Sekilas tentang Analisis Kelas dan Relevansinya (Bagian 2, habis)

Hilmar Farid

Menggali Marx

Menghadapi kondisi tersebut, alternatifnya bagi saya sederhana. Sederhana bukan berarti yang paling benar. Menurut saya, kembali saja ke awal: bagaimana analisis kelas itu untuk pertama kalinya berkembang. Untuk itu, mau tidak mau, kita harus kembali ke Karl Marx. Marx terlalu sering disalahpahami. Orang menganggap, teori dia mengenai pertentangan proletariat dengan borjuis. Itu betul dan penting, tetapi cara pandang dia sangat lain dengan apa yang kemudian disebut Marxisme-Leninisme.
Dalam Marxisme-Leninisme, cara pikir mereka sebenarnya agak mirip dengan lingkup ilmu sosial historis: membuat klasifikasi, kemudian dari situ kita menentukan perilaku politik berdasarkan pengklasifikasian tersebut. Masalah-masalah cara pandang semacam itu di lapangan politik cukup jelas terjadi di Uni Soviet, ketika Stalin menggasak Kulak. Cukup jelas pula di Cina. Banyak penangkapan di jaman Revolusi Kebudayaan di Cina. Alasan penangkapan karena borjuis. Kenapa dianggap borjuis, karena menimbun barang di rumahnya, dan itu haram. Namun, perlu dicatat bahwa pandangan tersebut bukan berasal dari Marx tapi, menurut aturan Partai Komunis Cina. Jadi, kita lihat bahwa cara pelabelan kelas itu bisa mematikan, karena itu sangat bermasalah secara politik.

Kembali ke Marx, bagaimana cara dia menganalisis hingga bisa sampai pada kesimpulan adanya kelas-kelas dalam masyarakat. Pembagian atau pemisahan kelas itu berangkat dari kajian dia mengenai kapitalisme. Itu yang perlu dicatat. Marx, menurut saya, bukan seperti filsuf atau semacam nabi, yang bisa memberikan jawaban terhadap seluruh masalah di dunia. Yang paling penting dari Marx adalah cara dia melihat kapitalisme. Dari situ seluruh teorinya mengenai kelas dan segala macam mengalir. Namun, sebelum sampai ke sana kita harus paham terlebih dahulu bagaimana cara dia memahami kapitalisme, atau apa yang dia sebut kapitalisme.

Diskusi mengenai kapitalisme harus kembali kepada apa yang oleh Marxi disebut kapital. Apa sebetulnya modal itu, dan bagaimana modal itu berkembang. Untuk memulai penjelasannya, saya tidak akan bercerita tentang isi buku Das Kapital, tetapi uraian saya akan didasarkan pada itu. Pembahasan Marx tentang kapital dimulai dari apa yang disebut komoditas (barang dagangan). Di dalam usaha membuat barang dagangan—menjual, membuat barang untuk dijual—kita melalui satu fase. Kita memiliki sejumlah uang yang disimpan dalam proses produksi untuk menghasilkan uang yang lebih besar. Rumus dasarnya adalah:


M (Money) – C (Commodity) – M (Money)

Nah, mana yang disebut modal? Banyak orang seperti Robison, misalnya, menganggap modal adalah uang. Bagi dia kapitalisme dimulai ketika datangnya/masuknya aliran uang ke Indonesia—investasi. Oleh sebab itu, bagi dia momen yang paling penting dalam membicarakan kapital di Indonesia adalah ketika Orde Baru mengundang investor dari luar untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Bagi Marx, tidak demikian. Bukan soal uang yang penting. Uang memang penting, tapi bukan yang paling penting, karena yang penting adalah memahami proses M–C–M secara keseluruhan. Mengapa? Sebab, ada mesin tanpa ada tenaga kerja yang menjalankan mesin tidak akan menghasilkan apa-apa. Dengan kalimat lain, uang saja tidak cukup. Memiliki banyak uang, tidak dengan sendirinya bisa menghasilkan proses produksi kapital. Apalagi—dan ini paling penting—di dalam suatu masyarakat di mana cara produksi kapitalis tidak merata.

