Coen Husain Pontoh
TAHUN ini, reformasi ekonomi Cina berumur 30 tahun. Sejak gong reformasi ditabuh pada 1978, tak terhitung jumlah publikasi, baik dalam bentuk buku, makalah, berita di koran maupun televisi, yang memberikan pujian terhadap keputusan berani rejim Deng Xiaoping.
Data-data yang ada memang memberikan dukungannya terhadap segala puja-puji itu. Kalangan neoliberal kanan, seperti ekonom Jeffrey Sachs, mengatakan, performa ekonomi Cina menunjukkan betapa kapitalisme, atau dalam arti yang lebih politis ekonomi pasar, kembali membuktikan ketangguhannya di hadapan sistem yang lain. Benar bahwa ekonomi pasar sering menderita krisis tapi, di waktu yang lain ia kembali menunjukkan kebangkitannya yang semakin kuat.
Sementara pejalan neoliberal di sebelah kiri, seperti ekonom Joseph Stiglitz, memberikan tepuk tangan kepada Cina, karena sikapnya yang hati-hati dalam menerapkan agenda Konsensus Washington. Cina bagi Stiglitz, adalah contoh terbaik bagaimana sebuah rejim politik tidak boleh serta-merta tunduk pada rejim neoliberal. Sementara, Rusia, adalah contoh terburuk bagaimana penerapan neoliberal dalam satu malam, menyebabkan kapal negara itu karam.
Lalu bagaimana kita memaknai 30 tahun reformasi ekonomi Cina itu?
Di media ini saya beberapa kali menulis soal Cina, dimana posisi saya adalah meragukan masa depan sukses ekonomi Cina tersebut. Tapi, pada kesempatan ini, saya akan mengajak pembaca untuk melihat bagaimana rejim Deng meletakkan dasar-dasar reformasi ekonominya pada 30 tahun yang lalu.
Antitesa terhadap rejim Mao
Saya menganggap, model pembangunan yang dijalankan Cina saat ini adalah model neoliberal. Bagi saya, proyek reformasi ekonomi yang dijalankan Deng, adalah antitesa terhadap proyek yang dijalankan Mao sebelumnya. Kebijakan ekonomi kedua rejim ini sama sekali tidak memiliki kesinambungan, sebagaimana yang diyakini sebagian kalangan progresif, ketika memberi label “Sosialisme Pasar” terhadap kebijakan yang ditempuh Deng.
Seperti dituturkan pakar ekonomi-politik Gregory Albo, inti strategi pembangunan Cina mirip dengan strategi yang dilaksanakan oleh Uni Sovyet: alat-alat produksi dinasionalisasi sebagai milik negara, perencanaan komando terpusat, pembangunan industri-industri berat, perlindungan keamanan tanpa hak-hak politik buruh dan petani, penindasan terhadap level konsumsi buruh dan petani untuk memaksimalkan potensi kelebihan ekonomi, dan konversi kelebihan ekonomi ke dalam investasi tingkat tinggi di bidang manufaktur, dan industri. Albo melanjutkan, dengan jumlah populasi petani yang sangat besar, kolektivisasi pertanian dan sistem komune pedesaan menjadi komponen sentral pembangunan Cina.
Hasil dari kebijakan ini, tak bisa dipandang enteng. Ekonom Martin Hart-Landsberg dan Paul Burkett, menulis, antara tahun 1953 hingga berakhirnya era Mao, output industri Cina meningkat rata-rata 11 persen per tahun; walaupun sempat terinterupsi pada masa revolusi kebudayaan (1966-1976), produksi industri tetap meningkat rata-rata di atas sepuluh persen. Dengan pengecualian bantuan yang kecil dari Uni Sovyet pada dekade 1950an, pencapaian ini diraih tanpa ketergantungan terhadap investasi asing.
Di bidang pertanian, sebagai dampak dari penerapan sistem komune pedesaan, petani Cina memperoleh kecukupan di bidang pangan. Bahkan, dibanding dengan negara-negara berkembang lainnya, produksi sektor pertanian Cina lebih baik. Sebagai contoh, dibandingkan dengan India, pada 1977, pertumbuhan pangan Cina mencapai 30 sampai 40 persen per kapita, padahal luas tanah yang bisa dimanfaatkan kurang dari 14 persen, sementara distribusi pangannya jauh lebih merata dengan jumlah penduduk yang dua kali lebih besar dari India.
