Golkar Putih versus Golkar Merah

Benarkah Golkar Kalah di Pilkada Sulsel?
Saiful Haq

HASIL pemungutan suara Pemilihan Kepala Daerah (pilkada) Propinsi Sulawesi Selatan (Sulsel) kali ini (5 Nopember 2007), benar-benar mengejutkan. Betapa tidak, Lingkaran Survey Indonesia mengeluarkan hasil quick count yang menyebutkan, duet yang diusung PDIP, PAN dan PDK, Syahrul Yasin Limpo/Arifin Nu´mang, menang dengan perolehan suara 40,70 persen. Kedua pasangan ini meninggalkan kandidat Amin Syam/Mansyur Ramly, yang dicalonkan oleh koalisi Golkar, PKS, PKB, PKPI, PBSD dan PD, yang hanya memperoleh 30,15 persen suara. Sebelumnya, Amin Syam adalah gubernur Sulsel dan Syahrul Yasin menjadi wakil gubernur incumbent.
Apa yang menarik? Pertama, dalam rentang waktu beberapa tahun, untuk pertama kalinya Golkar kalah di Sulawesi Selatan, justru disaat RI 2 dijabat oleh Jusuf Kalla (baca: putra daerah); kedua, muncul pertanyaan benarkah koalisi PDIP, PDK dan PAN yang menentukan kemenangan Syahrul di Sulawesi Selatan?; ketiga, mengapa di setiap kesempatan Jusuf Kalla, yang nota bene, ketua umum Partai Golkar, selalu menyatakan “netral” dalam pilkada Sulsel.

Artikel ini hendak memeriksa dinamika politik elit di tingkat lokal – dalam hal ini Sulawesi Selatan (Sulsel) – sebagai pertanda, bahwa gerakan sosial sangat lemah pengaruhnya dalam peta politik keseluruhan. Dengan melihat kasus Sulsel ini, terbukti sudah bahwa sistem politik elektoral kian menjauh dari kesadaran gerakan progresif.

Golkar Putih kalah?

Benarkah demikian adanya? Saya sangat meragukannya karena, hampir tidak mungkin Golkar kalah di Sulawesi Selatan. Fakta berikut menunjukkan, dalam pemilu legislatif tahun 2004, Golkar meraih 50 persen lebih suara, sebelumnya di pemilu 1997, Golkar meraih lebih dari 70 persen suara.

Kalau kita telusuri lebih jeli, sebenarnya perebutan kursi Gubernur Sulsel adalah adu jago antara Golkar Putih (kader yang memang dicalonkan oleh Partai Golkar) melawan Golkar Merah (kader Golkar yang meminjam baju PDIP dan PAN).

Syahrul adalah mantan Ketua Umum Kosgoro Sulsel dan Sekretaris DPD I Golkar Sulsel. Sementara, wakilnya Arifin Nu´mang, juga adalah kader terbaik Partai Golkar, dan mantan ketua umum Pemuda Panca Marga. Jadi, kalau dilihat pilkada Sulsel kali ini bukanlah pertarungan antara partai dengan partai tapi, antara person dengan person; antara gubernur dan wakil gubernurnya. Yang mengejutkan, justru karena kekalahan Golkar Putih, yang juga menunjukkan tidak berjalannya mesin suara Golkar Sulsel seperti sebelumnya (terpecah).

Mengapa Golkar Merah?

PDIP sesungguhnya tidak memiliki suara yang signifikan di Sulsel. Di DPRD Sulsel, PDIP hanya mendapat 6 kursi, urutan ke enam setelah (Golkar 33 kursi), PPDK (8 kursi), PAN (8 kursi), PKS (8 kursi), PPP (7 kursi). Sebenarnya, yang signifikan justru dukungan dari PAN yang punya akar cukup kuat di Sulsel.

Lalu, mengapa calon yang diusung PDIP sukses mengkanvaskan calon dari Golkar? Nilai strategisnya justru berada di level politik nasional. Menurut saya, Golkar memilih mengamankan posisi politik Jusuf Kalla (JK) di level politik nasional. Dengan menaikkan gubernur Sulsel dari PDIP dan PAN, otomatis Syahrul memakai tiga baju sekaligus: Golkar, PDIP dan PAN. Konfigurasi ini justru lebih memperkokoh posisi politik JK untuk pemilu 2009, walaupun hal ini tidak sepenuhnya benar dengan asumsi, pemilih di Makassar tidak selalu ideologis. Namun, mari kita periksa.

Mengapa JK Netral?

JK sebenarnya berada dalam pilihan sulit antar mendukung Amin Syam dari Golkar Putih atau Syahrul dari Golkar Merah. Tentu saja pilihan sulit ini tidak secara terbuka dilontarkan. Indikasinya, pada setiap kesempatan, JK menyatakan Netral dalam pilkada Sulsel, sesuatu yang tidak sepantasnya diucapkan oleh seorang Ketua Umum Golkar. Sehingga, tidak heran kalau kita berjalan ke pelosok kabupaten di Sulsel, maka selalu terpampang gambar JK berdampingan dengan dua kandidat yang berseteru ini. Entah siapa yang didukungnya.

Namun kenyataannya, kembali resep politik jitu sudah bergulir. Amin Syam ditinggalkan pendukungnya di detik-detik menjelang pemilihan, mesin suara Golkar macet dan tidak berjalan seperti biasanya. Benarkah JK secara diam-diam mendukung Syahrul? Tidak ada yang tahu tapi, secara logika politik, dengan mendukung Syahrul dari Golkar Merah, JK mendapatkan tiga mesin politik sekaligus untuk 2009: Golkar, PDIP dan PAN.

Keuntungan lain yang dirngkuh JK, adalah dari sis tradisi politik. Selama ini, tradisi kursi gubernur Sulsel, seolah merupakan monopoli tradisi Bugis (selalu dijabat oleh tokoh dari suku Bugis). Dengan kemenangan Syahrul-Arifin, untuk pertama kalinya, gubernur Sulsel diambil alih oleh aliansi Bugis-Makassar. Dengan ini, JK selain sukses merangkul tiga partai itu, ia juga mendulang keuntungan dengan mendapatkan aliansi dua kekuatan kultural besar dalam geopolitik Sulsel, Bugis-Makassar.

Secara politik-organisatoris, bukan sesuatu yang sulit bagi JK, untuk menitahkan seluruh kader Golkar agar memobilisasi suara ke Amin Syam. Dan jika Golkar Sulsel mau, mereka bisa saja menjalankan mesin-mesin politiknya di seluruh basis-basisnya. Tapi, pertarungan Golkar Putih dan Golkar Merah sudah final. Dan semuan orang tahu, Golkar tetaplah yang terkuat di Sulsel.***

Saiful Haq, Mahasiswa Politik Justus Liebig Universitat of Giessen, Jerman.