Coen Husain Pontoh
DALAM beberapa tahun terakhir ini, Amerika Latin telah mengundang perhatian banyak kalangan di seluruh dunia. Kawasan ini tak hanya menjadi objek studi para intelektual, atau sasaran tembak para politisi konservatif dan reaksioner. Tapi, juga menjadi sumber mata air inspirasi bagi kalangan yang dimiskinkan dan dipinggirkan oleh sistem kapitalisme-neoliberal, di berbagai belahan dunia.
Menguatnya kembali politik kiri di kawasan itu, merupakan sebab utama Amerika Latin begitu menarik dan inspiratif. Sebuah sistem politik, yang semenjak runtuhnya tembok Berlin, telah divonis mati oleh para pundit (intelektual) liberal dan propagandis berjubah agama. Sehubungan dengan kebangkitan politik kiri, tentu ada banyak hal yang menarik dibincangkan. Dari sudut strategi perjuangan, misalnya, Claudio Katz, seorang ekonom Argentina, mengatakan, ada tiga jalan strategis yang ditempuh gerakan kiri Amerika Latin dalam perjuangan menumbangkan rejim demokrasi-neoliberal: pertama, melalui strategi memenangkan ruang politik dalam struktur demokrasi-neoliberal yang terlembaga. Jalan ini diinspirasikan oleh pengalaman Partai Buruh di Brazil dan Broad Front (Frente Amplio) di Uruguay, yang memenangkan kekuasan dengan cara “memanjat” kekuasaan dari tingkat lokal, ke level provinsi, dan akhirnya level nasional.
Strategi kedua, adalah tandingan dari yang pertama yakni, menolak berpartisipasi dalam sistem elektoral sembari mengedepankan mobilisasi massa. Menurut kalangan ini, sistem elektoral telah menyebabkan gerakan kiri terkooptasi dan terjebak dalam sistem demokrasi-neoliberal. Mereka mencontohkan, bagaimana Partai Buruh akhirnya menjadi sebuah partai yang korup, yang tidak berbeda dengan partai lainnya di Brazil. Atau bagaimana Broad Front, hanya bersikap pasif ketika pemerintahannya tetap menjalankan resep-resep neoliberal.
Jalan ketiga, merupakan kombinasi di antara kedua jalan tersebut. Kalangan ini tidak menolak partisipasi elektoral tapi, tetap mempertahankan metode tindakan langsung melalui mobilisasi massa. Dengan pendekatan ini, ekspresi kekuasaan rakyat – yang mewujud dalam proses-proses revolusioner berkesesuaian dengan kian matangnya kesadaran sosialis yang bergumul dalam arena konstitusional. Metode ini mengambil tempat di Venezuela.
Pertanyaannya, apa hubungan antara Anggaran Partisipatif dengan tiga strategi perjuangan di atas? Kembali ke Claudio Katz, ketika PT memanjat kekuasaannya, tangga yang digunakannya adalah sukses penerapan model Anggaran Partisipatif (AP). Model ini untuk pertama kalinya, diterapkan di kotamadya Porto Alegre, pada 1989. Sukses Porto Alegre, kemudian ditiru oleh kota-kota lain yang dikuasai oleh PT dan aliansinya. Tak lama setelahnya, PT memanjat ke kekuasaan yang lebih tinggi dengan merebut kekuasaan di propinsi Rio Grande do Sul.
****
Tetapi, darimana muncul gagasan untuk menerapkan model Anggaran Partisipatif? Bagaimana ceritanya sehingga gerakan kiri dan progresif di Brazil, memutuskan untuk bertarung dalam gelanggang demokrasi liberal?
Sejak bergerak bebas di masa transisi demokrasi, gerakan kiri di Brazil dihadapkan pada pertanyaan pokok, bagaimana menghubungkan antara kepeloporan dengan pembangunan basis massa. Pertanyaan ini muncul sebagai hasil refleksi perjuangan panjang berhadapan dengan gagalnya proyek pembangunan yang didorong pasar di satu pihak dan kegagalan proyek sosialisme tersentral di pihak lain. Penyebab lain adalah, gagalnya strategi-strategi lokal seperti strategi gerilya bersenjata atau strategi perlawanan kota berhadapan dengan kediktatoran militer.
