Budi Setiyono
DESEMBER 2000, Koichi Kimura dan Mardiyem bertolak ke Tokyo, Jepang. VAWW-NET Jepang (Violence Against Women in War-Net Work), lembaga yang mengundang mereka, lagi menggelar Pengadilan Rakyat Perempuan Internasional (Tribunal Tokyo). Ini sebuah peristiwa penting atas pengalaman yang selama 35 tahun seolah menguap begitu saja. Jepang kalah perang dengan menyisakan luka pada ratusan ribu perempuan di Asia.
Pengadilan ini hendak menuntut pemerintah Jepang sebagai penjahat perang yang melakukan sistem perbudakan seks selama Perang Dunia II. Pengadilan ini dihadiri oleh negara-negara di Asia dan Belanda yang mengalami perbudakan seksual seperti Indonesia, China, Taiwan, Korea Utara, Korea Selatan, Malaysia, Timor Leste, Malaysia, Filipina, dan Belanda.
Keputusan pengadilan diambil di Den Haaq, Belanda, setahun kemudian. Disebutkan, Kaisar Hirohito, para petinggi militer, dan birokrat sipil dianggap bersalah. Selain itu pengadilan menuntut pemerintah Jepang meminta maaf secara individu kepada para korban, memasukkan sejarah Jugun Ianfu Asia ke dalam kurikulum pendidikan sekolah di Jepang, serta memberikan kompensasi berupa dana santunan.
Mardiyem pernah menjadi Jugun Ianfu dan mengalami kekejaman masa Jepang. Sejak 1993, dialah perempuan korban kebijakan Jepang yang berani bersuara. Kimura seorang teolog dan aktivis kemanusiaan asal Jepang. Pernah tinggal selama 14 tahun di Indonesia, mengajar di Sekolah Tinggi Abdiel Salatiga. Dia adalah orang pertama yang menemukan kasus Jugun Ianfu di Indonesia pada 1992. Dia sering menulis artikel mengenai Jugun Ianfu Indonesia di media nasional maupun media di Jepang. Juga hadir di forum-forum internasional, dan mewakili Indonesia.
“Dia ibarat pembuka jalan ke forum internasional,” ujar Eka Hindra.
Eka sudah terlibat dalam kerja advokasi Jugun Ianfu secara independen sejak 1999. Dia juga hadir dalam pertemuan itu sebagai wartawan Kantor Berita 68H Jakarta. Tapi kerjasamanya dengan Kimura baru terwujud dua tahun kemudian.
Saat itu Kimura dan Mardiyem kembali menghadiri pertemuan di Pyongyang, Korea Selatan, yang lebih membahas bagaimana memecahkan masalah Jugun Ianfu. Sepulangnya dari Pyongyang, Kimura dan Eka Hindra mendiskusikan hasil pertemuan itu. Satu masalah di Indonesia, yang juga ditanyakan sejumlah aktivis di Asia, adalah tidak adanya media advokasi. Di luar, sejumlah buku sudah tersedia, bahkan menjadi wacana publik.
“Bagaimana pendapat kamu?” tanya Kimura.
“Okay. Kita jangan buang waktu lagi. Kita tidak tahu berapa tahun Mardiyem bisa mempertahankan memorinya sebagai korban perang.”
Lalu mulailah keduanya melakukan riset dan wawancara dengan Mardiyem. Tapi baru satu tahun berjalan, Kimura memutuskan pulang ke Jepang dan menetap di kota Fukuaka. Pekerjaan ini praktis menempel di pundak Eka. Tanpa dukungan dana, seringkali riset independen ini terbengkalai. Eka harus meninggalkan riset ini sementara, mencari uang dan menabung, lalu kembali menekuni risetnya. Ibarat bawang, selapis demi selapis, Eka menggali memori Mardiyem agar mendapatkan kisah yang utuh.
November 2006, Eka hendak mengakhiri wawancara dengan Mardiyem. Dia sudah lelah. Memori dan psikis Mardiyem juga punya batas.
Persis sepuluh hari sebelum deadline, tiba-tiba keajaiban seolah datang, meski menjadi saat-saat terberat. Banyak informasi penting dari Mardiyem, yang selama wawancara sebelumnya tak pernah keluar, meluncur deras. Semuanya detil.
