Harmoni Dalam Kapitalisme?

Coen Husain Pontoh


HARI-HARI ini, frasa yang paling sering didengung-dengungkan, terutama di kalangan pejabat birokrasi Partai Komunis Cina, adalah frasa “harmonious society/ héxié shèhuì” atau “masyarakat harmonis.”

Frasa ini pada mulanya digaungkan oleh Jiang Zemin, sekretaris jenderal PKC setelah Deng Xiaoping, ketika memberikan laporan dalam Kongres ke-16 PKC pada tanggal 8-14 Nopember, 2002, dimana ia mengemukakan pentingnya untuk menciptakan sebuah “masyarakat yang lebih harmonis.” Selanjutnya, pada bulan Juni 2004, People’s Daily melaporkan berita tentang aktivitas yang terjadi di provinsi Zhejiang, yang sedang mempromosikan apa yang disebut “Peaceful Zhejiang.” Laporan itu mengutip pernyataan sekretaris provinsi Xi Jinping, yang mengatakan, “Untuk mempromosikan pembangunan ekonomi adalah tujuan politik kita, dan untuk mempertahankan sebuah masyarakat yang stabil dan harmonis juga merupakan tujuan politik kita.”

Kemudian, dalam Kongres Rakyat Nasional pada 2005, pemerintahan baru Hu-Wen (Hu Jintao dan Wen Jiabao), untuk pertama kalinya secara resmi mengusung gagasan mengenai pergeseran fokus pembangunan nasional dari pertumbuhan ekonomi ke keseimbangan masyarakat secara keseluruhan. Dan menjadi sebuah isu nasional bahkan, menjadi sebuah kebijakan politik PKC, ketika Hu Jintao, sekretaris jenderal PKC pengganti Zemin, melontarkannya dalam kongres ke-17 PKC, yang berlangsung pada 15 Oktober 2007, di Beijing, Cina. Dalam pidatonya, Hu menginstruksikan kepada seluruh pejabat partai di segala tingkatan dan pemerintahan pusat untuk menjadikan “pembangunan masyarakat yang harmonis” sebagai prioritas utama dalam agenda kerjanya.

Program ini sendiri didasarkan pada tujuan untuk membangun masyarakat yang sejahtera dan pembangunan situasi sosialis yang baru. Menurut Xiao Zhuoji, profesor ilmu ekonomi di Universitas Peking dan wakil-presiden dari the Social and Legal Affairs Committee of the Chinese People's Political Consultative Conference, pembangunan sebuah masyarakat yang baru pertama-tama berarti menempatkan rakyat sebagai yang utama. Dalam masyarakat yang harmonis, diharapkan rakyat di semua tingkatan saling menghormati satu-sama lain. Dan pada akhirnya, kerja, pengetahuan, teknologi, kapital, dan seluruh faktor yang menciptakan kesejahteraan, yang bisa menghasilkan keuntungan, seharusnya saling menghormati sejauh mereka menyumbang pada masyarakat.

Ketimpangan Sosial yang Tajam

Dengan dijadikannya kebijakan “pembangunan masyarakat yang harmonis” sebagai agenda utama kerja partai dan pemerintah, muncul beragam tafsir mengenai dasar utama di balik kebijakan itu. Ini lumrah, karena inilah untuk pertama kalinya setelah reformasi pada 1978, pemerintah Cina menjadikan tema keadilan sosial sebagai kebijakan resmi.

Allen T. Cheng, misalnya, mengatakan, dasar di balik kebijakan itu harus dilihat pada pengaruh ajaran Konfusian yang melekat kuat pada diri Hu Jintao. Menurut Cheng, ketika Mao Zedong mengambilalih kekuasaan di Cina pada 1949, Hu yang saat itu baru berumur enam tahun, sedang asyik-asyiknya belajar Konfusian dari bapaknya, seorang pedagang teh di rumah mereka di sebelah timur kota Taizhou. Pendapat lain mengatakan, kebijakan “membangun masyarakat yang harmonis” sesungguhnya dimaksudkan untuk menyelamatkan nasib PKC. Seperti dikemukakan Laurence Brahm, penulis buku "China's Century: The Awakening of the Next Economic Powerhouse'' (Wiley 2001), "ideologi komunis telah mati dan di Cina saat ini terjadi kekosongan spiritual yang luar biasa. Dengan mengajukan kebijakan tersebut, Hu mencoba mengisi kekosongan itu dengan mengembalikan PKC pada nilai-nilai budaya dan kepercayaan Cina.”

