembalasan melalui tangan-tangan agamawan fanatik (lihat Mamdani 2002). Kita mesti menolak pandangan esensialis tentang Islam, sebagaimana tampak di kalangan pengagum gagasan Huntington tentang benturan peradaban. Tidaklah mengejutkan bahwa pandangan yang serupa dianut oleh para penyelengggara global neokonservatisme Amerika.
Warisan Masa Kolonialisme Akhir
Varian radikal Islam politik di masa pasca-otoritarianisme di Indonesia, bisa dengan jernih dipahami dalam hubungannya yang lebih luas dengan proses sosiologis dan sejarah pasang surutnya sejumlah gerakan berbasis Islam dalam konteks perubahan sosial secara global. Dalam kasus Indonesia, naik-turunnya Islam politik selama fase panjang penguasa otoritarian Orde Baru – yang jatuh hampir bersamaan dengan masa Perang Dingin – sangat penting untuk dipahami.
Harus diingat, Islam yang terorganisir di Indonesia telah lama bersifat politis. Hal ini merupakan dampak dari kebangkitan berbagai gerakan anti-kolonial pada dekade pertama abad ke-20, seperti Pan-Islamisme. Bangkitnya Islam sebagai kekuatan Islam yang terorganisir, bisa dilacak ke belakang sebagai respon kelas pedagang dan pengusaha, khususnya berkaitan dengan pertumbuhan wilayah-wilayah urban di Jawa yakni, mereka yang menyadari posisi sosial dan ekonominya berada dalam ancaman di era kolonial Hindia Belanda, termasuk dari pesaing-pesaing Cina yang mereka yakini mendapat keistimewaan dari penguasa. Itu sebabnya, secara historis warisan gagasan-gagasan keadilan sosial, sering begitu kuat hubungannya dengan sentimen nasionalis dan anti-kapitalisme - apapun perubahannya – tetap menandai Islam politik di Indonesia secara umum.
Sejarah organisasi yang paling terkenal pada tahun 1910-an -- Sarekat Islam – sudah dikenal luas (McVey, 1965). Secara umum disepakati, SI merupakan organisasi massa modern pertama di Hindia Timur, dan memberikan sumbangan penting bagi perkembangan awal nasionalisme Indonesia. Lebih dari itu, perkembangan terpenting dalam sejarah saat itu adalah kemunculan sayap kiri yang menonjol dalam tubuh SI, yang dalam waktu singkat berkembang dan memisahkan diri menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI).
Penting untuk diingat bahwa pada masa itu, sang ‘Muslim sebagai komunis’ atau sebagai pendukung politik kiri, bukanlah suatu keanehan sosiologis sebagaimana kenyataannya sekarang di Indonesia dan Asia Tenggara. Islam komunis dan beragam individu yang mendukung politik kiri, secara historis sangatlah penting, khususnya di Hindia Timur, dimana berbagai gerakan bermunculan secara bersamaan dengan inspirasi beragam seperti Pan Islamisme dan atau sosialisme/komunisme – semua sebagai respon terhadap tatanan kolonial yang dianggap tidak adil. Contoh kasusnya adalah pemimpin legendaris komunis Indonesia, Tan Malaka, yang terkenal dengan usulannya agar gerakan komunis internasional membangun aliansi dengan Pan-Islamisme, karena keduanya sama-sama berlawanan dengan kolonialisme dan kapitalisme (Tan Malaka, 1922).
Karena itu, orang seperti Haji Misbach yang Jawa – yang tidak melihat adanya kontradiksi antara menjadi seorang muslim sekaligus sebagai komunis – dan seorang dari Sumatra Barat yang kurang terkenal seperti Haji Datuk Batuah – adalah suatu kemungkinan sosiologis yang jelas (dan dalam kenyataan pernah ada dalam sejarah). Bahkan, Haji Agus Salim, yang memusuhi komunisme, menganjurkan perlawanan terhadap ‘setan’ kapitalisme. Meskipun demikian, basis kelas dari Islam yang terorganisir pada masa kolonial adalah kaum borjuis kecil pedesaan dan perkotaan, sehingga para pemimpinnya, seperti Haji Agus Salim, merasa terancam oleh proyek revolusi sosial.
Ini tidak bermakna, ada sesuatu yang menyimpang dalam sejarah Islam Indonesia. Di Timur Tengah, yang merupakan jantung tradisional Muslim dunia, gerakan sayap kiri muncul setelah Perang Dunia I dan kemudian ditekan secara brutal oleh elite lokal, dengan bantuan kekuatan Inggris dan Perancis (Halperin, 2005). Seperti Indonesia, pada masa Perang Dingin, gerakan kiri dihancurkan hingga ke akar-akarnya. Sebagai hasil dari hilangnya kekuatan kiri, Islam kemudian menjadi sumber ideologi yang sangat kuat dalam menantang ketidakadilan sosial yang disebabkan oleh perkembangan kapitalis yang sangat intensif dari tahun 1970an – dalam derajat yang berbeda-beda di dunia Arab maupun di Indonesia. Itu sebabnya, keterkaitan antara Islam politik dan Perang Dingin membutuhkan penelitian yang cermat.
Islam dan Perang Dingin
Dalam konteks Perang Dingin, Islam politik Indonesia pada permulaan era pasca-kolonial, akhirnya menjadi bagian integral dari suatu koalisi konservatif yang didukung Barat. Tujuannya, membendung aktivitas presiden Soekarno yang populis-nasionalis dan untuk menghambat kecenderungan politik yang semakin bergerak ke kiri. Soekarno semakin diawasi ketika ia mengambil sikap politik anti-Barat dan pro-gerakan Dunia Ketiga.