Di sektor kesehatan, tingkat kematian dini menurun drastis dan tingkat harapan hidup meningkat pesat, meninggalkan negara-negara berpendapatan rendah lainnya di belakangnya; di sektor perumahan dan jaminan sosial, rakyat, terutama petani, tak perlu khawatir. Kemiskinan massal (dengan pengecualian masa “Lompatan Jauh ke Depan” ) berhasil dienyahkan. Adapun di bidang pendidikan, pemerintah membangun sarana pendidikan massal, dan petani Cina memiliki akses yang sangat luas terhadap pendidikan dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi.
Dan ini yang tak kalah penting, di bawah Mao, polarisasi sosial yang ekstrim antara si kaya dan si miskin, yang menjadi gambaran abadi struktur sosial pra-revolusi 1949, melenyap. Tak heran jika Harry Magdoff dan John Bellamy Foster, menyimpulkan, pada akhir 1970an, Cina sukses membangun struktur masyarakat yang paling egaliter di dunia dalam pengertian distribusi pendapatan dan pemenuhan akan kebutuhan dasar.
Bukan berarti, pembangunan di bawah Mao tidak bermasalah. Ada dua soal utama penyebabnya: pertama, sistem politik yang tertutup, yang tidak akomodatif terhadap aspirasi dari bawah, menyebabkan tersumbatnya inovasi-inovasi baru sesuai dengan perkembangan masyarakat. Benar bahwa pemerintah sanggup menyediakan kebutuhan dasar tapi, hal tersebut tidak cukup untuk meredam dinamika dalam masyarakat. Misalnya, ketika ketidakpuasan yang meluas terhadap kinerja ekonomi, politik, dan sosial yang berujung pada insiden Tiananmen pada 1976, dihadapi dengan keras oleh pemerintah.
Penyebab kedua, yang berkoinsidensi dengan kebijakan politik yang tertutup, adalah situasi politik Perang Dingin saat itu. Sebagai sebuah rejim yang menantang dominasi rejim kapitalis, Cina menerima resiko pemboikotan dan isolasi ekonomi terhadap perdagangan luar negerinya. Kondisi inilah yang memaksa Mao meluncurkan kebijakan “Lompatan Jauh ke Depan” untuk memobilisasi sumberdaya internal guna memenuhi kebutuhannya. Di samping itu, isolasi dan boikot tersebut, memunculkan perdebatan luas di kalangan internal partai menyangkut jalan pembangunan Cina yakni, antara mereka yang disebut “kelompok kiri/leftist” dengan “para pejalan kapitalis/capitalist roader.”
Masalah-masalah inilah yang kemudian berimbas pada kinerja ekonomi, menjelang berakhirnya era Mao. Dan ketika Mao wafat, dan Deng Xiaoping, yang merupakan tokoh sentral “capitalist roader” menjadi pemimpin tertinggi, ia menganggap semua kesulitan ekonomi tersebut disebabkan oleh kebijakan salah yang ditempuh Mao.
Sosialisme Pasar
Deng, yang secara publik tetap mengaku berkomitmen terhadap sosialisme, dengan segera meluncurkan kebijakan yang disebutnya “Sosialisme Pasar.” Pada kesempatan lain, ia menyebut kebijakannya sebagai “Sosialisme dengan karateristik Cina.” Melalui kebijakan ini, ia berpendapat Cina akan sanggup keluar dari kungkungan keterbelakangan dan kemelarataan yang menimpanya.
Apapun namanya, dalam Third Plenum Partai Komunis Cina, pada Desember 1979, dicapai keputusan untuk menggunakan kekuatan pasar dalam menggerakkan mesin ekonomi. Untuk itu, ada tiga kebijakan utama yang dicanangkannya, di masa-masa awal kepemimpinannya.
Pertama, pada awal 1979, di kota-kota tertentu pemerintah mempromosikan sosialisme pasar guna menciptakan pasar kerja. Pertimbangannya, tanpa kebebasan untuk mengalokasikan “sumberdaya kerja” manajer tidak akan sanggup bertindak rasional dalam merestrukturisasi produksi guna merespon sinyal yang dipancarkan oleh pasar. Pasar kerja, juga memungkinkan manajemen untuk melakukan efisiensi dan produktivitas ekonomi.
Kebijakan ini tentu saja mensyarakan pemerintah untuk melemahkan dan membungkam kekuatan serikat pekerja yang, merupakan warisan rejim Mao. Upaya penghancuran kekuatan serikat ini, berlanjut pada 1983, ketika pemerintah memutuskan agar perusahaan negara menggaji buruh baru di atas basis kontrak, tanpa jaminan kerja dan kesejahteraan yang selama ini dinikmati oleh buruh perusahaan negara. Hasilnya, pada akhir 1987, perusahaan negara Cina (China’s state-owned enterprise/SOEs), telah menggaji 7.51 juta buruh kontrak, sekitar 8 persen dari buruh industrial. Pada tahun yang sama, sekitar 6 juta buruh perusahaan negara berhadapan dengan “reformasi tenaga kerja, dimana hasilnya mereka menjadi buruh kontrak.”
