Mayday, Hari Buruh Sejati

Irwansyah


KITA seringkali dibingungkan oleh kenyataan bahwa di Indonesia ada Hari Pekerja, yang jatuh pada tanggal 20 Februari, sementara ada juga Hari Buruh, yang jatuh pada tanggal 1 Mei. Belakangan ini, setidaknya dalam tiga tahun terakhir, perayaan Hari Pekerja tidak pernah terdengar lagi gaungnya, sementara perayaan Hari Buruh diikuti oleh puluhan ribu orang.
Memang, Hari Pekerja tidak pernah dimaksudkan untuk berpihak pada kesejahteraan pekerja Indonesia. Tanggal 20 Februari ditetapkan sebagai peringatan atas berdirinya FBSI (Federasi Buruh Seluruh Indonesia), di tahun 1973, yang merupakan hasil peleburan 21 serikat buruh yang selamat dari pembantaian terhadap aktivis-aktivis buruh yang beraliran kiri atau dianggap beraliran kiri sepanjang tahun-tahun awal berdirinya Orde Baru. Serikat-serikat buruh yang tadinya berafiliasi dengan partai politik tertentu, pada masa itu, dipaksa melepaskan afiliasi politiknya, lalu digiring agar berafiliasi dengan satu-satunya kekuatan politik yang tidak mau mengaku sebagai partai politik—yakni Golongan Karya. Sejak didirikannya, para pimpinan FBSI selalu merupakan tokoh Golkar. Ketua pertamanya, Agus Sudono, seorang yang sangat dekat dengan militer dan keluarga Soeharto—dia kini adalah salah satu ketua yayasan yang disinyalir dekat dengan keluarga Soeharto yakni, Yayasan Suryasumirat. Sekjen pertama FSBI adalah Suwarto, seorang perwira Operasi Khusus (Opsus), badan militer yang ditugasi untuk mengendalikan kehidupan politik rakyat Indonesia di awal berdirinya Orde Baru.

Sejak awal, jelas bahwa FBSI ditujukan untuk memberangus buruh dan menutup dunia politik bagi buruh. Ideologi yang dikenakan oleh FBSI adalah ideologi harmoni, yakni antara buruh dan pengusaha harus ada ketenangan, tidak boleh ada konflik. Para pengurus teras FBSI juga selalu merupakan tokoh-tokoh yang dekat atau tergabung dalam Golkar. Dengan komposisi kepengurusan semacam ini, FBSI juga berfungsi sebagai pendulang suara bagi Golkar dalam tiap pemilu, mirip dengan “organisasi-organisasi profesi” lainnya seperti HKTI (Himpunan Kerukunan Tani Indonesia) maupun HNSI (Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia).

Walau demikian, FBSI tetap tidak dapat sepenuhnya mengendalikan perselisihan perburuhan. Terlebih sejak Soeharto mengeluarkan Keputusan 15 Nopember 1978 (KNOP 15) yang mendevaluasi nilai rupiah terhadap dolar, dari Rp 415 per dolar menjadi Rp 625 per dolar. Devaluasi ini melambungkan harga-harga kebutuhan pokok—dan mereka yang upahnya tetap, seperti buruh, adalah yang paling terpukul oleh keadaan ini. Perlawanan buruh berlangsung di mana-mana.

Di tahun 1985, FBSI diganti menjadi SPSI (Serikat Pekerja Seluruh Indonesia). Keadaan menjadi bertambah parah, karena SPSI dijadikan sebuah “wadah tunggal”—sebuah penghalusan istilah bagi dijalankannya sistem korporatisme negara oleh Orde Baru. Untuk memperhalus kenyataan bahwa pemberangusan gerakan buruh dilakukan secara lebih sistematis, Soeharto menunjuk Cosmas Batubara, seorang mantan aktivis ’66, menjadi Menteri Tenaga Kerja. Cosmas memperkenalkan konsep Upah Minimum dan Jamsostek sebagai sogokan bagi buruh yang sekarang tidak lagi memiliki kebebasan untuk berorganisasi.

Biar bagaimanapun rejim Orde Baru berusaha—dengan segala represi, siksaan dan terornya—gelombang perlawanan buruh tetap tidak dapat diredam. Bahkan, SPSI, yang dirancang sebagai satu alat yang secara sistematik akan menghabisi aspirasi politik buruh, ternyata kemudian dipakai oleh banyak buruh sebagai alat perlawanan. Kita tahu, Marsinah gugur di tahun 1993, ketika memperjuangkan pembentukan SPSI di pabriknya, di Sidoarjo.