Soekarno juga kemudian menjadi semakin akrab dengan Partai Komunis Indonesia pada awal dan pertengahan 1960an (Mortimer, 1974), sementara hubungannya dengan kelompok-kelompok organisasi Islam semakin tegang. Misalnya, ia melarang partai Muslim Masyumi, karena keterlibatannya dalam pemberontakan separatis. Hal ini kemudian secara nyata menimbulkan ketakutan di kalangan borjuis kecil yang memimpin organisasi Islam, berkaitan dengan munculnya ancaman bahwa partai komunis akan mengambil alih kekuasaan negara, sekalipun hal itu tidak dilakukan melalui revolusi kekerasan tapi, melalui aliansinya dengan Soekarno.
Periode saat itu secara regional juga bercirikan semakin berkorbarnya Perang Vietnam dan ketakutan bahwa satu per satu negara-negara di Asia Tenggara, akan jatuh ke paham komunis, jika Amerika Serikat dan sekutunya mengalami kekalahan. Kondisi inilah yang kemudian melatarbelakangi kelompok kunci dalam militer Indonesia bersekutu dengan kekuatan Barat. Oleh para jenderal, persekutuan ini diandalkan sebagai sumber dukungan dari luar terhadap mereka dalam menghadapi PKI.
Bersamaan dengan dibangunnya aliansi dengan Barat, militer Indonesia juga membina hubungan dengan beragam kekuatan sosial domestik untuk memperkuat posisinya dalam melawan PKI – yang pada awal 1960an secara jelas menjadi satu-satunya organisasi yang memiliki kekuasaan setara dengan militer, karena basis keanggotaannya yang luas dan kemampuan organisasinya. Dalam tubuh militer sendiri, tumbuh berkembang kepentingan-kepentingan material untuk menghadang PKI, berkaitan dengan posisi yang dimilikinya pada tahun 1950an yakni, sebagai manajer dari perusahaan-perusahaan yang baru dinasionalisasi, dimana kalangan komunis mengorganisir buruh. Di antara sekutu kunci militer, adalah sejumlah organisasi muslim yang juga secara intens bersaing dengan PKI, tidak hanya dalam mengumpulkan jumlah suara selama pemilihan umum tapi, juga di kalangan organisasi pemuda dan buruh (misalnya, Hadiz, 1997).
Pada akhirnya, ketika rivalitas militer-PKI mencapai puncaknya pada pembantaian massal di pertengahan 1960an, beberapa milisi Islam dan kelompok lain, terlibat aktif di samping militer. Banser (Barisan Serbaguna Anshor), organisasi milisi sipil yang memiliki kaitan dengan NU, organisasi Muslim terbesar di Indonesia, dan saat ini diidentifikasi sebagai salah satu sumber gerakan Islam “moderat” – sangat terlibat dalam banyak kekerasan yang terjadi saat itu. Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), yang merupakan mesin organisasi mahasiswa penghasil pejabat-pejabat yang tak terhitung jumlahnya di era Orde Baru, dengan dukungan militer menjadi organisasi anti-Soekarno dan anti PKI yang berdiri di garis depan.
Tetapi, beberapa elemen Islam politik mengalami kesulitan untuk diterima secara penuh dalam persekutuan ini. Termasuk, dalam kelompok ini adalah mereka yang pada awalnya terlibat dalam pemberontakan separatis bersenjata seperti Darul Islam (DI). Organisasi ini didirikan pada tahun 1940an di Jawa dan Sulawesi Selatan, sebagai reaksi dari beberapa kelompok milisi yang menganggap para pemimpin Republik yang masih muda, tidak sanggup melindungi kepentingan bangsa Indonesia dalam negosiasinya dengan Belanda. Bersama dengan elemen ini adalah beberapa individu yang merupakan bagian dari jaringan kerja partai Masyumi (Van Bruinessen 2002), yang dilarang Soekarno. Meskipun banyak dari aktor-aktor ini secara perlahan-lahan memperoleh “rehabilitasi” tetapi, jumlah yang signifikan darinya tetap mengalami peminggiran selama Orde Baru. Mereka terus beroperasi di pinggiran wilayah politik formal dan kehidupan sosial. Tapi, seringkali, dengan dukungan basis akar rumput yang signifikan, mereka pada saat-saat tertentu menjadi subyek dari penindasan yang intensif bahkan, di masa awal Orde Baru. Bagian dari Islam politik ini kemudian menyediakan sumber utama oposisi terhadap Soeharto pada tahun 1970an dan 1980an, dan selanjutnya mengalami penderitaan yang sangat hebat akibat penindasan negara hingga munculnya perubahan iklim politik pada 1990.
(bersambung....)
Catatan kaki:
1Tidak ada konsensus yang nyata tentang yang dimaksud dengan istilah ‘Islam radikal.’ Istilah itu bisa berarti sebagai mereka yang ingin mendirikan negara Islam atau negara kekhalifan, atau mereka yang ingin menjadikan Syariah sebagai sumber hukum dengan atau tanpa menggunakan kekerasan terbuka. Istilah itu juga digunakan secara longgar dan saling dipertukarkan antara Islam fundamentalis dengan Islam militan, atau kadang-kadang dengan secara sederhana disebut ‘Islamist.’
Vedi R. Hadiz, adalah associate professor departemen sosiologi, Universitas Nasional Singapura.
Artikel ini diterjemahkan oleh Coen Husain Pontoh dan Fitri Mohan dari judul asli "Toward a Sociological Understanding of Islamic Radicalism in Indonesia dan diperiksa kembali oleh Vedi R. Hadiz."