Refleksi mendalam ini tercemin pada pertarungan antar partai seperti, misalnya, antara Partido Democratico Trabalhista (Democratic Workers Party,PDT) dan Partido Trabhalhista Brasileiro (Brazilian Labour Party), dan antara gereja radikal, serikat-serikat buruh, kristen kiri, gerakan-gerakan sosial, dan kaum Marxis militan (yang beraliran Trotskyst, Castroist, dan Maoist).
Salah satu dari sumber perdebatan itu, bagaimana menghubungkan antara kepeloporan dan basis massa. Selama itu antara kepeloporan dan basis massa adalah dua hal yang dihadapkan secara hitam putih dan saling menegasikan. Sebagian lainnya menganggap antara kepeloporan dan basis massa sebagai suatu yang niscaya kesatuan geraknya. Membangun kepeloporan sekaligus membangun basis massa karena, kepeloporan bermakna persetujuan mayoritas terhadap ide sebuah kelompok dan mengikuti ide kelompok tersebut dalam tindakannya. Mereka yang berkeras membangun kepeloporan menganggap demokrasi borjuis adalah demokrasi palsu yang terus-menerus mengilusi kesadaran massa. Demokrasi borjuis dianggap mengandung cacat bawaan yakni, tak terpecahkannya kontradiksi antara kebebasan sipil versus ketidakadilan ekonomi, sehingga setiap saat demokrasi borjuis pasti melahirkan ledakan sosial. Dalam bingkai tafsir seperti itu, para penganut kepeloporan berpendapat partai harus berisi kader-kader pelopor yang progresif-revolusioner guna mengantisipasi terjadinya ledakan sosial akibat kontradiksi internal yang dikandung oleh demokrasi borjuis. Tujuannya, mendorong krisis tersebut untuk menghasilkan revolusi dan implisit hal itu hanya mungkin dilakukan oleh sebuah organisasi yang menggunakan prinsip kepeloporan. Sebaliknya, ketika krisis semakin parah dan massa mulai bergerak untuk melepaskan energi perlawanannya, tanpa kepemimpinan politik yang teorganisir gerakan massa tersebut hanya akan melahirkan rusuh sosial sehingga menjadi lahan subur bagi kekuatan-kekuatan reaksioner.
Di pihak lain, kalangan yang mendukung pembangunan basis massa berpendapat, demokrasi adalah hal yang prinsipil dalam gerakan kiri. Tanpa pengakuan terhadap demokrasi, sosialisme hanya akan menjadi jargon di tangan elite partai yang berlindung di balik topeng kepeloporan. Ini artinya, demokrasi mesti dilihat sebagai fakta sosial dan fakta politik yang hadir di tengah-tengah massa sedangkan revolusi harus dimaknai sebagai hasil dari persetujuan mayoritas, bukan proyek segelintir orang. Dan konsekuensinya, gerakan kiri harus membangun basis massa sebagai syarat utama berkecimpung secara aktif dalam proses demokrasi. Tanpa basis massa yang kuat, gerakan kiri akan selalu terpinggirkan dalam proses politik yang demokratis. Karena demokrasi pada akhirnya bukan sekadar masalah kepeloporan tapi, juga masalah jumlah suara: seberapa banyak suara yang bisa diraup. Tapi, kelompok ini tidak berhenti pada demokrasi borjuis yang hanya mementingkan formalitas atau prosedural belaka. Lebih dari itu, kelompok ini berpendapat demokrasi justru harus dikembalikan pada maknanya yang hakiki: kekuasaan rakyat.