Di sebagian kecil negara di dunia ini, cara produksi non-kapitalis masih bertahan. Tetapi, kebanyakan sekarang sudah disebut generalize, sudah secara umum kapitalis. Berproduksi di jaman sekarang, lebih mudah daripada seratus tahun lalu. Jika membaca, misalnya saja, penelitian tentang perkebunan yang ditulis Ann Stoler atau tulisan-tulisan Benjamin White, akan kelihatan bahwa pada masa lalu yang menjadi masalah di perkebunan adalah bagaimana caranya memobilisasi tenaga kerja. Mengapa perkebunan di Sumatera Timur banyak Jawanya, banyak orang Cina, itu karena tidak ada orang. Orang-orang Batak pada saat itu masih relatif bisa menjaga diri untuk tidak terlibat di dalam proses produksi kapitalis. Jadi, ada satu proses yang membuat orang kemudian mau bekerja di dalam cara produksi kapitalis yang tidak menyenangkan itu. Dan itulah yang menurut Marx, adalah titik awal yang penting untuk dianalisis sebelum kita bisa memahami gerak dari M–C–M. Kebanyakan orang berbicara turunan-turunan. Saya, dalam tulisan itu antara lain berbicara tentang apa yang disebut akumulasi primitif (akumulasi asali): awal modal mulai berkembang.

Awal mula modal itu bukan karena ada uang, melainkan karena ada (1) uang, (2) alat produksi dan (3) tenaga kerja yang bisa digerakkan untuk berproduksi. Dan jika kita melihat sejarah dimanapun di dunia ini, proses tersebut penuh masalah, sangat berdarah, dan penuh kekerasan. Dalam buku Naomi Klein yang baru misalnya, dia berbicara tentang "Shock Doctrine: The Rise of Disaster Capitalism"—kapitalisme bencana. Menurut analisis dia, setiap bencana sekarang diikuti dengan ekspansi kapitalisme. Dia memberi contoh yang sangat bagus. Ketika New Orleans terkena bencana, para pejabat di sana sudah memiliki rencana—pada saat korban bencana belum tahu bagaimana kehidupan mereka setelah bencana—pembangunan yang sesuai dengan logika pasar. Sistem pendidikan di New Orleans sangat terkenal karena serikat buruhnya kuat, mempertahankan pendidikan publik dan sangat sedikit pendidikan swasta. Karena bencana alam, seluruh gurunya dipecat. Jumlah sekolah negeri dan swasta pun berbalik: dari yang awalnya jumlah sekolah swasta hanya 7 menjadi 30, dan sekolah publik yang tadinya 30 menjadi 2. Kita bisa melihat bahwa ternyata banyak hal, termasuk bencana alam bisa menjadi titik tolak bagi ekspansi kapital.

Berdasarkan rumus M–C–M, lalu di mana tempat kelas itu? Tempat kelas adalah ketika proses M–C–M mulai bergerak. Jadi, bisa dikatakan bahwa proses pembentukkan kelas itu, jauh lebih menentukan daripada pengklasifikasian kelas. Class formation itu jauh lebih penting daripada memotret kelas (klasifikasi). Karena itulah analisis kelas selalu historis. Analisis kelas tidak mungkin membuat potret tentang masyarakat, karena cara berpikirnya bukan memotret. Jika sekarang kita berbicara tentang modal, maka gerak M–C–M secara keseluruhan itulah yang disebut modal: gerak dari uang menjadi komoditi menjadi uang. Itulah yang disebut capital. Jadi, kapital itu bukan benda, dan itulah hal paling kunci yang dipikirkan oleh Marx, ketika dia berbicara tentang apa yang disebut fetisisme (pemberhalaan). Kapital itu diberhalakan, dianggap itulah penentu dari segalanya. Jadi, sesuatu yang merupakan proses, oleh orang kemudian diambil unsur-unsurnya dan dianggap itulah intinya.

