Erix Hutasoit
”… dosen-dosen ekonomi di Universitas telah “berdosa” mengajarkan ilmu ekonomi secara keliru atau bahkan mengajarkan “ilmu ekonomi yang keliru.” (Prof.Mubyarto, 2003)
SESAAT setelah membaca artikel Martin Manurung (2007), yang bertajuk ”Bedanya Stiglitz dan Boediono,” saya langsung teringat pada almarhum Prof. Mubyarto. Dalam kuliah umum tahun 2001 di Medan, Prof. Mubyarto, secara terbuka menyatakan kegelisahannya terhadap kualitas sarjana ekonomi di Indonesia.
Pada kesempatan itu, Prof.Mubyarto dengan lugasnya menyoroti lemahnya kemampuan sarjana ekonomi dalam memberikan konsep pembangunan yang pro-rakyat. Kegelisahan itu, kembali dituangkannya dalam artikelnya di tahun 2002, dimana Prof.Mubyarto menyatakan, ”..tidak jarang sarjana-sarjana sosial non-ekonomi lebih cerdas berpikir ekonomi dan mampu mengusulkan rencana-rencana pembangunan yang rasional ketimbang sarjana ekonomi.”
Lebih lanjut Prof.Mubyarto menulis, ”Kesimpulan kita adalah bahwa pengajaran ilmu ekonomi di fakultas-fakultas Ekonomi kita kurang tajam, kurang relevan, atau keliru. Lebih merisaukan lagi, jika kemudian timbul kesan bahwa ilmu ekonomi mengajarkan bagaimana orang mencari uang, atau mengejar untung, dengan tidak mempertimbangkan akibat tindakan seseorang bagi orang lain.”
Bertolak dari kritisisme Mubyarto, saya melihat kelemahan sarjana-sarjana ekonomi ini disebabkan oleh pertama, konsep homosocialis (manusia sosial) yang dirilis Adam Smith (1723-1790) dalam "On the Theory of Moral Sentiments" (1759), yang menggambarkan tentang empati atau kecenderungan cinta kasih manusia kepada masyarakatnya yaitu, propensities such as fellow feeling and the desire to attain approval of his brethren, tidak diajarkan secara utuh atau malah “dibonsai” habis di ruang-ruang kuliah fakultas ekonomi.
Sebaliknya, konsep homoeconomicus (manusia ekonomi) yang dituliskan Smith dalam "The Nature And Causes of The Wealth of Nations" (1776), malah diajarkan secara berlebihan. Keegoisan manusia untuk memenuhi kebutuhannya dianggap sebagai ”kewajaran.” Dan adagium maximum gain minimum sacrifice, dijadikan prinsip suci ekonomi yang pantang dilanggar. Inilah yang membuat isi kepala sarjana ekonomi kita tak ada bedanya dengan isi kepala para spekulan di pasar modal: uang dan lebih banyak lagi uang.
Sudah menjadi rahasia umum kalau spekulan pasar modal, tidak mengenal istilah ideologi dan politik apalagi punya nasionalisme. Logika spekulan ini berangkat dari pemikiran Joseph Schumpeter yang menyebut, ”..sejarah kemajuan ekonomi adalah sejarah perkembangan kreativitas manusia.” Lebih lanjut, Schumpeter mengatakan, perkembangan ekonomi adalah kenaikan output yang disebabkan oleh inovasi (pendapatan baru) yang dilakukan oleh para wiraswasta (pengusaha).
Petuah Schumpeter inilah yang menjadi jalan tol bagi para spekulan untuk meraup keuntungan. Atas nama ”kreativitas,” para spekulan memanfaatkan setiap keadaan demi maximum gain (inovasi). Bahkan, situasi yang krisis sekalipun tetap bisa mengutungkan bagi mereka. Coen Husain Pontoh (2007) dalam "Bermimpi Mengejar Investasi," mencontohkan spekulan yang tinggal di Pulau Macau, misalnya, boleh saja membeli salah satu perusahaan yang bangkrut di Indonesia (karena krisis ekonomi/politik - ed.) untuk kemudian di jual lagi ke spekulan lain di negeri seberang.
Sekalipun aksi spekulan ini menyebabkan kerugian banyak orang, mereka tidak perduli. Yang menjadi panduan mereka adalah lonjakan angka-angka statistik pada monitor komputer. Bukan barisan panjang ibu-ibu yang antri berjam-jam untuk mendapatkan pembagian beras miskin. Atau, jumlah balita (bawah lima tahun) yang meninggal dunia karena kekurangan gizi.
