Saat Aku Pulang
Ara Keylisha
JALAN berbatu dalam sepi yang memuntahkan kantuk, mungkin tak akan ada lagi di desa ini. Desa yang untuk pertama kalinya merayakan tujuh belas agustus dengan gegap gempita, dengan kesadaran baru menjadi ibukota. Ibukota yang masih sepi di kabupaten yang baru. Kampungku, tempat lahirku. Yang tak kutahu akankah melahirkan senyum yang baru.
Aku berada di ibukota yang sumpek dan ramai nun jauh dari sana. Kuputuskan pulang tak lama setelah dering telepon dari kakakku Udin mampir di lantai sembilan belas kantorku di bilangan segitiga emas.
“Don, desa kita sudah berubah jadi kota! Ayo pulang! Kita akan ada upacara besar-besaran di sini.” Tanpa kuminta Udin segera menceritakan segalanya dalam paragraf suara yang tak beraturan. Ia terdengar sangat antusias. Aku tersenyum diam-diam. Tak pernah kudengar ia begitu gembira, bahkan pada saat istrinya melahirkan anaknya yang kelima. Aku tak banyak lagi mendengar cerita Udin di telepon meski kudengar beberapa kata yang tercetus di sana. Pemekaran, wilayah baru, pencanangan kota, perhatian warga, dan kemudian dana.
Lalu aku pulang.
Kuinjakkan kaki lagi di tanah kelahiranku setelah perjalanan empat jam di pesawat dan delapan jam di mobil angkutan. Inilah transportasi paling maju yang bisa membawaku ke kamar kecilku di ujung rumah dengan dinding banyak paku.
“Mana calon istrimu? Kenapa tak kaubawa serta?” tanya Papi. Aku hanya tersenyum dan menjawab tak ada. Mami yang melihat senyum terpaksaku segera menyuruhku duduk dan menyantap makanan yang ada di atas meja.
Rumah ini masih sama seperti saat aku meninggalkannya. Tembok berwarna krim yang di bagian-bagian tertentunya sudah berteman dengan jamur. Lantai tegel berwarna abu-abu gelap dengan kadar dingin yang menyentak. Televisi empat belas inci yang terduduk lesu di tengah ruangan. Dan aroma sunyi yang untungnya tak menerorku lagi.
“Ada acara apa saja nanti Pi?” tanyaku sembari mencomot ikan goreng di meja.
“Papi mana tahu? Nanti saja kaulihat sendiri,” jawaban Papi beriringan dengan kepulan asap rokok dari mulutnya. Sama seperti beberapa tahun yang lalu.
Selesai berbincang dan beramah-tamah dengan keluarga, aku memutuskan pergi ke pantai yang tak jauh dari rumah.
Sambil berjalan kaki dan sesekali berhenti karena bertemu teman-teman masa kecil, akhirnya sampai juga aku di sana.
Pantai ini adalah tempat kegemaranku bermain bersama teman-teman. Tempat yang membesarkanku dengan khayalan. Sekaligus melemparku kembali dalam kenyataan.
Ini adalah tempat yang dulu sering mengantarku ke laut lepas tak jauh dari situ. Hanya berbekal lampu petromaks, sabut kelapa dan jala, aku dan teman-teman berperahu dalam suka cita. Seringnya tanpa diketahui oleh orangtua. Kami memilih pergi diam-diam karena terlalu kerasnya dilarang.
“Di sana bahaya! Tak boleh kau ke sana!”
Larangan yang tak mempan, tentu saja. Beberapa kali sudah kami ke sana. Dan bahaya paling maksimal yang kami temukan adalah terperangkap dalam jalinan hutan bakau. Kami malah tertawa-tawa dan menganggap hutan bakau ini sengaja mengurung kami karena iri kami berpesta makan ikan sendiri. Kami lalu bermain peran sebagai saudagar ikan. Kemudian kepala suku berjuluk Sang Penakluk yang penuh kalimat bijaksana. Pernah kami mencoba menjadi perompak bajak laut, entah kenapa rasanya tak seru.