Tapi malam itu, Mardiyem yang sudah kelihatan lelah memaksa untuk melanjutkan wawancara. Dan ”perselisihan” pun terjadi.
”Apa lagi yang ditanyakan? Saya capek!”
”Besok saja.”
”Nggak, sekarang!”
Eka menangis.
”Kita harus sabar. Kalau Bu Mardiyem gak sabar, perjuangan kita berantakan,” ujar Eka sambil terisak.
Eka juga lelah. Sudah empat tahun lebih dia bergelut dengan riset ini, menghabiskan waktu dan uang pribadinya.
”Biar, saya tak peduli!”
Tapi akhirnya Mardiyem mengalah. Dia juga orangtua yang tahu diri. Keesokan harinya, dia meminta maaf. Eka bisa memahami, ada tekanan emosional yang membuat tekanan darah Mardiyem melonjak. Apalagi masyarakat masih memadang miring Jugun Ianfu. Eka mengantarnya ke Puskesmas. Dan untuk kali pertama, setelah empat tahun lamanya, wawancara berjalan dengan sangat kaku.
”Dia hidup dengan luka perang,” ujar Eka kepada saya.
"AKU diberi nama Momoye dan menempati kamar nomor 11. Sejak itu semua orang memanggilku Momoye. Nama Mardiyem telah hilang di Telawang,” tutur Mardiyem, yang saat itu berusia 13 tahun, dalam buku Momoye, Mereka Memanggilku.
Kamarnya berukuran 3 x 2,5 meter. Di dalamnya sudah tersedia segala perabotan. Ranjang. Dipan. Kelambu. Selimut. Meja dan dua kursi. Ada juga kastok atau gantungan baju. Di sudut kamar terdapat sebuah ruangan kecil yang hanya dibatasi kain. Cairan pembersih kemaluan dalam enam botol sudah tersedia. Firasat buruk hadir di benak Mardiyem, menguatkan kekhawatirannya akan dijadikan “perempuan nakal”.
Semestinya Mardiyem jadi penyanyi. Keinginan inilah yang mendorongnya berangkat ke Borneo, ikut kelompok sandiwara keliling Pantja Soerja. Kekhawatiran pertama muncul sebelum pemberangkatan. Mardiyem harus diperiksa kesehatannya, yang anehnya, termasuk daerah kemaluannya, di klinik dokter Sosrosoedoro –yang belakangan berubah nama menjadi Shogenji Kango dan menjadi walikota Banjarmasin. Sosrosoedoro pula yang dikabarkan mencari tenaga perempuan untuk pelayan rumah tangga, pelayan, koki restoran, dan pemain sandiwara. Tapi begitu sampai Banjarmasin, nasib berubah arah. Mardiyem, bersama 23 perempuan lainnya, harus melayani kebutuhan seks tentara Jepang dan sipil.
Mardiyem tak bisa melupakan perkosaan pertamanya karena begitu menyakitkan. Dia sendiri belum mengalami menstruasi.
”Setelah saya diperkosa oleh laki-laki brewokan, pembantu dokter yang memeriksa kesehatan saya pertama di Telawang, hari pertama di Asrama Telawang, saya dipaksa melayani 6 orang laki-laki padahal waktu itu saya sudah mengalami pendarahan hebat,” ujarnya.
Mardiyem terpenjara. Semuanya serba diatur. Sekalipun ada saat-saat tertentu diperbolehkan keluar asrama, tapi diawasi begitu ketat. Di jalan mereka akan dipandang sinis oleh penduduk sekitar, yang menyebutnya ransum Jepang. Para perempuan nakal di Telawang menganggap mereka sebagai pesaing.
Di asrama setiap saat dia harus siap melayani hasrat seks para tamu. Sistem pembayaran dilakukan seperti membeli karcis bioskop. Ada perbedaan harga bagi kalangan serdadu dan perwira Jepang. Siang hari, untuk pangkat serdadu, harus membayar 2,5 yen, sementara pukul 17.00-24.00 membayar 3,5 yen. Pukul 24.00 sampai pagi untuk pangkat perwira, membayar 12,5 yen.
Meski ada sistem pembayaran, Jugun Ianfu tidak menerima sepeser pun. Mereka cuma menerima karcis dari tamu yang datang. Karcis-karcis itu harus dikumpulkan. Nantinya bisa ditukarkan dengan uang kalau mereka selesai bekerja di asrama. Namun janji itu kosong belaka.
