Perjanjian EPA: Makin Merdeka atau Terjajah?

Tejo Pramono

DUA hari setelah perayaan kemerdekan 17 Agustus, sang Dwi Warna masih berkibar di banyak tempat. Atmosfir peringatan masih terasa. Di tiap pojok gang dan ujung jalan, banyak orang masih membicarakan pesta rakyat yang baru saja usai.

Di ibukota, Indonesia kedatangan tamu penting. Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe, datang berkunjung. Abe datang untuk menandatangani perjanjian kerja sama ekonomi (economic partnership agreements/ EPA) RI-Jepang. Pertanyaannya, apakah kedatangan Shinzo Abe dan juga EPA, ikut menambah darah segar bagi Indonesia untuk meraih kemerdekaan yang sesungguhnya: rakyat yang makmur dan sejahtera?
Dalam sejarah perjanjian perdagangan dunia, model kesepakatan ala EPA sebenarnya muncul belakangan. Sebelum EPA, telah ada perjanjian perdagangan bebas bilateral ataupun kawasan (bilateral/regional FTA). Kemunculan EPA maupun FTA adalah akibat dari molor atau tertunda-tundanya target penyelesaian perjanjian perdagangan bebas multilateral dalam WTO. Dalam pertemuan tingkat menteri di Hong Kong 2005, memang telah dirancang agar proses panjang negosiasi perdagangan bisa 'dibungkus' untuk ditandatangani.

Tetapi apa lacur, kesepakatan bulat tidak bisa dicapai. Kesepakatan yang masih 'lonjong' atau masih menunggu proses penyelesaian lebih lanjut pun dipaksa menjadi kesepakatan. Maklum, pengalaman kegagalan pertemuan sebelumnya seperti di Seattle, AS, dan Cancun, Meksiko, terus menghantui. Terlebih demonstrasi ribuan petani di bawah payung perjuangan petani dunia La Via Campesina saat itu, benar-benar terasa mendelegitimasi WTO.

Pada Juli 2006, tepat di markas WTO di Jenewa, Swis, mini ministerial meeting (G4) WTO, akhirnya memang gagal mencapai kesepakatan. Pascal Lamy sebagai petinggi nomor satu WTO, menyatakan, pembekuan negosiasi hingga tanpa batas. Hampir satu tahun berlalu, sampai pertemuan kembali G4 di Jerman, negosiasi kembali kembai menemui jalan buntu.

Negara-negara maju, tentunya atas desakan beberapa perusahaan transnasional di belakangnya, menjadikan EPA dan FTA jalan keluar dari kebuntuan negosiasi WTO. Berdasarkan data rekam-jejak, perjanjian EPA dan FTA selalu berlangsung di antara negara maju dengan negara berkembang yang tidak setara situasi ekonominya. Misalnya, proposal EPA antara Uni Eropa dengan negara-negara Afrika dan Karibia. Begitu pula FTA antara Thailand dengan Amerika Serikat (AS), Korsel dengan AS, termasuk usulan FTA antara Uni Eropa dengan ASEAN.

Ketidaksetaraan ini menunjukkan bahwa perdagangan bebas, baik dalam kerangka EPA, FTA, dan WTO, adalah bagian dari proyek dominasi ekonomi. Melalui proyek ini, rezim ketergantungan inti-satelit (nucleus-periphery dependency) terus berlangsung dan makin sempurna.

Dalam kasus hubungan ekonomi Jepang-Indonesia, 'Saudara Tua' itu telah lama menjadi pemberi utang luar negeri terbesar Indonesia, baik secara langsung maupun melalui mekanisme perantara seperti Bank Pembangunan Asia (ADB). Paket-paket utang tersebut, disertai dengan sejumlah kebijakan pembangunan yang mendikte dan menjadikan pembangunan Indonesia bias pada kepentingan perusahaan besar ketimbang rakyat kecil.

Setelah EPA ditandatangani, negosiasi seperti dalam proses utang tak lagi alot. Sejumlah hambatan perdagangan telah disepakati untuk dihapus. Di pihak Indonesia, pemerintah menyepakati untuk menghapus 93 persen dari 11.163 pos tarif yang ada selama ini. Bahkan, 58 persen di antaranya harus dilaksanakan setelah perjanjian diteken. Celakanya, walaupun namanya kerja sama ekonomi (economic partnership), isinya tak lain adalah liberalisasi perdagangan dan investasi.

Banyak pihak menilai EPA Indonesia-Jepang akan membawa banyak manfaat. Pandangan ini didasarkan pada fakta, sejauh ini perdagangan kita surplus sebesar US$10 miliar. Secara agregat, data ini tidak keliru. Tetapi, kita belum menghitung berapa devisa bersih yang diperoleh. Harus diingat, perdagangan kita dengan Jepang didominasi oleh ekspor barang mentah seperti minyak dan gas. Ada perdagangan dari sektor lainnya tapi, tidak mencerminkan kapasitas perekonomian nasional, karena bukan diproduksi oleh ekonomi rakyat, melainkan oleh perusahaan besar. Bahkan, oleh perusahaan asal Jepang sendiri.

Di sektor pertanian kedua negara, dengan ditandatanganinya EPA, muncul persoalan lain yang tak kalah seriusnya. Di Jepang, sejak zaman PM Junichiro Koizumi, sektor pertaniannya lumpuh dikalahkan oleh kebijakan industrialisasi. Walaupun negara sakura itu memiliki teknologi tapi, perdagangan bebas membuat teknologi tidak berdaya. Terlebih bagi pertanian keluarga.

Tidak berdaulat

Dalam pertemuan petani kecil dunia La Via Campesina di Roma, Yoshitaka Mashima sebagai salah satu pemimpin gerakan petani keluarga Nouminren, menyatakan, produksi dalam negeri hanya bisa mencukupi satu kali makan dalam sehari. Dua kali makan lainnya dalam sehari adalah pangan impor.


"Memang negeri kami memproduksi Toyota, Mitshubishi maupun produk elektronik lainnya tetapi, dalam hal pangan kami tidak berdaulat," tegas Mashima.

Puluhan juta petani kecil Indonesia pun bernasib sama petani keluarga di Jepang. Merekalah yang paling dirugikan oleh kesepakatan EPA ini. Pasalnya, devisa ekspor pertanian bukan dinikmati oleh buruh tani, petani kecil dan nelayan kecil tapi, perusahaan agribisnis. Justru, dengan kian meningkatnya ekspor pertanian RI, kehidupan petani makin terancam. Lahan-lahan pertanian mereka, satu per satu jatuh ke tangan perusahaan tersebut.

Bagi jutaan rakyat biasa di kedua negara, cara yang paling mungkin dilakukan adalah bersama-sama mendelegitimasi kesepakatan EPA tersebut.
Perjanjian itu adalah manifestasi dari kebutuhan perusahaan-perusahan agribisnis. EPA bukanlah keinginan rakyat di kedua negara. Itu sebabnya, pemerintah Indonesia maupun Jepang, tidak memiliki legitimasi untuk menandatanganinya.

Memang, kolonialisme dan neo-kolonialisme tidak berbeda. Keduanya bertentangan dengan jiwa proklamasi kemerdekaan Republik ini.***

Tejo Pramono, Staf Pelaksana pada organisasi gerakan petani kecil internasional, La Via Campesina, Jakarta.

Artikel ini, dalam versi yang sedikit berbeda, sebelumnya telah dimuat di harian Bisnis Indonesia, 24 Agustus 2007.