Dosa kedua, menempatkan analisis empiris-analitis (deduktif) sebagai patron dalam analisis ekonomi. Ini membuat fenomena ekonomi mendapatkan pembuktian ilmiah hanya melalui rimbunan statistika dan kerumitan matematika. Logika ini diambil dari anggapan bahwa ekonomi adalah ilmu murni yang ”bebas nilai.” Muasal logika ini tidak terlepas dari kemenangan kelompok positivisme dalam perdebatan metodologi di Jerman, pada abad ke-18. Ketika itu, kaum positivisme mengganggap klaim ilmiah hanya dapat dibuktikan kebenaranya lewat metode ilmu alam (science). Setiap pengetahuan yang tidak berdasarkan metode ilmu alam, konon tidak layak disebut sebagai ilmu.
Satu perdebatan seru terjadi antara Gustav Schmoller dan Carl Menger di tahun 1870an dan 1880an. Perdebatan itu untuk menentukan status dan metodologi ilmu ekonomi. Mereka berdebat dalam soal, apakah ilmu ekonomi harus bekerja menurut metode “eksakta” atau metode “historis,” metode “deduktif” atau “induktif,” dan metode “abstrak” atau “empiris.”
Dengan kata lain, apakah ilmu ekonomi merupakan disiplin yang termasuk dalam katagori pengetahuan nomonetik atau ideografik. Nomonetik adalah pengetahuan yang mencari hukum-hukum umum atau keteraturan. Sedangkan ideografik adalah pengetahuan spesifik yang menyoroti gejala individu dan historis.
Ujung dari perdebatan metode dalam rangka penentuan status epistomologi ilmu ekonomi itu “dimenangkan” kaum positivisme. Ilmu ekonomi lantas dipaksa berdiri sama tinggi dengan ilmu alam, dengan cara menggunakan metode ilmu alam dalam ‘analisisnya.” Dan semenjak itu (1) ilmu ekonomi “dianggap” terpisah dari ilmu-ilmu sosial seperti sosiologi, anthropologi, dan ilmu kritik sosial lainya; dan (2) melalui pemikiran Ragar Frish dan Jan Timbergen yang mengembangkan Ekonometri, ilmu ekonomi kemudian disahkan sebagai ilmu murni dengan mengambil statistika dan matematika sebagai alat analisisnya.
Di Indonesia, penerapan ekonomi sebagai ilmu murni semakin mendapatkan tempat terhormat, kala alumnus university of California at Berkeley, yang berhaluan neoklasik (liberal), menukangi perekonomian Orde Baru (Orba). Dalamnya strateginya, ekonom teknorat yang dikomandani Widjojo Nitisastro, memfokuskan pertumbuhan ekonomi sebagai jalan pembangunan. Disinilah arogansi cateris paribus sebagai sebuah syarat mekanisme pasar dipraktikkan dengan ketat. Dan militer dipercaya sebagai stabilitator untuk memastikan semua syarat-syarat itu berjalan dengan baik.
Rakyat lalu dipaksa menerima program penghapusan subsidi, liberalisasi industri dan pangan serta privatisasi dengan todongan senapan. Atas nama pembangunan, Orba merampas tanah-tanah rakyat untuk diubah menjadi perkebunan atau lokasi industri. Siapapun yang tidak sepaham atau melawan, akan segera berakhir sebagai pecundang di penjara atau liang kubur.
Dampaknya, investasi asing dengan segera mengucur deras ke Indonesia. Diikuti regulasi besar-besaran untuk menjamin tidak terjadinya perubahan pada faktor yang bisa mempengaruhi penawaran dan permintaan (cateris paribus). Alhasil, angka-angka statistik pun segera melonjak drastis, inflasi yang pernah mencapai 600 persen berhasil ditarik hingga di bawah dua digit. Sukses inilah yang membuat Indonesia diganjar Bank Dunia sebagai salah satu ”the Asian Economic Miracle.”
Sukses ini menjalar sampai ke ruang-ruang kuliah fakultas ekonomi. Teori ekonomi neoklasik lengkap dengan metode analitis empiriknya, dengan segera menjadi buku babon ekonomi. Setiap dosen merasa tidak bertaraf ”internasional” kalau tidak merujuk Paul Samuelson, di kelas-kelas ekonomi. Bahkan, dosen ekonomi merasa tidak ”muktahir” kalau analisisnya tidak menyertakan rimbunan statistika. Dari sinilah model penelitian kuantitatif segera menghegomoni fakultas ekonomi.
Dalam kasus ini, penelitian dilakukan dengan mengambil jarak dari objek penelitian (yang diteliti). Pengambilan jarak dimaksudkan agar peneliti tidak ’bias’ dalam memberikan penilaian. Ini muncul dari anggapan, semakin ’bias nilai’ bisa dihindari, semakin objektiflah penelitian itu. Peneliti berkuasa penuh atas jalannya penelitian, dari observasi hingga penarikan kesimpulan. Kenyataannya, tidak ada penelitian yang bebas nilai. Penelitian selalu berpihak pada nilai tertentu. Karena pada praktiknya, peneliti (pelaku penelitian) adalah orang yang punya kepentingan. Baik dari segi teknis maupun ideologis.