Menolak tamu berarti siksaan. Mardiyem mengalaminya. Dia menolak melayani pengelola Asrama Telawang karena baru mengaborsi paksa kandungannya yang berumur lima bulan. Akibat pukulan dan tendangan bertubi-tubi, dia pingsan hampir enam jam. Kini, dia mengalami cacat fisik dan trauma secara psikologi dan seksual.
Mardiyem beruntung bisa kembali ke Yogyakarta pada 1953, sekalipun dia harus menanggung beban, mendapat cercaan sebagian masyarakat yang memandangnya sebagai ransum Jepang.
SEMENTARA itu di Pulau Buru, tempat buangan orang-orang kiri, sastrawan Pramoedya Ananta Toer dan kawan-kawannya menemukan kenyataan yang mengejutkan: adanya buangan sebelum mereka, para perawan remaja yang kini telah jadi nenek, orang-orang dari Jawa, yang dijanjikan akan disekolahkan oleh Jepang di Tokyo dan Singapura.
Pram menuliskan kisah mereka berdasarkan penuturan orang kedua dengan gayanya yang khas. ”Surat kepada kalian ini juga semacam pernyataan protes, sekalipun kejadiannya telah puluhan tahun lewat,” tulis Pram dalam Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer.
”Aku percaya kalian tidak akan suka menjadi korban bangsa apapun. Juga tidak suka bila anak-anak gadis kalian mengalami nasib malang seperti itu. Artinya, kalian juga tidak akan suka bila ibu-ibu kalian –para perawan remaja pada 1943-1945– menderita semacam itu. Itu sebabnya kukhususkan surat ini pada kalian.”
Pram lebih menceritakan kehidupan mereka sebagai ”orang buangan yang dilupakan”. Terutama kisah Siti F, Bolansar alias Muka Jawa, dan Mulyati yang hidup di tengah-tengah masyarakat Alfuru di pedalaman Pulau Buru. Bahasan mengenai apa yang terjadi di masa Jepang hanya disinggung amat sedikit, kecuali bab-bab awal.
Pram mengajukan daftar sejumlah nama perawan yang menjadi korban perang Jepang. Mereka berasal dari kota besar, madya, atau kecil, atau dari kampung desa-desa di dalam kawasan kota. Tak terdapat data yang menunjukkan berasal dari kampung atau desa yang jauh dari kota. Mereka pergi bukan secara sukarela, meski dengan jumlah sangat terbatas ada juga yang semau sendiri dan di bawah kesaksian umum telah menjadi gundik Jepang.
Begitu Jepang kalah perang, mereka dilepaskan begitu saja. Tak ada pesangon, tanpa fasilitas, dan tanpa terimakasih dari pihak balatentara Dai Nippon. Praktis, mereka hanya mengandalkan naluri hidup masing-masing –sejumlah perempuan terdampar di Pulau Buru.
Menurut Pram, ada sejumlah alasan kenapa Jepang berhasil cuci tangan dari perbuatannya di masa lalu. Pertama, segera setelah Jepang menyerah, Indonesia belum atau tidak mempunyai bahan otentik untuk menggugat. Kedua, Indonesia sedang terlibat dalam perjuangan senjata untuk mempertahankan kemerdekaan. Ketiga, segera setelah pemulihan kedaulatan, Indonesia yang masih muda terlibat dalam pertentangan kepartaian yang berlarut-larut. Keempat, karena keteledoran pihak Indonesia. Tak ada komisi yang menyelidiki soal ini. Dalam perundingan-perundingan tentang pampasan perang antara Indonesia dan Jepang, juga tak disinggung.
Karena tak ada bukti otentik, baik Eka dan Kimura maupun Pram tidak memasukkan latar belakang politik yang membuat pengalaman buruk ini terjadi. Pram hanya menyebut: sulitnya hubungan laut dan udara menyebabkan balatentara Dai Nippon tak lagi bisa mendatangkan wanita penghibur dari Jepang, China, dan Korea. Sebagai gantinya, para gadis Indonesia dikirimkan ke garis terdepan sebagai penghibur.