Jadi, jika sekarang, misalnya, kita mendengar pernyataan, “modal akan masuk,” sudah harus ada di dalam kepala kita, asumsinya, lahan yang tersedia untuk menjalankan produksi kapitalis juga sudah ada. Akumulasi modal dengan sendirinya menjadi akumulasi tenaga kerja. Kalau kita melakukan akumulasi modal, uang kita bertambah banyak, bersamaan dengan itu, orang yang bekerja di dalam cara produksi kapitalis semakin banyak pula, dan di situlah pemisahan kelas terjadi. Itu artinya, pemisahan kelas bukan karena adanya perbedaan jenis pekerjaan. Oleh sebab itu, tidak mungkin membuat analisis kelas berdasarkan sensus. Dengan itu seorang peneliti tidak akan memperoleh proses, melainkan potret, dan potret tidak akan bisa dipakai untuk memahami situasi kelas di dalam suatu masyarakat.

Implikasi Teoritis dan Politik

Jika pembahasan kita persingkat, maka pertanyaannya, apa kemudian implikasinya? Implikasinya secara teoretik adalah sulit bagi kita membuat penelitian yang isolasi subjeknya di dalam kategori kelas tertentu. Contohnya, bisa kita lihat dalam isu buruh. Siapa sih kelas buruh itu? Kelas buruh adalah mereka yang masih bekerja di pabrik. Itu definisi buruh menurut UU Ketenagakerjaan, bukan menurut analisis kelas. Kadang-kadang, kita berpikir sangat legalistik. Kategori-kategori sosial kita ambil dari hukum, padahal itu adalah dua hal yang berbeda bahkan, kadang-kadang hukum dibuat untuk menutupi kenyataan sosial.

Implikasi teoretis dari cara pandang yang melihat kelas secara lebih historis, pertama, harus melihat dia (buruh) senantiasa dalam sebuah proses, artinya harus tahu mengapa dia sampai pada keadaan seperi itu; dan kedua, sadar bahwa kategori itu tidak mutlak. Dengan demikian, jika kita bicara soal konsep, apa konsep paling tepat untuk menamai, katakanlah memberi label pada kelompok-kelompok sosial yang kita lihat, menurut saya, harus selalu dimengerti bahwa kelompok-kelompok sosial itu terbagi-bagi, terbelah-belah dalam proses tertentu. Konsep hanya berguna sejauh dia memang bisa menangkap kenyataan itu, bukan kenyataan yang dipaksa mengikuti konsep.

Secara politik, seperti yang sudah kita lihat di muka, sulit untuk membangun gerakan buruh dengan cara pengklasifikasian kelas. Secara politik, sangat sulit bila dalam membangun gerakan buruh atau tani, misalnya, harus mengikuti metode klasifikasi. Sebaliknya, jika menggunakan metode proses maka kita bisa membuat organisasi yang jauh lebih terbuka. Karena itu, mungkin serikat buruh lama—yang berpatokan pada tenaga kerja tetap—bukan lagi model yang menjanjikan untuk sekarang. Harus mulai berpikir melakukan pengorganisasian di dalam kominitas. Dan seluruh pemisahan yang selama ini kita buat, seperti pekerja, penganggur, dan macam-macam harus diperiksa ulang, agar pengorganisasian politik bisa efektif. Jika terus bertahan pada status yang sifatnya legal, maka serikat buruh hanya akan mengurus orang-orang- yang bekerja di pabrik. Implikasinya, serikat buruh tidak akan pernah menjadi besar, karena buruh sekarang tidak berusia lama di dalam pabrik.