Di masa Orba, misalnya, kepentingan ini tercermin pada kehendak ahli pembangunan dan peneliti sosial untuk mengontrol dan memanipulasi informasi, agar dapat memprediksi jalannya transformasi sosial. Melalui kontrol politik yang ketat, masyarakat lalu direkayasa (baik dengan kekerasan) agar target-target yang telah dituangkan dalam cetak biru sebelumnya menjadi kenyataan.
Disinilah kelemahan teori ekonomi neoklasik dengan model empiris-analisisnya (kuantitatifnya) terlihat jelas. Karena, apa yang tertera di atas kertas berdasarkan statistik dan matematika cenderung berbeda bahkan, berlawanan dengan kenyataan (realitasnya). Atau dalam kata lain, pertumbuhan ekonomi yang tinggi sekalipun belum tentu berdampak pada pemerataan kesejahteraan rakyat. Selain itu, keyakinan objektivitas yang bebas nilai telah mengakibatkan dehumanisasi. Karena orang yang ada di balik metode menjadi ’netral,’ lalu menjadi tidak bertanggung jawab terhadap informasi yang diperoleh. Sehingga mereka kadang menggunakan hasil penelitiannya, justru untuk menindas objek yang diteliti.
Karena sifatnya yang deduktif, model penelitian seperti ini hanya bersifat teknokratis, monologal dan tidak memperhatian realitas. Menurut Prof.Mubyarto, kelemahan neoklasik terletak di situ. Yaitu pada keengganannya untuk memasukkan faktor keadilan dan kebudayaan dalam analisisnya. Inilah yang membuat sarjana ekonomi kita menjadi pragmatis dan sesat. Di benak mereka, faktor etis seperti nilai, etika, dan ideologi seolah tidak berperan dalam penentuan kebijakan ekonomi.
Sampai disini pula, dosen–dosen di fakultas ekonomi harusnya menyadari bahwa tidak ada penelitian yang bebas nilai. Selain itu, yang perlu disadari, tindakan penelitian juga merupakan tindakan sosial dan pada tingkat tertentu, merupakan tindakan politik. Lebih jelasnya, sebuah tindakan penelitian cenderung membawa dua dampak politis: mendukung status quo dari sebuah sistem atau sebaliknya, mempertanyakan legitimasinya. Akibatnya, hasil sebuah penelitian sosial dapat dipakai untuk mendukung suatu rezim dan sekaligus menindas masyarakat. Atau, malah digunakan untuk mengevaluasi kebijakan rezim dan berupaya mengubah keadaan struktur sosial-ekonomi-politik yang berlangsung.
Dari titik ini kritik terhadap fakultas ekonomi dan haegomoni teori neoklasik menjadi sah dilancarkan. Setiap sarjana ekonomi atau mereka yang tengah belajar di fakultas ekonomi, harus menyadari kalau ilmu ekonomi yang bebas nilai itu hanya mitos. Atau lebih tepatnya, hanya akal busuk pemuja neoklasik untuk melanggengkan paham liberalisme.
Seperti petuah Rev. Imamanuel G. Singgih, Ph.D ”..ekonomi terlalu penting untuk hanya diurusin ekonom saja,” maka dari sana setiap sarjana ekonomi semakin sadar kalau ekonomi bukan sekadar hukum penawaran dan permintaan semata. Tapi, juga menyangkut hajat hidup orang banyak. Karena itu, adalah sah jika setiap sarjana ekonomi mempunyai keberpihakan (ideologi). Dan dalam konteks ini, keberpihakan itu jelas harus kepada rakyat dan bukan kepada pasar. ***
Erix Hutasoit, Perwakilan Pemuda Asia untuk UEM General Assembly 2008, di Wupertal, Jerman.
Kepustakaan:
Erix Hutasoit, ”Mitos Investasi dalam Paradoks Ekonomi Indonesia,” Tambahan untuk DR.Syahrir, Harian Analisa, 19 Juni 2007.
Coen Husain Pontoh, ”Bermimpi Mengejar Investasi,” http://indoprogress.blogspot.
Coen Husain Pontoh, ” Tim Widjojo,” http://indoprogress.blogspot.com.
Heru Nugroho,”Menumbuhkan ide-ide Kritis,” Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2000.
Martin Manurung, ”Bedanya Stiglitz dan Boediono,” http://indoprogress.blogspot.com
Mubyarto, ”Membangkitkan Ekonomi Kerakyatan Melalui Gerakan Koperasi: Peran Perguruan Tinggi,” Jurnal Ekonomi Kerakyatan Th.I No.6, Agustus 2002.