Janji militer Jepang akan memberi kesempatan belajar ke Tokyo atau Shonanto (Singapura) atau diberi pekerjaan layak sudah Pram dengar pada 1943. Ketika itu dia bekerja sebagai juru ketik di Kantor Berita Domei. Tapi ia hanyalah sasus. Selama memindahkan konsep-konsep berita dari dewan redaksi ke atas sheet stensil, dia merasa tak pernah mengetik berita itu. Rekan-rekannya juga tak pernah mengetiknya. Juga tidak pernah ada beritanya di koran.
Janji itu beredar dari mulut ke mulut, yang ditangani Sendenbu (Jawatan Propaganda) lalu turun ke pejabat-pejabat lokal seperti bupati, camat, lurah, hingga tonarigumi (RT/RW). Para pejabat lokal ini mengumpulkan puluhan perempuan muda. Para pejabat lokal ini harus memberi contoh dengan menyerahkan anaknya demi keselamatan jabatan atau pangkat. Karena hanya sasus, Pram tak menemukan dokumen resmi.
Selama empat tahun melakukan riset, Eka juga kesulitan menemukan dokumen. Bahkan dalam buku-buku sejarah, persoalan Jugun Ianfu juga tidak disinggung. Dan itulah kenapa Eka maupun Pram lebih menghadirkan kesaksian korban lewat metode sejarah lisan (oral history). Tak ada konteks politik yang melatarinya –satu kelemahan yang ditemukan dalam buku Eka maupun Pram.
“Sumber sejarah pendukung sangat sulit ditemukan, baik itu foto, dokumen, atau kesaksian primer masa itu,” ujar Eka.
Tapi Eka beruntung mendapatkan sebuah alat kesehatan zaman Jepang: dua ampul suntikan, perban empat kotak, serta alat pembuka kemaluan yang terbuat dari besi. Yang disebut terakhir dikenal dengan nama cocor bebek. Alat ini terbuat dari besi panjang. Kalau ditekan ujungnya akan mengembang dan bisa membuka kemaluan perempuan lebih lebar. Melalui alat itu, bisa dilihat apakah kemaluan perempuan itu sudah terserang penyakit atau masih sehat.
Eka mendapatkannya dari Sarmudji, eks Heiho, di Ambarawa. Kartono Mohamad, mantan Ketua Ikatan Dokter Indonesia, yang menjadi tempat Eka berkonsultasi, membenarkan penggunaan alat itu. Bukti sejarah ini sangat penting. Musuem Tokyo yang terbilang lengkap pun hanya memiliki dokumen kertas. Saat ini alat kesehatan itu masih di tangan Eka.
“Alat ini bagian dari mekanisme kontrol militer Jepang untuk memeriksa kesehatan Jugun Ianfu. Artinya, Jugun Ianfu ini didesain begitu sistematis,” ujar Eka.
JEPANG datang ke Indonesia pada 1942, setelah mengalahkan Belanda, dengan mengaku sebagai sebagai ”Saudara Tua”. Ini strategi Jepang untuk meraih simpati rakyat Indonesia demi tujuan memenangi Perang Pasifik. Sejumlah pemimpin politik memberikan dukungan, terlebih Jepang menjanjikan kemerdekaan Indonesia. Salah satunya dengan menyediakan perempuan penghibur.
”Kukumpulkan 120 orang di satu daerah yang terpencil dan menempatkan mereka dalam kamp yang dipagar tinggi sekelilingnya. Setiap prajurit diberi kartu dengan ketentuan hanya boleh mengunjungi tempat itu sekali dalam seminggu. Dalam setiap kunjungan kartunya dilobangi,” ujar Soekarno seperti dituturkannya kepada Cindy Adams dalam Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Soekarno beralasan, keadaannya sudah begitu gawat ketika itu, yang dapat membangkitkan bencana hebat.
Sayang sekali, dalam otobiografi Soekarno pun tak ada pembahasan soal Jugun Ianfu. Soekarno mengatakan hanya menyediakan pelacur (seperti juga Romusha), menawarkan ide tersebut tanpa paksaan, dan menghindarkan keisengan tentara Jepang menganggu perempuan ”baik-baik”. Mungkinkah Soekarno tidak tahu bahwa ratusan ribu perawan remaja “baik-baik” harus melayani hasrat seks tentara Jepang?
Tak mudah menjawabnya. Macet. Sekalipun Eka meyakini, Jugun Ianfu menjadi bagian mekanisme kontrol Jepang untuk kepentingan pasukannya dalam memenangi Perang Pasifik. Artinya, butuh penelitian lebih lanjut atas apa yang sebenarnya terjadi di Indonesia dan bagaimana sikap pemimpin politik waktu itu.