Ketegangan pemikiran ini pada akhirnya mengkristal pada pembentukan Partido dos Trabalhadores (Workers Party/PT), pada 1980. Tujuan didirikannya PT adalah untuk mengemansipasi kelas pekerja yang membedakannya dengan model lama Stalinisme dan sosial demokrasi. Dalam bahasa Raul Pont, bekas direktur serikat guru dan salah satu pendiri PT, ideologi yang dianut PT adalah Demokrasi Sosialis. Dalam program politiknya, PT memutuskan untuk terlibat dalam proses demokrasi formal dalam pengertian yang eksplisit. Tetapi, PT juga bukan sekadar mesin politik pemilu yang hanya aktif pada musim kampanye tapi, ikut aktif mempromosikan pembangunan lembaga-lembaga politik rakyat sebagai alternatif terhadap negara. Misalnya, dengan membantu mendirikan federasi serikat buruh nasional (CUT), dan kemudian mencalonkan Inacio “Lula” Da Silva, ketua PT sebagai calon presiden pada 1989.
***
Seiring waktu, dengan merosotnya tingkat kesejahteraan rakyat akibat penerapan kebijakan neoliberal, popularitas PT sebagai kekuatan oposisi utama semakin melambung. Pada pertengahan tahun 1980an, PT telah tampil sebagai salah satu kekuatan oposisi yang paling signifikan terhadap sistem demokrasi formal yang dibimbing oleh neoliberalisme. Pada tahun 1988, PT memenangkan pemilu walikota di Porto Alegre, Medianeira Horizonte, dan Belém, tiga daerah kotamadya yang berpenduduk di atas satu jiwa.
Ketika kekuasaan lokal telah di tangan, tiba saatnya untuk menerjemahkan ideal-ideal politik tersebut dalam program yang konkret. Sesungguhnya, saat itu tidak ada yang tahu secara persis, dari mana memulainya. Yang ada barulah semacam gagasan bahwa PT harus menjadikan partisipasi aktif rakyat sebagai salah satu nilai dasar perjuangannya. Seperti dikatakan Raul Pont,
“We didn’t have much idea what they might be. It was very theoritical, because we had no real experience of anything like that in Brazil. But we did say in our programme that we wanted to govern with the population, with the participation of the people, through popular council.”
Kami sebelumnya tidak memiliki gagasan yang pasti. Itu sebenarnya sangat teoritis, karena kami tidak memiliki pengalaman konkret apapun seperti itu di Brazil. Tetapi, kami katakan, dalam program tersebut kami ingin memerintah bersama rakyat, bersama partisipasi rakyat, melalui dewan rakyat.
Di sini yang berlaku adalah metode uji coba. Patok AP baru mulai dicanangkan ketika Olivio Dutra, seorang pegawai bank yang kharismatik, kandidat yang diusung oleh PT bersama aliansi Front Rakyat, terpilih sebagai walikota Porto Alegre pada 1989. Sesaat setelahnya, ia mengundang warga kota untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan tentang investasi-investasi baru di kotanya. Inisiatif Dutra inilah yang kemudian dikenal dengan nama Participatory Budget atau Orcamento Participativo atau Anggaran Partisipatif (AP).
Demikianlah, partisipasi dalam penyusunan anggaran ini menjadi prioritas pertama pemerintahan Olivio Dutra. Bagi para aktivis PT, “Uang adalah Kekuasaan,” sehingga keterbukaan dalam hal anggaran merupakan ujian terbaik bagi pembagian kekuasaan. Dan slogan yang mereka kumandangkan ketika memulai program AP adalah “tolak korupsi, tolak nepotisme, serta memprioritaskan anggaran bagi kebutuhan rakyat miskin dan kelas pekerja.”***
Kepustakaan:
Claudio Katz, “Socialist Strategies in Latin America,” Monthly Review, Vol. 59, No. 4, September 2007.
Coen Husain Pontoh, “Anggaran Partisipaif: Pengalaman Sukses di Porto Alegre, Brazil,” dalam Coen Husain Pontoh (ed.), “Gerakan Massa Menghadang Imperialisme Global,” Resist Book, 2005.
Ian Bruce (edited and tanslated), “The Porto Alegre Alternative Direct Democracy in Action,” Pluto Press, London, 2004.