Harsutejo
Watak dan Perilaku Pemangku Rezim
MOCHTAR Lubis dalam ceramahnya yang tersohor di TIM, Jakarta pada 6 April 1977 tentang “Manusia Indonesia,” menyebut sejumlah ciri. Ciri-ciri manusia Indonesia (1) Munafik, sifat ini berhubungan erat dengan sikap ABS (asal bapak senang), orang cenderung menyembunyikan pikiran dan perasaan sebenarnya, kelanjutannya pengkhianatan intelektual; (2) Tidak bertanggungjawab karena sekedar menjalankan perintah atasan [seperti robot]. Jika timbul masalah, atasan tidak salah karena tidak berbuat dan bawahan sekedar menjalankan perintah, artinya tak ada yang salah; (3) Berjiwa feodal yang berhubungan erat dengan ABS; menyembunyikan hal buruk atasan [termasuk korupsi], tabu terhadap kritik; (4) Percaya takhayul dengan segala jimat fisik maupun politik; (5) Artistik; (6) Watak yang lemah berhubungan dengan ABS yang juga berujung pada pelacuran intelektual; (7) Boros tanpa kerja keras, mental priayi dengan jabatan dan berharap cepat kaya. Selanjutnya juga kurang sabar, penggerutu, mudah cemburu dan dengki, bangga pada hal yang hampa, sok kuasa, peniru kulit luar dst.
Mochtar Lubis mencampuradukkan ciri manusia Indonesia dengan watak dan perilaku rezim militer Orba, dengan para petinggi pemangku rezim, serta tokoh-tokoh pendukungnya, termasuk tokoh intelektual, dari atas sampai bawah. Karena rezim ini munafik, feodalistik, militeristik, dan represif maka mematikan inisatif, membuat rakyat sekadar menjalankan perintah dengan takut-takut. Selanjutnya sejumlah pembesar, tokoh dan pakar bilang bangsa ini lemah, pelupa, tidak disiplin, abnormal, beringas, sakit, kurang inisiatif, boros, tidak kompetitif, tidak efisien, menuju kebangkrutan dan menjadi budak, malu menjadi Indonesia.
Itu semua terjadi karena rezim yang amat korup dan bobrok, asyik bermasturbasi dengan kekuasaannya sendiri selama lebih tiga dekade. Dan ini terus berlanjut hingga kini. Hanya rezim yang berpihak kepada rakyat, akan mampu memimpin dan memberdayakan bangsa ini menjadi normal, sehat, berdisiplin, hemat, penuh inisiatif, dapat bekerja efisien, santun sekaligus berani, kuat dan tegak berdiri untuk bersaing dan bekerjasama bagi kemajuan, tidak miskin lagi, bangga menjadi Indonesia.
Sejumlah mantan petinggi Orba, seperti Prof Muladi dalam menghadapi kemelut luar biasa negeri ini dengan gagah menyatakan “Kita tidak perlu lagi mengorek-korek masa lampau, mengaduk luka masa lalu yang akan menambah beban dan persoalan bangsa ini. Kita lupakan masa lampau, kita tutup sejarah, kita harus menatap ke masa depan bagi kepentingan seluruh bangsa.” Nampaknya seruan ini memesona, jernih dan masuk akal, padahal mengandung racun tipu daya. Bagaimana kita akan mampu memahami masa kini yang carut-marut tanpa mengetahui masa lampau rezim diktator militer yang menindas rakyat dan menjual negeri? Bagaimana mungkin kita memahami korupsi yang merajalela sampai saat ini, tanpa mengetahui contoh "Bapak Pembangunan" yang menumpuk harta haram selama kekuasaannya dan membudayakan korupsi?
Dapat saya tambahkan, Mochtar Lubis ketika membuat ulasannya, sama sekali tidak menyinggung bahwa rezim Orba telah membunuh jutaan rakyat yang dijadikan lawan politiknya, ribuan orang sedang dipenjarakan sebagai tapol, termasuk 12.000 orang yang dibuang ke Pulau Buru, yang secara diam-diam disetujui olehnya. Ia juga bungkam ketika rezim militer Orba, mengatakan, negara sedang mempancasilakan kaum paria kepala batu itu.
Siapa yang Munafik
Lebih dari 100 juta rakyat miskin, tidak mengatakan bahwa dirinya kaya dan makmur. Ribuan orang yang menderita kelaparan, tidak mengatakan bahwa mereka kenyang dan sejahtera. Selanjutnya, jutaan orang yang tidak mendapatkan pelayanan kesehatan, jutaan anak yang tidak mendapatkan layanan pendidikan sekolah yang layak, tidak mengatakan bahwa mereka sejahtera dan bahagia. Seorang petinggi negara mengatakan, rakyat tersenyum meski kebanjiran, dan itu pertanda mereka cukup bahagia. Ratusan ribu penderita tbc tidak mengatakan dirinya sehat walafiat. Jutaan kaum buruh dan tani tidak mengatakan bahwa hidup mereka berkecukupan.
Prof Habibie, mengatakan, sumber daya manusia Indonesia tidak handal, tidak kompetitif. Ia tidak menganalisis mengapa itu terjadi, apa yang dia perbuat selama berkuasa agar mereka handal dan kompetitif. Lalu selapisan petinggi negara, pemimpin dan kaum birokrat, mengatakan, rakyat malas, kaum buruh banyak tingkah, kaum tani kurang inovatif, para pelajar dan mahasiswa kurang kreatif dsb dst.
Untuk melempar tanggungjawab selapisan kaum istimewa tersebut, mengatakan, bangsa ini munafik, bangsa ini lemah, bangsa ini bermental budak, bangsa ini tidak mau maju, bangsa ini tidak punya visi ke depan, maunya menengok ke belakang terus dsb dst. Semuanya serba salah, yang benar cuma selapisan petinggi negara, pemimpin dan birokrat yang nyata-nyata munafi. Mereka menebar racun yang membingungkan, sambil terus mengondisikan agar bangsa ini benar-benar menjadi munafik, yakni situasi ketika yang miskin merasa kaya, yang lapar merasa kenyang dan diam menerima nasib.
Perjuangan rakyat Indonesia untuk meraih kemerdekaan yang sebenarnya, yakni kehidupan dalam keadilan dan kesejahteraan masih panjang, sementara kerusakan dalam segala bidang terus berjalan dalam lindungan rezim berkuasa.***