Dengan demikian, seluruh logika pengorganisasian serikat buruh yang bertumpu pada pemahaman lama mengenai kapitalisme sudah saatnya dipikir ulang. Karya asli Marx membuka pintu yang jauh lebih solid mengenai kapitalisme daripada ilmu sosial historis maupun Marxisme-Leninisme-nya PKI. Marxisme-Leninisme-nya PKI sederhana, karena itu pelabelan: tuan tanah baik, tuan tanah jahat dan seterusnya. Tidak disadari bahwa dalam kenyataan ada dinamika, posisi sosial seseorang bisa naik dan turun. Dan ketika membuat organisasi berdasarkan klasifikasi semacam itu seringkali gagal. Hal yang menarik adalah, dalam sejarah politik, gerakan-gerakan yang mencoba mengorganisasi berdasarkan kelas selalu terbalik dengan teorinya. Orang-orang yang mendukung analisis semacam itu justru datang dari mereka yang tidak, bukan dari mereka yang paling tidak diuntungkan. PKI dan BTI, misalnya, petani sedang, bukan buruh tani. Buruh tani malah cenderung mengikuti tuan tanah baik dan tuan tanah jahat yang di atasnya. Jadi, sangat terkait antara upaya untuk memobilisasi politik dengan cara kita memahami masyarakat dengan analisis kelas maupun bukan.

Terakhir sebagai penutup, kembali ke dalam sejarah teori ilmu sosial, sekarang sebetulnya dunia akademik dan dunia aktivis jauh lebih terbuka. Sehingga agak sulit untuk mengatakan satu paradigma dominan dan yang lainnya tidak. Ada pertandingan dan kompetisi didalamnya. Pertanyaannya, apakah analisis kelas sekarang masih relevan? Ada yang menyebutkan sudah tidak relevan, karena kapitalisme sekarang sudah jauh berkembang dari kapitalisme yang menjadi perhatian Marx. Memang betul, tapi baik kapitalisme dulu maupun sekarang berdiri di atas prinsip yang sama: M-C-M. Pada titik itu tidak ada perubahan. Tidak ada perubahan yang terlalu istimewa dari cara kerja modal: semuanya untuk akumulasi. Bahwa ada banyak ragam atau cara akumulasi modal yang lain, itu betul, tetapi prinsip dasar yang menghidupinya tetap sama.

Sejauh mana analisis kelas berguna atau tidak? Kalau saya melihat, analisis kelas masih sangat berguna, sebagai titik awal untuk memahami kapitalisme yang kompleks. Bagaimanapun juga, setuju atau tidak, suka atau tidak, jika kita hendak menganalisis sesuatu harus dimulai dari satu titik. Kita tidak bisa memulai dari chaos—menjelaskan segala hal. Jika ingin membuat analisis yang serius harus ada titik berangkat. Tidak masalah jika di akhir perjalanan melakukan analisis, kita melihat bahwa apa yang kita lihat di awal ternyata tidak sehebat yang kita duga sehingga banyak revisi. Itu tidak masalah, karena dengan cara itulah teori berkembang. Dan di dalam semangat menghidupkan teori, analisis dan politiknya sekaligus, saya kira analisis kelas tidak ada matinya. Dia akan terus berguna di dalam rangka menghidupkan seluruh perdebatan di dalam (1) politik, yakni bagaimana caranya menghasilkan politik yang efektif; dan (2) di dalam teori, yakni bagaimana kita lebih bisa mengorganisisasi kenyataan di dalam sistem pengetahuan kita—tergantung di mana kita berdiri dan apa yang kita kerjakan. Tapi jelas, dia sangat berguna.

Sengaja saya tutup dengan provokasi berharap ada reaksi, sehingga terjadi perdebatan.***

Catatan:

Tulisan ini merupakan transkrip presentasi yang disampaikan Hilmar Farid dalam Diskusi Bulanan Akatiga dengan tema Analisis Kelas dan Ilmu Sosial Indonesia, 05 November 2007.

Sumber: http://rumahkiri.net/index.php?option=com_content&task=view&id=1439&Itemid=389.