Jika bulan tak bersinar terang, itu adalah pertanda bahwa pesta ikan akan dimulai sebentar lagi. Aku,dan karibku Tamsi yang tetangga depan rumahku, mengendap-endap keluar rumah dan naik sepeda yang selalu kami taruh di luar. Menggenjotnya kencang untuk sampai ke pantai. Di belakang sepedaku, sudah kusiapkan salah satu bahan penting yang harus kubawa. Di sana, sudah menunggu Opik di dalam perahu dengan lampu petromaksnya.
“Pesta besar kita kali ini, Don! Sudah kaubawa sabut kelapa banyak-banyak?” tanya Opik. Aku mengambil sesuatu dari belakang sadel sepedaku dan menunjukkan padanya sebola sabut kelapa yang diikat dengan tali kulit pisang yang sudah dikeringkan. Dia tersenyum lebar.
Selalu ada yang menenangkan dan sekaligus menggairahkan saat berada di atas perahu ini. Bunyi dayung yang berkecipak mengayun air. Tawa membahana kami yang bisa lepas bersuara. Dan, jika sudah kami rasa cukup, kami akan berhenti dan mulai menangkap ikan dengan menyorongkan lampu petromaks ke permukaan air dan menebar jala di sekeliling perahu.
Ikan-ikan kecil dan besar, mulai dari tude sampai lehoma, kemudian akan menunjukkan dirinya satu persatu. Jika sudah banyak, jala pun kami naikkan. Sambil bersorak-sorai, salah satu dari kami akan mengeluarkan sagu, salah satu yang lain mulai membakar ikan di atas bara sabut kelapa, mencelupkannya ke laut untuk diasinkan, lalu kami pun memakan ikan dengan aroma harum sabut kelapa yang masih meletikkan api-api kecil.
Dalam sekejap, ikan bakar dan sagu telah lenyap di kerongkongan. Sedapnya tak terkira. Dan kalau sudah kekenyangan, kami akan berlomba sendawa sambil tertawa riang. Lalu kami menatapi langit yang gelap dengan bintang kelap-kelip yang cuma satu dua atau tiga. Lalu kami mulai mengeluh. Enak sekali mengeluh saat perut sudah kekenyangan. Isi keluhan akan terdengar seperti debat penting serasa memikirkan hajat hidup orang banyak.
Keluhan kami biasanya seputar perempuan-perempuan yang suka kami cermati di jalan maupun di kelas. Kenapa mereka begitu indah, dan kenapa kami buruk sekali. Hanya Opik yang betah mengeluh dengan subyek perempuan yang itu-itu saja. Kami bosan sekali. Tapi ia tak peduli.
Suatu hari kami sengaja mendayung agak jauh ke tengah laut. Kami bertiga sedang gundah. Tamsi gundah karena baru saja dimarahi ibunya. Opik gundah karena gadis pujaannya dekat dengan lelaki lain. Dan aku gundah karena aku tak suka lagi dengan desa ini. Desa ini terlalu sepi dan yang kugandrungi hanya perahu dan laut yang ada di bawahnya.
Malam itu cuaca tak begitu bagus. Kami tak mendapatkan ikan. Maka, kami makin ke tengah laut untuk mencari apa yang ingin kami dapatkan. Lampu petromaks kusorongkan ke permukaan air. Opik sedang menyiapkan sabut kelapa. Tamsi mendayung terus ke tengah.
Tidak ada tawa dan gurau malam ini.
Tiba-tiba perahu bergoyang cukup keras. Aku jatuh terduduk. Lampu petromaks itu panas menyentuh dadaku. Opik segera menarik lampu dari tanganku dan menaruhnya di dasar perahu. Tamsi menghentikan dayungannya.
