Pilkada, Televisi, dan Demokrasi

Nurani Soyomukti


KETIKA Televisi (TV) menayangkan iklan Rano Karno, yang tengah merayu penonton agar memilih pasangannya sebagai bupati dan wakil bupati Tangerang, sesungguhnya itu bukan pertama kalinya seorang mantan selebriti tenar muncul di TV. Jauh hari sebelumnya, Rano Karno sudah dikenal masyarakat Tangerang, sebagai artis terkenal terutama melalui serial Si Doel Anak Sekolahan.
Berbekal popularitas plus iklan media, tak heran jika Rano Karno berhasil menghantarkan pasangannya sebagai orang nomor satu di Tangerang, dalam pemilihan kepala daerah. Kasus ini menunjukkan, popularitas yang dibangun melalui media seperti TV, cukup efektif dalam mengatrol citra calon pemimpin.

Persoalannya, jika dikaitkan dengan demokrasi, sejauh mana televisi sebagai media iklan bagi calon kepala daerah, mampu menghasilkan kualitas demokrasi? Dari fakta, hanya calon yang memiliki uang yang mampu memasang iklan dan membangun citra diri (termasuk merayu agar memilih dirinya). Dari sini saja bisa dikatakan, demokrasi telah didistorsikan oleh kepemilikan uang. Siapa yang berkuasa atas uang dan media, besar kemungkinan  akan mendulang perolehan  suara. Artinya, proses demokrasi masih tetap dikangkangi oleh hubungan kekuasaan dan kepemilikan di ranah kekuatan produksi, berupa modal dan media.

Fakta lainnya, setelah pemilihan berakhir, yang tersisa adalah kekalahan bagi rakyat, karena tidak ada perubahan mendasar dalam kebijakan ekonomi dan politik, yang dilakukan oleh pasangan yang menang. Sebab, iklan tak lebih dari promosi diri. Apa yang bisa diharapkan dari tayangan satu dua detik?

Kekuatan Televisi


TV bukanlah media yang netral atau tanpa kepentingan ekonomi-politik. Sebagaimana telah ditunjukkan banyak pengamat  kirits, TV adalah sebuah kekuatan yang berpihak dan berusaha mengarahkan masyarakat ke dalam gaya hidup tertentu. Melalui tayangan-tayangannya, TV mengonstruksi cara berpikir masyarakat. Tujuannya, mengarahkan pola pikir masyarakat sesuai selera TV. TV dengan demikian, menjadi aparat utama dalam mencetak generasi yang kondusif bagi pelanggengan tatanan kapitalis, yang menginginkan keuntungan dengan cara merubah corak budaya masyarakat.

Berkaitan dengan itu, sesungguhnya media seperti TV, hanya menjadikan masyarakat sebagai pemuja para elit, terutama selebriti. Kritisisme dan tindakan partisipatif warga agar bisa mengontrol elit, justru menjadi hal yang menakutkan. Padahal, demokrasi berjalan dan mencapai arah kematangan jika kesadaran masyarakat tercipta. Akibatnya, industrialisasi media kapitalis menciptakan—apa yang disebut Alex Comfort sebagai— “masyarakat penonton” yang “berjejal-jejal tetapi kesepian, dipandang dari segi teknik sama sekali tidak merasa aman, dikendalikan oleh suatu mekanisme tata tertib yang rumit tetapi, tidak bertanggungjawab terhadap individu”.

Tak heran jika sejak awal, sosiolog ternama seperti C. Wright Mills, mengajukan pandangan yang pesimistik terhadap fungsi media. Dalam bukunya “The Power Elite” (1956), Mills mengutuk fungsi media yang lebih berfungsi sebagai instrument fasilitator dari apa yang disebutnya “kebutahurufan psikologis.” Mills juga memandang media sebagai pemimpin “dunia palsu” (pseudo-world), yang menyajikan realitas eksternal dan pengalaman internal serta penghancuran privasi dengan cara menghancurkan “peluang untuk pertukaran opini yang masuk akal dan tidak terburu-buru serta manusiawi.”

Ketika tampil di TV dalam bentuk iklan untuk mencoblos, calon kepala daerah memang telah berhasil memasuki dunia pencitraan. Pencitraan tentu saja adalah dunia yang tidak sesuai dengan realitas sejatinya, ia adalah representasi dan citra (image). Dan ketika dunia citra menjadi dominan, masyarakat lupa pada aspek yang paling riil dari hidupnya. Misalnya, bagaimana mereka dapat mencukupi kebutuhan akan makan, sekolah anak, harga-harga yang terjangkau, dan masa depan yang aman dari pemenuhan kebutuhan ekonomis mereka.

Ketika saat ini pemilihan kepala daerah secara langsung (pilkada) akan dilakukan di beberapa daerah, seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, di masyarakat juga terjadi keresahan yang luar biasa: harga kebutuhan bahan pokok melonjak drastis, bencana datang silih berganti. Rentetan kejadian ini menjelaskan, krisis kesejahteraan itu masih sedang dan akan terjadi hingga waktu yang belum jelas.

Tetapi, dunia TV telah menciptakan masyarakat imagologis yang akut, akibat serangan beruntun media pada kesadaran masyarakat. Sehingga, apa yang muncul di TV, dunia imagologis itu, seakan adalah yang nyata dan justru dirasa paling ‘nyambung’ dengan kebutuhan (psikologis) mereka. Karenanya, kehadiran calon kepala daerah melalui (iklan yang dibuat di) TV, punya peran dalam memperkuat legitimasi mereka. Tampil di TV akan menambah kekuatan seperti kewibawaan, kecerdasan, modern, dan menjelaskan pemenuhan kebutuhan masyarakat.

Masalahnya, dalam kehidupan struktur sosial yang eksploitatif kini, media informasi dan komunikasi telah mendesain dunia manusia dan kebutuhannya, menjadi dunia semu (hyperreality). Dalam dunia seperti itu, sandaran eksistensial manusia tak lagi ditemukan pada realitas sejati yang kuantitatif tetapi, pada dunia citra yang dibentuk oleh media (terutama TV). Kondisi ini menyebabkan masyarakat hidup dengan kesadaran yang palsu, terbalik, dan goncangnya dunia kenyataan menjadi dunia ilusi. Persis seperti masyarakat feudal menyebarkan dongeng-dongeng agar massa rakyat percaya pada kaum elit bangsawan dan raja-raja, sehingga rakyat mau membayar upeti dan mempersembahkan semua hasil kerjanya pada kalangan raja. Dan raja di era (pos)industrialisasi adalah media.

Inilah kenyataan hari ini. Media telah menjadi tentara yang efektif dari dunia citra, untuk mengalahkan dunia nyata. Maka tak aneh banyak yang berpendapat, jika ingin menguasai medan pertempuran politik, sangat penting untuk menguasai dan memanfaatkan media.***


Nurani Soyomukti, peneliti di Lembaga Survey Pilgub Jatim TASKFORCE dan pendiri Yayasan KOMUNITAS TEMAN KATAKATA (KOTEKA) Jawa Timur.