”Di Indonesia, Jugun Ianfu tersebar di seluruh Indonesia. Di mana ada barak-barak militer di situ ada Jugun Ianfu, terutama di wilayah Timur,” ujar Eka.
Di Jepang sendiri belakangan bukti-bukti kekejaman Jepang mulai terkuak. Adalah Yoshiaki Yoshimi, sejarawan dari Chuo University, Tokyo, yang membuka tabir yang menutupi kebijakan pemerintahnya di masa lalu. Dia menemukan dokumen yang memperlihatkan bahwa militer Jepang memerintahkan pengadaan rumah-rumah bordil untuk kepentingan tentara.
Ini diawali pada 1931 ketika tentara Jepang menyerbu daratan China. Untuk menguasai daratan China, Jepang membangun pangkalan militer dan mengerahkan sekira 135.000 tentara. Jepang akhirnya menduduki Kota Shanghai dan Nanjing. Tapi bertahun-tahun berperang membuat militer Jepang kehabisan persediaan makanan. Mereka menjarahi rumah-rumah penduduk. Membunuh rakyat sipil dan tentara. Memperkosa perempuan –dengan dampak terburuk bagi militer Jepang: banyak pasukannya menderita penyakit kelamin.
Kabar itu sampai ke Tokyo. Menurut Eka Hindra, kekaisaran Jepang lalu mengirimkan Dr Tatsuo untuk melakukan penyelidikan. Dari situ Tatsuo memberikan rekomendasi agar menyediakan rumah bordil. Sebagai proyek percontohan, militer Jepang membuat kebijakan membangun Ian-jo (rumah bordil) yang berisi perempuan-perempuan ”bersih”. Fasilitas tersebut dibangun di berbagai tempat di Asia yang telah diinvasi Jepang seperti China, Korea Utara, Korea Selatan, Taiwan, Filipina, Malaysia, Indonesia, dan Timor Leste. Akibat kebijakan tersebut 200.000 lebih perempuan di kawasan Asia dikorbankan sebagai budak seks untuk memuaskan kebutuhan seksual.
Ada beberapa alasan pendirian rumah bordil militer. Dengan menyediakan akses mudah ke budak seks, moral dan efektivitas militer tentara Jepang akan meningkat. Ini menyingkirkan kebutuhan memberikan izin istirahat bagi tentara. Dengan mengadakan rumah bordil dan menaruh mereka di bawah pengawasan resmi, pemerintah juga berharap bisa menahan penyebaran penyakit kelamin.
Begitu dokumen itu dipublikasikan pada awal 1992, gemparlah. Pemerintah Jepang langsung melakukan penyelidikan soal isu Jugun Ianfu. Lalu, pada 1993, pemerintah mengeluarkan Pernyataan Kono yang menyebutkan, ”Memohon maaf yang amat dalam dan menyesali kejadian itu”. Pemerintah Jepang mengakui keterlibatan langsung tentara Jepang soal perbudakan seks itu.
Maret lalu, Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe mengumumkan pemerintahnya akan melakukan penyelidikan ulang atas kasus Jugun Ianfu. Pernyataan Abe menimbulkan reaksi dari sejumlah negara. Abe beralasan, dia hanya merespons resolusi yang digagas Michael Honda, anggota Kongres dari Partai Demokrat, di parlemen Amerika Serikat yang menyerukan agar Jepang bertanggung jawab penuh atas adanya Jugun Ianfu pada masa Perang Dunia II.
Shinzo Abe naik menjadi Perdana Menteri Jepang pada September 2006. Ia termasuk salah satu perdana menteri termuda dalam sejarah politik Jepang. Abe telah mendesakkan pemeriksaan kembali sentimen bersalah atas aksi militer dalam Perang Dunia II. Dia bahkan menyerukan perubahan dalam teks buku sejarah mengenai peran Jepang dalam perang yang meluluhlantakkan Eropa dan Asia itu.
”Ada sentimen yang memperlihatkan keengganan soal kesalahan Jepang di masa lalu. Itu merupakan sikap untuk menanamkan budaya percaya diri bagi anak-anak muda Jepang, terutama sejak ambruknya ekonomi Jepang di awal dekade 1990-an,” ungkap Yoshimi seperti dikutip KCM, 2 April 2007.