Perahu kembali bergoyang lagi. Kali ini Tamsi sampai nyaris jatuh ke laut. Rasa penasaran yang besar membuatku bangkit dan mengintip ada apa di bawah perahu. Hanya dengan senter, aku melihat sirip hiu. Berputar-putar mengitari perahu.
Tamsi ketakutan dan berteriak. Opik menendang kakinya agar diam. Aku yang masih berdiri berusaha keras menahan gemetar jantungku.
Hiu itu tidak besar, tapi tidak pula bisa dibilang kecil. Selama kami melaut, kami hanya menemukan hiu kecil-kecil. Dan kami tak pernah berkeinginan menangkap atau memakannya.
Sekali lagi perahu bergoyang. Dan goyangan kali ini membuatku jatuh ke laut.
Dalam kegelapan, kuputuskan untuk berani berhadapan dan melihat makhluk bersirip khas itu. Dengan cara begitu aku tahu aku tak berada dalam perutnya. Aku tak tahu darimana anggapan ini kudapatkan. Mungkin karena terlalu seringnya berperan sebagai kepala suku. Pada saat itu, hanya itu hal terwaras yang bisa kupikirkan. Mata kami bersirobok pandang. Gemetarku tak terkira. Aku membatin dalam beberapa detik yang membuatku merasa hilang nyawa itu, “Kamu pergilah jauh-jauh. Aku akan pergi juga jauh-jauh dari sini. Mari kita sama-sama pergi.”
Kubatinkan hal itu dengan sungguh-sungguh. Dan aku masih tak bergerak sampai yakin bahwa dia sudah pergi. Saat itu aku merasa pasti, aku sudah mati karena tak kurasakan lagi nafasku di situ.
Dia pergi. Dan aku pun pergi.
Malam itu rupanya semua orang mencari-cari kami. Cuaca dikabarkan sangat buruk dan mereka menemukan sepeda kami teronggok di pinggiran pantai. Ketika pulang keesokan paginya, aku ditemukan begitu pucat dan pasi. Begitu pula Opik dan Tamsi. Baru kali itu kami pulang tanpa dimarahi habis-habisan. Sebagai gantinya adalah tangis dan air mata.
Debur pantai kembali terdengar. Kusapu pandangan sembari menyibak kenangan ke belakang.
Opik dan Tamsi sudah tak ada lagi di desa ini. Kabarnya, Opik menikahi gadis yang dulu ia jadikan bahan pembicaraan yang membosankan kami dan tinggal di propinsi yang sangat jauh dari sini. Tamsi menjadi pejabat pemerintahan daerah. Dan aku, setelah pergi berpuluh tahun dari sini, akhirnya kembali lagi kemari.
Hari yang menggelap mengingatkanku untuk pulang ke rumah.
Keesokan paginya, pagelaran tujuh belasan benar-benar meriah. Kalau meriah adalah salah satu syarat menjadi kota, desa ini mulai menuju kesana. Bupati kota yang baru saja terpilih menebar senyum dan berjalan sambil menjabat tangan ke kiri dan ke kanan. Usai upacara, perlombaan yang seru dan meriah digelar bagi para penduduk. Hadiah-hadiah dipasang untuk makin memeriahkan acara. Aku duduk bersama para tetua dan menikmati pemandangan luar biasa ini dari jauh. Saat pembawa acara lewat mikropon mengabarkan bahwa acara selanjutnya adalah tabur bunga ke pantai, aku segera berdiri dan masuk dalam barisan.
Di pesisir , mereka terlihat diam berdoa dalam angin yang semilir. Debur ombak berjalinan dan menghempas saat menyentuh tapak-tapak kaki yang berdiri di tepi pantai. Mereka semua berdoa, dan setelah sang bupati menebarkan bunga, mereka semua turut mengikutinya.
Aku tak ikut menebar apapun di pantai itu. Hanya menyaksikan saja dengan perasaan sedikit masygul. Dua hari lagi aku akan pergi dari sini. Dan mungkin tak akan kembali.***