The revolution will not be right back after a message
about a white tornado, white lightning, or white people.
You will not have to worry about a dove in your
bedroom, a tiger in your tank, or the giant in your toilet bowl.
The revolution will not go better with Coke.
The revolution will not fight the germs that may cause bad breath.
The revolution will put you in the driver's seat.
The revolution will not be televised, will not be televised,
will not be televised, will not be televised.
The revolution will be no re-run brothers;
The revolution will be live.
(The Revolution Will Not Be Televised, Gil Scott-Heron)
Penyair, musisi, dan rapper Gil Scott-Heron berada dalam gelombang gerakan Black Power ketika menulis lirik lagu di atas. Saat itu, akses informasi melalui televisi begitu terbatas untuk kelompok-kelompok perlawanan terhadap Pemerintah AS. Scott-Heron seperti menyerukan, "Persetan dengan televisi, Buat Revolusi Jalanan."
Puluhan tahun setelah lagu tersebut pertama kali dinyanyikan, muncul film yang berjudul sama. Ceritanya mengenai bagaimana stasiun-stasiun televisi memanipulasi berita demi mendukung kelompok-kelompok yang sempat menggulingkan pemerintahan Hugo Chavez Frias. Judul tersebut memang terasa pas, apalagi ketika peristiwa aksi massa yang menuntut Chavez dikembalikan ke Istana Presiden Miraflores dan kehadiran kembali Chavez tersebut tidak diberitakan oleh stasiun-stasiun televisi yang mendukung kudeta. Malahan, RCTV (Radio Caracas Television), stasiun televisi swasta terbesar dan tertua di sana, memilih menayangkan film animasi, telenovela dan film-film lama seperti "Pretty Woman".1
Scott-Heron mungkin saat itu tidak menduga bahwa Televisi kemudian menjadi sebuah wilayah perebutan politik yang penting. Di negara-negara berkembang seperti Indonesia, jumlah pemirsa televisi melampaui ratusan kali jumlah pembaca berita tercetak (koran, majalah, internet, dan seterusnya). Televisi bahkan jauh lebih terintegrasi dalam kegiatan sehari-hari masyarakat. Di Venezuela, protes para pendukung RCTV yang cukup besar melalui demonstrasi-demonstrasi kelas menengah (diwarnai oleh mahasiswa) menunjukkan, kesulitan mereka melepaskan diri dari siaran-siaran RCTV dibandingkan pertautan ideologis mereka terhadap kebebasan pers. Di titik inilah, nampaknya tepat slogan yang disampaikan oleh Blanca Eekhout, "Don't watch television, make it!". Eekhout adalah direktur stasiun Vive TV milik pemerintah yang berdiri tahun 2004 dan isi siarannya seputar tema-tema kebudayaan.
Berebut Televisi, Pertarungan Kekuasaan
Tak seperti media cetak dan internet, media televisi dan radio memiliki sebuah perbedaan khusus. Keduanya dibatasi oleh pembagian (alokasi) frekuensi. Kemenangan dalam pertarungan memperebutkan kendali media televisi dan radio menjadi mirip dengan perebutan wilayah, dengan pihak yang kalah kehilangan atau berkurang ruang kekuasaannya. Dan hal ini sudah berlangsung cukup lama untuk kelompok-kelompok yang termarjinalkan. Di media cetak dan internet, mereka lebih mudah membangun corong baru. Koran dibredel, bisa dibangun koran bawah tanah atau berpropaganda di internet.
Namun, pada pertarungan memperebutkan frekuensi penayangan televisi dan radio, kelompok-kelompok dari kelas-kelas tertindas harus menggunakan kekuatan fisik mereka, bahkan kadang dengan ekstrem mengandalkan pertunjukkan kekerasan fisik untuk mendapatkan porsi yang cukup agar suara mereka terdengar. Kita tentunya masih ingat, peristiwa demi peristiwa penggunaan kekerasan oleh aksi massa dalam melawan blokade aparatus rejim Soeharto, yang membuat pimpinan-pimpinan media massa tak mampu lagi melakukan self-censorship. Akibatnya, imaji kedigdayaan militer dan Soeharto runtuh dalam efek domino yang berakhir dengan Soeharto dipaksa mundur oleh orang-orang yang dua bulan sebelumnya mengelu-elukannya dan memilihnya kembali pada Sidang Umum MPR Maret 1998. Ada pula aksi-aksi massa yang berujung kepada pemaksaan penyiaran di stasiun-stasiun RRI di berbagai ibukota provinsi.
Semenjak alokasi frekuensi ditentukan oleh sebuah badan negara, tak dapat dilupakan bahwa pertarungan tersebut berada dalam kerangka struktur legal kenegaraan. Dalam sebuah negeri yang orientasi kekuasaannya membela kepemilikkan pribadi atas aset-aset terbatas yang menguasai hajat hidup orang banyak, dapat dipastikan bahwa suara kelas-kelas tertindas tidak akan memiliki kesempatan untuk didengar bahkan oleh kelas-kelas itu sendiri.