Sektor swasta juga diharuskan untuk menjalankan reformasi ketenagakerjaan ini, sebagai bagian dari proses reformasi. Sebelumnya, perusahaan swasta dibatasi hanya boleh mempekerjakan kurang dari tujuh anggota keluarga. Namun, ketentuan ini kemudian dihapus pada 1987, dan hasilnya pekerja di sektor swasta meningkat dari 240 ribu pada akhir 1970an menjadi 1.1 juta pada 1981 dan 3.4 juta pada 1984.
Langkah kedua, yang ditempuh rejim Deng adalah meneken kebijakan “pintu terbuka” pada 1979. Berbekal kebijakan ini, pemerintah kemudian menetapkan empat zona khusus ekonomi di sepanjang pesisir selatan provinsi Guangdong dan Fujian, bagi investor asing. Deng berargumen, kehadiran investor asing akan membantu menciptakan lapangan pekerjaan baru dan membawa masuk teknologi baru, sekaligus menjadi “sekolah” tempat belajar tentang bagaimana mengoperasikan ekonomi pasar. Kebijakan ini kemudian disusul dengan serangkaian kebijakan lain pada 1983 untuk merangsang lebih banyak investasi asing langsung masuk, dengan cara menghapuskan pembatasan-pembatasan yang membatasi investor asing untuk melakukan usaha bersama dengan investor domestik, dan juga untuk memuluskan jalan bagi kepemilikan investor asing.
Langkah ketiga, dalam proses awal reformasi ekonomi ini adalah perintah agar dibubarkannya sistem produksi kolektif, pada September 1980. Dekolektivisasi ini diikuti oleh sejumlah langkah seperti, dibentuknya sistem produksi berbasis rumah tangga sebagai ganti sistem produksi berbasis kolektif. Hasilnya, pada 1983 hampir 98 persen dari seluruh petani rumah tangga beroperasi menurut logika sistem baru ini, dimana lahan-lahan kolektif dimanfaatkan untuk memproduksi barang-barang yang dijual di pasar. Aturan baru ini kemudian disusul dengan regulasi pada 1983-1984, dimana para pemilik lahan kontrak diharuskan untuk menggunakan buruh upahan (wage workers) untuk produksi dan atau menyewakan lahannya kepada petani.
Hancurnya sistem komune ini, juga berimbas pada keseimbangan kekuasaan, dimana terjadi transfer kekuasaan politik dan ekonomi kepada pemerintahan baru. Konstitusi 1982, misalnya, semula memberikan kekuasaan administratif dan politik kepada komune untuk membentuk perusahaan kota dan desa. Dengan perubahan keseimbangan kekuasaan tadi, pemerintah baru kemudian mengambilalih ase-aset industrial komune, dan selanjutnya merestrukturisasinya menjadi perusahaan kota dan desa (township and village enterprises/TVEs).
Dihancurkannya sistem komune, juga berarti dicabutnya petani dari lahan pertaniannya. Dan seperti ditulis Jim Yardley, di harian The New York Times (12/9/2004), selama tahun 1980an itu, para petani yang tercerabut dari lahannya tersebut, kemudian bermigrasi, menempuh perjalanan lebih dari seribu mil menuju ke kota-kota seperti Beijing, Sanghai, Guangzhou, dsb. Para ahli memperkirakan, setiap tahunnya tidak kurang dari 7-10 juta migran baru menyerbu kota-kota di Cina.
Kondisi ini diperkirakan akan terus berlangsung, yang menyebabkan Cina tidak hanya dikenal sebagai negara dengan pertumbuhan ekonomi yang mengagumkan tapi, juga sebagai negara dengan jumlah pekerja migran yang fantastis. Celakanya, setelah 30 tahun reformasi bergerak, serbuan penduduk pedesaan ini baru dirasakan sebagai sebuah masalah besar. Sesuatu yang tak diperkirakan sebelumnya, ketika gong reformasi ditabuh pertama kali pada 1978.***
Kepustakaan:
Gregory Albo, “China and the World Market:Thirty Years of the "Reform" Policy,” Source: http://mrzine.monthlyreview.org/albo310308.html
Jim Yardley, “In a Tidal Wave, China's Masses Pour From Farm to City,” The New York Times, September 12, 2004.
Martin Hans-Landsberg and Paul Burkett, “China and Socialism Market Reforms and Class Struggle,” Monthly Review Press, NY, 2005.