Namun demikian, tafsir yang paling luas diterima, adalah makin terbelahnya masyarakat Cina saat ini. Setelah reformasi yang digulirkan pada 1978, potret kesenjangan sosial itu sangat mengerikan. Pertumbuhan ekonomi yang mencengangkan dunia luar, ternyata tidak terbagi secara adil di tengah masyarakat. Potret masyarakat egaliter warisan Mao terjungkir-balik, justru ketika ekonomi Cina berhasil menyalip posisi Jerman sebagai negara dengan kekuatan ekonomi ketiga terbesar di dunia.

Inilah pendapat Willy Wo-Lap Lam, penulis buku “Chinese Politics in the Hu era," yang juga merupakan senior fellow di Jamestown Foundation yang berbasis di Washington DC,


“Polarisasi antara kaya dan miskin semakin memburuk. Inilah sebabnya mengapa presiden Hu Jintao menekankan doktrin Masyarakat Harmonis. Partai benar-benar sangat ketakutan.”

Sebagai contoh, menurut lembaga Merrill Lynch Cap Gemini, yang berbasis di New York, ketika ledakan ekonomi menciptakan para milioner dengan pendapatan $320 ribu, daerah pedesaan justru tertinggal di belakang. Sementara sumber resmi pemerintah yakni, hasil survey yang dilakukan oleh Biro Statistik Nasional tahun 2005, menunjukkan, 10 persen teratas penduduk perkotaan menerima 45 persen dari total kekayaan di perkotaan Cina, sementara 10 persen terbawah hanya menerima 2 persen dari total kekayaan. Bank Dunia memperkirakan, lebih dari 300 juta penduduk Cina hidup di bawah $2 per hari. Survey lain yang dilakukan oleh majalah New Fortune pada 2003, menunjukkan, 400 orang terkaya (tycoons) memiliki jumlah kekayaan yang luar biasa besar, 303 milyar yuan (US38 milyar). Jumlah ini tiga kali lipat dari seluruh produk domestik bruto (GDP) Guizhou tahun itu. Guizhou adalah salah satu provinsi termiskin di Cina.

Dari ukuran Gini Coefficient (GC), kota-kota di Cina saat ini rata-rata di atas 0.4. Padahal menurut studi dari tim universitas Nankai yang dipimpin oleh Profesor Chen Zongsheng, GC pada 1988 hanya sekitar 0.35 dan meningkat mendekati 0.5 pada 2003. GC sendiri adalah alat untuk mengukur tingkat kesenjangan dengan mengambil nilai antara 0 dan 1; semakin besar angka yang diperoleh, semakin besar tingkat kesenjangan. Angka 0.4 secara umum dianggap sebagai tanda bahaya (red alert) dan 0.5 berarti bersiap-siap untuk menghadapi pemberontakan sosial.

Kesenjangan kekayaan antara wilayah perkotaan dan pedesaan juga meningkat pesat. Pada 2005, rata-rata pendapatan perkapita penduduk perkotaan adalah 3.22 kali pendapatan petani. Harian ekonomi Bloomberg melaporkan, pendapatan per kapita penduduk perkotaan meningkat menjadi 10.493 yuan, dibandingkan dengan 3.254 yuan yang diterima penduduk pedesaan. Padahal pada 1978, pendapatan penduduk perkotaan hanya sebesar 607 yuan, lebih kecil ketimbang pendapatan yang diperoleh penduduk pedesaan sebesar 624 yuan.
Kesenjangan antar wilayah juga turut meluas. Per kapita provinsi kaya Pantai Timur Cina, kini sepuluh kali lebih besar ketimbang per kapita provinsi miskin di Barat Cina. Demikian juga kesenjangan pendapatan di antara buruh berbagai industri, makin lebar.