Tetapi Venezuela adalah negeri yang berbeda. Meskipun dibatasi oleh penentangan-penentangan kelas-kelas penguasa modal, negara Venezuela memiliki komitmen untuk memperjuangkan kepentingan kelas-kelas yang ditindas oleh rejim sebelum Chavez: kaum tani, kaum buruh dan miskin kota yang sebagian besar adalah berasal dari ras non kulit putih. "Merelakan" satu stasiun televisi swasta yang dikenal dengan sensasionalisme, gaya hidup telenovela, dan menyuarakan rasisme tersembunyi tampaknya lebih cocok dipandang sebagai langkah menyeimbangkan pertarungan politik (antar kelas) on air dibandingkan sebagai upaya membungkam kelompok-kelompok oposisi. Lagipula, RCTV masih bebas bersiaran di jaringan TV kabel, yang juga merupakan media pilihan keluarga-keluarga kelas menengah di berbagai negeri dunia ketiga.
Kebebasan (Meng-)Informasi
Mereka yang memprotes "pembredelan" RCTV, seperti Dr Rainer Adam dan blog www.kedai-kebebasan.org, menutupi sebuah fakta bahwa kebebasan informasi juga berarti kebebasan berekspresi. Artinya setiap orang, selain bebas memperoleh informasi, juga berhak memberikan informasi. Jika semua kanal siaran televisi dikuasai oleh korporasi-korporasi besar dan stasiun-stasiun televisi negara hanya menyuarakan kepentingan rejim yang berkuasa, di manakah kesempatan untuk rakyat biasa, yang kini mulai menyerap sedikit demi sedikit teknologi penyiaran karena produksi massal? Harga sebuah kamera video digital tidaklah semahal sebuah kamera televisi pada dua puluh tahun yang lalu (tentunya dihitung dengan paritas daya beli, PPP).
Dalam konteks negara maju, mungkin persoalan ini tidak terlalu masalah dengan adanya konsep Web 2.0 di mana setiap orang bisa mengekspresikan dirinya di dalam website, blog, youtube, dan seterusnya. Namun dalam konteks negara berkembang, yang sebagian besar rakyatnya belum memiliki jalur internet untuk berekspresi, kanal-kanal publik televisi dan radio adalah jawabannya. Dan kehendak ini begitu besar, dengan derasnya alienasi dalam lingkungan kerja oleh kapitalisme, sehingga menjadi satu pasar tersendiri: menjamurnya reality show, acara yang sangat memanipulasi keinginan orang atas popularitas. Apakah para "pembela kebebasan informasi" tersebut lebih memilih acara-acara reality show tersebut daripada beberapa kanal publik yang membuka kesempatan untuk produser-produser acara independen dan merakyat? Kebebasan meng-informasi untuk pengusaha rasis-seksis yes!, untuk film-film buatan rakyat jelata no!, itukah slogan sesungguhnya para pembela kebebasan informasi?
Merebut Televisi
Pertarungan kelas dalam memperebutkan kanal siaran publik di Venezuela membawa kita ke sebuah pelajaran yang lain. Gerakan Kiri Indonesia seperti selalu bergerak di pinggiran pertarungan. Slogan-slogan revolusioner dicoretkan di tembok-tembok di pinggir-pinggir jalan protokol yang setiap saat bisa ditutupi cat oleh rejim ataupun pemilik rumah yang sebal. Selebaran-selebaran yang berfungsi hanya sehari, dan koran-koran organisasi yang menjangkau hanya 5000 orang saja. Ketika ingin berbicara dengan massa rakyat yang jumlahnya ratusan juta, perlu bersusah payah mengumpulkan puluhan ribu orang untuk mendapatkan liputan sekian menit di televisi nasional, syukur-syukur bisa diundang dalam talkshow televisi atau radio. Efek komunikasinya, raib dalam satu dua hari - kecuali memang suasana politiknya sudah benar-benar matang.
Sebelum 1998, pemutar DVD dan VCD belum menjamur seperti sekarang, kamera handycam masih begitu merepotkan dan mahal untuk menggandakan hasilnya, dan pertukaran informasi tertulis baik elektronik maupun tercetak masih dibatasi oleh sensor rejim. Namun sekarang? Sembilan tahun yang penuh percepatan di media.
"Don't watch television, make it!"
Kalimat ini betul-betul luar biasa. Anda bisa bayangkan kalau kelompok-kelompok tani bercerita mengenai kemauan mereka di televisi menurut versi mereka sendiri? Atau daripada menonton sinetron yang gambarnya cuma mimpi-mimpi menjadi orang kaya, orang menonton cerita-cerita rakyat dan revolusi di belahan dunia lain? Atau film dokumenter tentang sejarah perlawanan rakyat? Atau juga parodi para politisi dari berbagai wilayah Indonesia?2
Namun langkah menuju membuat televisi mungkin masih agak jauh. Gerakan kiri harus mempersiapkan pengambilalihan televisi dengan memikirkan dan membangun media alternatif seperti podcast, film komunitas yang disebarkan dalam bentuk VCD atau DVD, siaran-siaran radio melalui internet, dan seterusnya.
The Revolution, brother Gil, will not only be televised.
Catatan kaki:
1 Bart JONES, "Hugo Chavez versus RCTV", website Los Angeles Times
2 Pemerintah di Eropa pada abad 19 sangat takut dengan pertunjukkan boneka semacam guignol perancis, karena membuat orang mentertawakan kerajaan dan menggulingkannya.
Technorati Tags: class-struggle, democratic-transition, use-of-media