DALAM beberapa tahun belakangan, isu pemanasan global (atau perubahan iklim) kian menjadi isu sentral. Puncaknya, KTT Perubahan Iklim di Bali pada Desember 2007 nanti, diharapkan menjadi tonggak baru untuk mengatur agenda mengatasi pemanasan global tersebut.
Asal pemanasan global
Banyak yang menganalisis bahwa pemanasan global adalah penyebab banjir, kekeringan, atau kelaparan yang mengancam planet dan umat manusia saat ini. Ini jelas salah kaprah. Pemanasan global bukanlah fenomena baru, bukan pula fenomena yang terjadi tiba-tiba dari langit. Pemanasan global bukanlah sebab, ia adalah akibat. Akibat dari mode produksi kapitalistik.
Mode produksi kapitalistik inilah yang luput dianalisis banyak tokoh dan akademisi di seluruh dunia—bahkan environmentalis sekalipun, yang hanya memusatkan perhatiannya pada isu lingkungan saja. Sektor agraria (bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya) seperti pertanian, perikanan, pertambangan dan industri secara historis telah dieksploitasi dengan praktek-praktek kapitalistik. Jadi, sejatinya, perusakan lingkungan tak hanya dilakukan akhir-akhir ini di masa neoliberal tapi, sesungguhnya adalah rangkaian sejarah panjang penindasan mulai dari era kolonial.
Namun, adalah logis jika dikatakan kontribusi pemanasan global mulai sangat marak dari era neoliberal (1944 hingga sekarang). Mengutip kata Soekarno, era penjajahan gaya baru inilah yang ditandai mode produksi yang mengerikan: asap-asap pabrik yang mengepul menghitamkan udara, jutaan hektar tanah yang dirangsek untuk perkebunan raksasa, gedung yang mencakar-cakar langit, dan masifnya hutan yang dibabat. Kesemuanya bertujuan tunggal, demi laba sebesar-besarnya. Mode produksi ini tak kenal puas, tak kenal batas untuk tumbuh. Dan kita bisa lihat hasilnya, angka-angka yang hanya dinikmati segelintir perusahaan raksasa, negara maju, dan individu pemilik kapital.
Untuk ilustrasi, kita bisa menilik sedikit di dalam industri pangan. Di sini, neoliberalisme dijalankan dalam beberapa cara: Pertama, dengan perkebunan raksasa yang monokultur-intensif. Demi skala ekonomis, maka ribuan—bahkan jutaan hektar lahan (atau hutan) dipapras untuk menanam komoditi tertentu. Tindakan ini selain menggusur, juga melanggengkan ketidakadilan struktur kepemilikan tanah sebagai alas produksi. Penggunaan pupuk dan pestisida juga berakibat buruk yang membuat petani skala kecil bergantung pada perusahaan agrokimia. Selebihnya, yang terjadi jelas penindasan manusia dan lingkungan, karena semua proses ini berkontribusi besar bagi proses pemanasan planet bumi.
Kedua, perdagangan bebas, yang mematikan pasar dan harga domestik. Ini juga dikuasai hanya oleh pemain-pemain besar macam Cargill, Tyson, ADM, General Mills dan Charoen Phokpand (di Asia). Parahnya lagi, perdagangan bebas dihalalkan oleh rejim perdagangan bebas Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Lengkaplah sudah, proses dumping produk murah dari produsen raksasa ke pasar lokal pun berlangsung mulus. Buah apel dan pir dari Cina, beras Thailand, apel Washington, kedelai AS, daging Australia yang masuk ke negeri kita adalah hasil dari proses ini. Anda bisa bayangkan betapa masifnya transportasi pangan di seluruh dunia. Hal ini jelas berkontribusi besar bagi peningkatan emisi gas rumah kaca yang memicu pemanasan global.
Rejim baru
Mode produksi kapitalistik inilah yang luput dianalisis banyak tokoh dan akademisi di seluruh dunia—bahkan environmentalis sekalipun, yang hanya memusatkan perhatiannya pada isu lingkungan saja. Sektor agraria (bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya) seperti pertanian, perikanan, pertambangan dan industri secara historis telah dieksploitasi dengan praktek-praktek kapitalistik. Jadi, sejatinya, perusakan lingkungan tak hanya dilakukan akhir-akhir ini di masa neoliberal tapi, sesungguhnya adalah rangkaian sejarah panjang penindasan mulai dari era kolonial.