Kegagalan SPSI untuk berfungsi sebagai serikat buruh yang memperjuangkan nasib buruh ketika berhadapan dengan kerakusan pengusaha, menyebabkan mulai bertumbuhnya serikat-serikat buruh alternatif. Beberapa yang patut disebut adalah SBSI (Serikat Buruh Sejahtera Indonesia), SBMSK (Serikat Buruh Merdeka Setia Kawan) dan PPBI (Pusat Perjuangan Buruh Indonesia).

Perjuangan panjang gerakan buruh Indonesia, akhirnya mendapatkan titik-terangnya ketika Soeharto dipaksa turun dari singgasananya. Sekalipun reformasi, yang menyusul lengsernya penguasa Orde Baru itu, tidaklah memberi buah seperti yang diimpikan sebelumnya, reformasi ini tetaplah memberi ruang bagi bertumbuhnya gerakan buruh baru yang lebih segar dan bersemangat. Banyak serikat-serikat independen (baca: berdiri di luar serikat buruh yang bersangkutan dengan SPSI) berdiri di mana-mana. Serikat-serikat yang tadinya dipaksa bergabung dengan SPSI-pun, satu-persatu mulai melepaskan diri dari tubuh induknya. Aksi-aksi pemogokan dan demonstrasi buruh besar-besaran mulai menjadi bagian dari berita sehari-hari di media massa.

Gerakan buruh yang baru ini membutuhkan satu identitas pemersatu, yang diakui dan dijadikan titik temu bagi seluruh kelompok buruh. Salah satu bentuk identitas ini adalah perayaan Hari Buruh. Pada titik inilah, gerakan buruh yang baru ini mengalami kesulitan. Sudah lama tidak pernah ada perayaan Hari Pekerja versi Orde Baru. Orde Baru terlalu takut pada gerakan buruh, sehingga Hari Pekerja versi mereka sendiripun enggan mereka rayakan. Hari Pekerja bukan bagian dari pengetahuan yang diberikan di sekolah-sekolah. Bahkan, jika Anda mengunjungi pabrik-pabrik dan bertanya pada para buruh, barangkali hampir 100 persen tidak tahu bahwa di Indonesia ada Hari Pekerja.

Pilihan untuk menghidupkan kembali Hari Pekerja, merupakan pilihan yang mengerikan bagi banyak serikat buruh independen. Merayakan Hari Pekerja, sama saja dengan merayakan pemberangusan serikat-serikat buruh, penutupan akses politik bagi buruh, dan penghapusan sejarah bahwa begitu banyak aktivis buruh radikal harus meregang nyawa di tangan penguasa militer Orde Baru. Hari Pekerja, bukanlah hari di mana gerakan buruh mengalami kemenangan, melainkan peringatan akan kekalahannya.

Oleh karena itulah, gerakan buruh independen kemudian memilih 1 Mei sebagai hari perayaan bagi buruh Indonesia. Tanggal 1 Mei mewakili kemenangan sebuah perjuangan, yang buahnya masih dirasakan oleh buruh sedunia sampai sekarang—perjuangan menuntut delapan jam kerja sehari. Perayaan Satu Mei, Mayday, membuat orang bersemangat karena yang diperingati adalah sebuah perlawanan, sebuah pengorbanan, sebuah perjuangan, yang berujung dengan kemenangan. Mayday membuat orang merasa mewarisi sebuah harapan—sebuah harapan akan penghidupan yang lebih sejahtera di masa mendatang.

Kita tentu tidak akan menghalangi perayaan Hari Pekerja. Tidak demokratis jika perayaan semacam itu dihalangi. Namun demikian, secara naluriah, buruh Indonesia, bahkan yang bergabung dalam serikat-serikat yang merupakan pewaris FBSI dan SPSI, dapat merasakan bahwa 1 Mei-lah hari yang seharusnya mereka rayakan. Kegairahan sebuah perjuangan, harapan akan kemenangan. Itulah makna sejati sebuah perayaan Hari Buruh. Dan hanya perayaan Mayday, Hari Buruh Sedunia, yang akan dapat menaburkan kegairahan dan harapan itu di hati dan pikiran buruh Indonesia.

Selamat Hari Buruh Sedunia. Selamat merayakan Mayday 2008!***

Irwansyah, adalah Sekretaris Jenderal Perhimpunan Rakyat Pekerja, sekaligus anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.

Artikel ini sebelumnya telah dimuat di buletin Simpul Untuk Keadilan dan Demokrasi SADAR, 
Edisi: 119 Tahun IV - 2008
, http:// www.prakarsa-rakyat.org