Masalah kesenjangan sosial, yang dipicu oleh reformasi ekonomi ini, tak pelak menimbulkan gejolak luas di masyarakat. Pada tahun 2005, misalnya, menurut statistik pemerintah, tercatat 87.000 protes massa di Cina. Pencaplokan lahan pertanian dan ketidadilan merupakan penyumbang terbesar protes sosial itu yakni, 90.000 protes massa pada 2004.

Slogan Kosong

Bagi para pengamat, protes massa yang terus meluas, terutama di wilayah pinggiran, seperti mengingatkan pemerintah pusat di Beijing, akan 5000 tahun sejarah pemberontakan terhadap kekuasaan pusat.

Dalam konteks itulah, kita mesti melihat kebijakan “pembangunan masyarakat sosialis yang harmonis,” digulirkan. Soalnya, bagaimana pelaksananya dalam praktek? Di sini, ada dua pertanyaan kunci yang patut diajukan untuk menguji efektivitas slogan “Masyarakat Harmonis” itu. Pertama, jika kita menganggap ketidakadilan sosial yang meluas di Cina sebagai hasil dari salah urus kebijakan yang muncul dalam bentuk korupsi, kolusi, dan nepotisme, maka solusi praktis dari slogan “Masyarakat Harmonis” itu adalah memberlakukan kebijakan pemerintahan yang bersih. Solusi ini tampak dari kebijakan tebang pilih pemerintah dalam menindak aparatur birokrasi Cina yang terindikasi KKN.

Demikian juga, jika dasarnya adalah ketidakpedulian pemerintah terhadap lapisan terbesar rakyat miskin Cina, maka solusinya adalah menggelar serangkaian kebijakan “murah hati,” seperti yang tampak dalam gerakan membangun perumahan dan penyediaan fasilitas kesehatan bagi penduduk pedesaan.

Tetapi, penciptaan sistem pemerintahan yang bersih dan aktivitas “murah hati” dipandang tidak mencukupi, karena adalah musykil hal itu terjadi dalam sistem politik yang tertutup. Seperti kata Gordon Chang, penulis buku "The Coming Collapse of China'' (Arrow 2003), “yang dimaksud Hu dengan harmoni tak lain adalah semua orang setuju dengan apa yang diinginkannya.” “Jika ia benar-benar ingin menciptakan keharmonisan, “ lanjut Chang, “maka ia harus melaksanakan pemilu, menghilangkan praktek sensor, dan mengijinkan hakim untuk memutuskan setiap kasus tanpa intervensi partai.”

Cara pandang kedua  melihat, akar ketidakadilan dan disharmoni yang meluas, merupakan hasil dari pertumbuhan pohon kapitalisme. Jika ini soalnya, maka harmoni sosial hanya mungkin dibangun dengan syarat merobohkan pohon kapitalisme itu. Sebab, adalah mustahil rakyat yang lahannya dirampas, secara sukarela berdamai dengan sang perampok. Adalah musykil para imigran yang hidup bersesak-sesak di perkampungan kumuh di kota-kota, mentolerir gaya hidup orang kaya baru yang supermewah. Dan tidaklah mungkin, sebuah program “murah hati” sanggup mengentaskan rakyat dari kemiskinannya sembari pada saat yang sama  mendukung penuh pertumbuhan pohon kapitalisme dimana-mana.

Pada titik ini, saya setuju dengan Gordon Chang, bahwa “kebijakan membangun masyarakat yang harmonis tak lebih sebagai slogan kosong.”***

Kepustakaan:

Wu Zhong, "China yearns for Hu's 'harmonious society,'' Oct. 11, 2006, http://www.atimes.com/atimes/China/HJ11Ad01.html

"What is a harmonious society?" www.chinaview.cn 2005-03-21 19:45:53.

Allen T. Cheng, "Hu Invokes Confucius to Appease Masses, Save Communist Party," http://www.bloomberg.com/apps/news?pid=newsarchive&sid=avMr4F3vE_GM

By Allen T. Cheng and Dune Lawrence, "China Has 106 Billionaires, Up From 15 Last Year" (Update1), http://www.bloomberg.com/apps/news?pid=newsarchive&sid=a_TDRFAAr7.k