Namun, adalah logis jika dikatakan kontribusi pemanasan global mulai sangat marak dari era neoliberal (1944 hingga sekarang). Mengutip kata Soekarno, era penjajahan gaya baru inilah yang ditandai mode produksi yang mengerikan: asap-asap pabrik yang mengepul menghitamkan udara, jutaan hektar tanah yang dirangsek untuk perkebunan raksasa, gedung yang mencakar-cakar langit, dan masifnya hutan yang dibabat. Kesemuanya bertujuan tunggal, demi laba sebesar-besarnya. Mode produksi ini tak kenal puas, tak kenal batas untuk tumbuh. Dan kita bisa lihat hasilnya, angka-angka yang hanya dinikmati segelintir perusahaan raksasa, negara maju, dan individu pemilik kapital.
Untuk ilustrasi, kita bisa menilik sedikit di dalam industri pangan. Di sini, neoliberalisme dijalankan dalam beberapa cara: Pertama, dengan perkebunan raksasa yang monokultur-intensif. Demi skala ekonomis, maka ribuan—bahkan jutaan hektar lahan (atau hutan) dipapras untuk menanam komoditi tertentu. Tindakan ini selain menggusur, juga melanggengkan ketidakadilan struktur kepemilikan tanah sebagai alas produksi. Penggunaan pupuk dan pestisida juga berakibat buruk yang membuat petani skala kecil bergantung pada perusahaan agrokimia. Selebihnya, yang terjadi jelas penindasan manusia dan lingkungan, karena semua proses ini berkontribusi besar bagi proses pemanasan planet bumi.
Kedua, perdagangan bebas, yang mematikan pasar dan harga domestik. Ini juga dikuasai hanya oleh pemain-pemain besar macam Cargill, Tyson, ADM, General Mills dan Charoen Phokpand (di Asia). Parahnya lagi, perdagangan bebas dihalalkan oleh rejim perdagangan bebas Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Lengkaplah sudah, proses dumping produk murah dari produsen raksasa ke pasar lokal pun berlangsung mulus. Buah apel dan pir dari Cina, beras Thailand, apel Washington, kedelai AS, daging Australia yang masuk ke negeri kita adalah hasil dari proses ini. Anda bisa bayangkan betapa masifnya transportasi pangan di seluruh dunia. Hal ini jelas berkontribusi besar bagi peningkatan emisi gas rumah kaca yang memicu pemanasan global.
Rejim baru
Ada beberapa catatan penting menuju perhelatan besar di Bali nanti. Sudah banyak analisis, tapi solusi mendasar yang menyentuh sekalian rakyat dan lingkungan tidak banyak dimajukan. Malah banyak tawaran baru dibuat untuk melanggengkan kebijakan dan praktek neoliberalisme. Masalah-masalah yang lebih struktural seperti kemiskinan, ketidakadilan sosial, pengangguran malah tidak disinggung.
Tawaran-tawaran Pengurangan Deforestasi Negara Berkembang (REDD), carbon trading, jelas melemahkan posisi rakyat—terutama yang berada di negara miskin dan berkembang. Alih-alih menjadi solusi struktural bagi masalah-masalah rakyat saat ini, tawaran ini malah kembali menjadi titik balik pengerukan keuntungan bagi pemilik kapital. Dengan prinsip 3P (Polluter Pays Principles) kita dibayar untuk melindungi hutan, tapi yang terus menebar asap polusi adalah pabrik, mobil dan perusahaan di negara-negara maju. Beberapa praktek carbon trading malah menggusur masyarakat adat dari teritorinya, seperti kejadian di Indonesia dan Ekuador. Keadaan inilah yang disebutkan sebagai ketidakadilan iklim (Walhi, 2007), yang akan terus langgeng selama kebijakan dan praktek neoliberal berlangsung di muka bumi ini.