Di Indonesia, sikap pemerintah tidak pernah jelas. Pemerintah beranggapan bahwa persoalan pampasan perang dengan Jepang sudah selesai. Dan perempuan macam Mardiyem pun harus berjuang sendirian.
”Mardiyem adalah ikon ikon agar nasib Jugun Ianfu tidak dilupakan. Yang hebat, dia melakukan transformasi tanpa bantuan gerakan sosial,” ujar Eka.
MARDIYEM membaca sebuah iklan di harian Bernas, Yogyakarta, yang mencari eks Jugun Ianfu. Pemasang iklannya Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta. Saat itu juga dia mendatangi kantor LBH. Mulailah kisah Mardiyem menjadi konsumsi media massa, yang sayangnya hanya menampilkan sisi permukaannya. Mardiyem pula, atas inisiatif sendiri, mencari teman-teman seangkatannya yang masih hidup yang dulu sama-sama ditempatkan di Asrama Telawang.
”Dia punya ingatan yang kuat. Kawan-kawannya sudah lupa. Dia punya kharisma yang dahsyat, dengan memori yang dahsyat pula; ingat tanggal, nama tempat, dan sebagainya,” ujar Eka.
Langkah advokasi yang dilakukan LBH Yogyakarta berawal dari kedatangan lima pengacara Jepang yang tergabung dalam Komite Neichibenren (Asosiasi Pengacara di Jepang) ke Jakarta. Juru bicaranya, Akira Murayama, menginformasikan masalah kompensasi bagi Jugun Ianfu. Berita ini disambut Menteri Sosial Inten Suweno. Tapi Inten Suweno mengatakan bahwa sebaiknya masalah ini ditangani pihak swasta. Sebab, hubungan pemerintah Indonesia dengan pemerintah Jepang sudah baik. LBH Yogyakarta pun kebanjiran para Jugun Ianfu dan Romusa.
Tapi pemerintah Indonesia sendiri bermuka dua. Pada 25 Maret 1997, Memorandum of Understanding (MoU) ditandatangani di Jakarta antara pemerintah Indonesia dan Asia Women’s Fund (AWF), yang didirikan pemerintah Jepang tahun 1995 untuk menyelesaikan masalah Jugun Ianfu di Asia. Masalah Jugun Ianfu pun dianggap selesai.
AWF memberikan dana kompensasi sebesar 380 juta yen atau sekitar Rp 7,6 milyar kepada pemerintah Indonesia yang akan diangsur selama 10 tahun. Pada 1997, angsuran pertama keluar sebesar 2 juta yen atau sekitar Rp 775 juta yang rencananya dialokasikan untuk pembangunan lima panti jompo bagi Jugun Ianfu di Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Sumatra Utara. Tapi hingga kini, pembangunan panti jompo itu tidak jelas. Para Jugun Ianfu juga tidak pernah menerima dana sepeser pun.
”Dana itu tidak jelas, tidak transparan penggunaannya. Pernah ditanyakan sejumlah LSM tapi jawabannya simpang-siur. Sampai sekarang gak jelas,” ujar Eka.
Mardiyem sendiri sejak awal menolak dana kompensasi itu. Terkecuali pemerintah Jepang mengaku bersalah dan meminta maaf secara langsung kepada para korban, merehabilitasi nama mereka, dan memasukkan Jugun Ianfu ke dalam pelajaran sejarah sekolah-sekolah di Jepang. Sebagian besar para Jugun Ianfu Asia juga menolak dana pemberian AWF, yang dianggap sebagai strategi pemerintah Jepang mengelak dari tanggungjawab.
Mardiyem dan kawan-kawannya sudah berjuang untuk mengembalikan harkat dan martabatnya. Juga lewat buku pengakuannya ini.
“Saya ingin berhenti bercerita. Saya sudah lelah, 14 tahun bercerita, sementara pemerintah tidak punya kemauan politik,” ujar Mardiyem kepada Eka.***
Budi Setiyono, Wartawan, pernah bekerja di Cempaka Minggu Ini dan Suara Merdeka Cybernews di Semarang, redaktur majalah Pantau di Jakarta, dan penulis lepas di sejumlah media.
Tulisan ini sebelumnya dimuat di http://budisetiyono.blogspot.com/2007/05/luka-dari-saudara-tua.html, Monday, May 07, 2007.