Jadi mau ke mana KTT Perubahan Iklim di Bali, dan Bali Mandate yang akan dihasilkannya? Dari berbagai peraturan mulai dari Protokol Kyoto hingga menuju Kopenhagen beberapa tahun ke depan, ada dua hal yang bisa kita garisbawahi. Pertama, lingkungan bisa digunakan sebagai isu baru untuk mewujudkan rejim baru secara multilateral, untuk mengatur segala aspek yang berhubungan dengannya. Cara-cara ini sudah pernah digunakan oleh pengusung neoliberal dalam menguasai rejim perdagangan (WTO), moneter (IMF) hingga pembangunan (Bank Dunia). Aturan-aturan yang disepakati bahkan bisa disesuaikan dengan langgam kerja IMF dan Bank Dunia untuk terus mempraktekkan “ekonomi keruk” untuk melapangkan jalan pemilik kapital di negara miskin dan berkembang (Dani Setiawan, 2007). Bahkan atas nama lingkungan, banyak proyek bisa digolkan untuk menyediakan bahan bakar nabati (agrofuel) di negara miskin dan berkembang. Proyek ini kembali akan menggusur rakyat dari lahannya dan tak pelak mereproduksi lagi struktur agraria yang tak adil.
Kedua, selama ini forum multilateral jelas kurang beresonansi dengan gerakan rakyat. Jika skenario menciptakan rejim lingkungan jadi kenyataan, maka dengan kondisi saat ini masalah-masalah rakyat yang riil tak akan banyak berubah. Adaptasi mengenai pemanasan global dari agen-agen neoliberal malah lebih mengerikan. Coba catat sudah berapa banyak iklan perusahaan raksasa yang anda lihat berkampanye ramah lingkungan? Chevron, CNOOC, Exxon, BASF bahkan Riaupulp berlomba-lomba mengambil hati rakyat. Sementara di tingkat basis yang terjadi tetap ekonomi keruk seperti yang diterangkan di atas.
Sementara di sisi lain, di tingkatan basis ternyata sudah banyak praktek-praktek, yang walaupun dalam skala kecil, ternyata mempromosikan keadilan sosial dan keadilan ekologi. Pertanian berkelanjutan berbasis keluarga sangat ramah lingkungan, bahkan sangat sedikit membuang emisi gas rumah kaca karena menggunakan bahan organik yang diperoleh secara mandiri. Di banyak negara, ini sudah jadi praktek awam: di India dinamakan natural farming, di Indonesia pertanian selaras alam dan berbagai macam varian lainnya.
Di banyak negara Eropa Barat terutama Perancis dan Swiss, distribusi dan perdagangan pangan hasil pertanian berkelanjutan berbasis keluarga juga dilakukan dengan mengutamakan pangan lokal. Hal serupa dilakukan di Kuba, juga di sebagian negara Afrika Barat terutama Mali dan Senegal—tak lupa di banyak daerah di Indonesia. Dengan pangan lokal, cara-cara neoliberal yang memperdagangkan pangan antarbenua maupun antarnegara jadi tak efektif. Hal ini juga berarti efisiensi dalam pengeluaran emisi, lebih ramah lingkungan, serta mengantisipasi pemanasan global.
Masih banyak tawaran lainnya yang riil dari rakyat di seluruh dunia. Tapi, sebenarnya, yang paling mendasar dilakukan adalah perubahan fundamental dari mode produksi. Mau tak mau, memang harus ada satu mekanisme yang bisa membuat roda kapitalisme berhenti, baik dengan paksaan maupun jalan solidaritas. Tapi, dengan perkembangan negosiasi isu lingkungan mendekati langgam rejim IMF, Bank Dunia dan WTO, solusi-solusi rakyat cenderung ditinggalkan. Dan pemanasan global malah bablas jadi mainan baru neoliberal.***
Tawaran-tawaran Pengurangan Deforestasi Negara Berkembang (REDD), carbon trading, jelas melemahkan posisi rakyat—terutama yang berada di negara miskin dan berkembang. Alih-alih menjadi solusi struktural bagi masalah-masalah rakyat saat ini, tawaran ini malah kembali menjadi titik balik pengerukan keuntungan bagi pemilik kapital. Dengan prinsip 3P (Polluter Pays Principles) kita dibayar untuk melindungi hutan, tapi yang terus menebar asap polusi adalah pabrik, mobil dan perusahaan di negara-negara maju. Beberapa praktek carbon trading malah menggusur masyarakat adat dari teritorinya, seperti kejadian di Indonesia dan Ekuador. Keadaan inilah yang disebutkan sebagai ketidakadilan iklim (Walhi, 2007), yang akan terus langgeng selama kebijakan dan praktek neoliberal berlangsung di muka bumi ini.
Jadi mau ke mana KTT Perubahan Iklim di Bali, dan Bali Mandate yang akan dihasilkannya? Dari berbagai peraturan mulai dari Protokol Kyoto hingga menuju Kopenhagen beberapa tahun ke depan, ada dua hal yang bisa kita garisbawahi. Pertama, lingkungan bisa digunakan sebagai isu baru untuk mewujudkan rejim baru secara multilateral, untuk mengatur segala aspek yang berhubungan dengannya. Cara-cara ini sudah pernah digunakan oleh pengusung neoliberal dalam menguasai rejim perdagangan (WTO), moneter (IMF) hingga pembangunan (Bank Dunia). Aturan-aturan yang disepakati bahkan bisa disesuaikan dengan langgam kerja IMF dan Bank Dunia untuk terus mempraktekkan “ekonomi keruk” untuk melapangkan jalan pemilik kapital di negara miskin dan berkembang (Dani Setiawan, 2007). Bahkan atas nama lingkungan, banyak proyek bisa digolkan untuk menyediakan bahan bakar nabati (agrofuel) di negara miskin dan berkembang. Proyek ini kembali akan menggusur rakyat dari lahannya dan tak pelak mereproduksi lagi struktur agraria yang tak adil.
Kedua, selama ini forum multilateral jelas kurang beresonansi dengan gerakan rakyat. Jika skenario menciptakan rejim lingkungan jadi kenyataan, maka dengan kondisi saat ini masalah-masalah rakyat yang riil tak akan banyak berubah. Adaptasi mengenai pemanasan global dari agen-agen neoliberal malah lebih mengerikan. Coba catat sudah berapa banyak iklan perusahaan raksasa yang anda lihat berkampanye ramah lingkungan? Chevron, CNOOC, Exxon, BASF bahkan Riaupulp berlomba-lomba mengambil hati rakyat. Sementara di tingkat basis yang terjadi tetap ekonomi keruk seperti yang diterangkan di atas.
Sementara di sisi lain, di tingkatan basis ternyata sudah banyak praktek-praktek, yang walaupun dalam skala kecil, ternyata mempromosikan keadilan sosial dan keadilan ekologi. Pertanian berkelanjutan berbasis keluarga sangat ramah lingkungan, bahkan sangat sedikit membuang emisi gas rumah kaca karena menggunakan bahan organik yang diperoleh secara mandiri. Di banyak negara, ini sudah jadi praktek awam: di India dinamakan natural farming, di Indonesia pertanian selaras alam dan berbagai macam varian lainnya.
Di banyak negara Eropa Barat terutama Perancis dan Swiss, distribusi dan perdagangan pangan hasil pertanian berkelanjutan berbasis keluarga juga dilakukan dengan mengutamakan pangan lokal. Hal serupa dilakukan di Kuba, juga di sebagian negara Afrika Barat terutama Mali dan Senegal—tak lupa di banyak daerah di Indonesia. Dengan pangan lokal, cara-cara neoliberal yang memperdagangkan pangan antarbenua maupun antarnegara jadi tak efektif. Hal ini juga berarti efisiensi dalam pengeluaran emisi, lebih ramah lingkungan, serta mengantisipasi pemanasan global.
Masih banyak tawaran lainnya yang riil dari rakyat di seluruh dunia. Tapi, sebenarnya, yang paling mendasar dilakukan adalah perubahan fundamental dari mode produksi. Mau tak mau, memang harus ada satu mekanisme yang bisa membuat roda kapitalisme berhenti, baik dengan paksaan maupun jalan solidaritas. Tapi, dengan perkembangan negosiasi isu lingkungan mendekati langgam rejim IMF, Bank Dunia dan WTO, solusi-solusi rakyat cenderung ditinggalkan. Dan pemanasan global malah bablas jadi mainan baru neoliberal.***
Mohammed Ikhwan, Koordinator Pusat Pengkajian dan Penelitian Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI).