Mohammed Ikhwan
ORGANISASI Perdagangan Dunia (WTO), untuk kesekian kalinya, kembali gagal mencapai kesepakatan pada pertemuan G4 di Postdam, Jerman (Juni 2007). Dan seperti pada kegagalan sebelumnya, penyebabnya lagi-lagi masalah pertanian.
Dari catatan saya, setidaknya ada empat kali momen krusial buntunya negosiasi WTO yang berhubungan dengan pertanian atau AoA (Agreement on Agriculture). Hal ini menggambarkan ada masalah besar di sektor ini, yang menurut saya, merupakan lanjutan pertarungan antara negara maju dan negara berkembang. Dan masalah klasik yang mendasarinya adalah problem mode produksi dari pilar-pilar utama perundingan yang berhubungan dengan (1) akses pasar; (2) subsidi domestik; dan (3) subsidi ekspor.
Kegagalan pertama WTO dalam putaran Doha dan berhubungan langsung dengan pertanian adalah pada bulan Maret 2003. Negara-negara anggota WTO gagal menepati batas waktu dalam menentukan formula untuk memotong tarif komoditas pertanian, subsidi domestik dan subsidi ekspor.
Kedua, pada Konferensi Tingkat Menteri (KTM) WTO kelima di Cancun, Mexico pada September 2003. Saat itu muncul kekuatan baru, yaitu negara-negara berkembang dan kekuatan baru ekonomi yang tergabung dalam G20. Dimotori oleh Brazil dan India, mereka menghajar usulan pertanian Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa (UE). Disinilah permulaan problem yang sering diidentifikasi sebagai "pertarungan antara negara maju dan negara berkembang." Negara maju tetap ingin mempertahankan subsidi pertaniannya, sementara negara berkembang ingin subsidi tersebut dipotong karena jumlahnya sangat luar biasa besar. Subsidi inilah (baik domestik maupun ekspor) yang dianggap negara berkembang mendistorsi pasar, dan juga berfungsi sebagai proteksi ketat pertanian negara-negara maju. Sebaliknya, negara berkembang diwakili G20, mulai menginginkan ekspansi pasar dan meminta negara maju untuk membuka pasar bagi produk pertanian mereka.
Ketiga, pada bulan Juli 2006 kesenjangan dengan masalah serupa makin lebar. Meneruskan kesepakatan minimalistik yang dicapai pada KTM WTO keenam di Hong Kong, kondisi negosiasi cenderung jalan di tempat. Negara-negara anggota WTO tidak bisa menentukan modalitas sebagai dasar bagi pemotongan subsidi AS dan UE, apalagi karena mereka keukeuh pada posisi awalnya. Pascal Lamy, sebagai direktur jenderal WTO, selanjutnya secara resmi menghentikan sementara putaran Doha. Sementara, gerakan petani La Via Campesina dan organisasi rakyat lain menyatakan, mandegnya negosiasi WTO ini sebagai kondisi “mati suri.”
Kegagalan keempat dan terakhir terjadi di pertemuan G4 (AS, UE, Brazil dan India) beberapa hari yang lalu di Postdam. Namun di Postdam ada hal yang menarik terjadi, yang akhirnya menghasilkan kesatuan pandangan negara maju yang diwakili AS dan UE. Jika sebelumnya keduanya kerap berkelahi seputar masalah subsidi dan tarif komoditas pertanian untuk melindungi negaranya, pada perkembangan terakhir UE setuju atas usulan subsidi pertanian AS dengan batas (cap) 17 milyar dollar AS. Gayung bersambut, AS pun oke-oke saja dengan usulan pemotongan tarif bea masuk pertanian UE yang dipatok 50 persen.
Bersatunya poros AS-UE dengan melupakan dosa mereka di negosiasi-negosiasi sebelumnya, akan semakin menjepit negara berkembang. Tak bisa dilupakan pula nasib kelompok negara-negara lain yang lebih kecil seperti G33 dan G90. Negara-negara yang kondisinya relatif lebih miskin ini terjepit dalam situasi sulit, seperti pelanduk yang mati di tengah pertarungan gajah.
Jika menilik mode produksi pertanian negara-negara maju dan berkembang, maka masa depan negosiasi WTO diramalkan akan suram. Yang dilakukan negara maju adalah menyubsidi dan memproteksi produksi dalam negeri, lalu melempar produk sebanyak-banyaknya ke negara miskin dan berkembang. Mode produksi ini pada akhirnya menguntungkan perusahaan agribisnis multinasional yang mayoritas berasal dari negara maju, yang menancapkan kuku ekspansi ekonomi di negara anggota WTO yang lain.
Sementara, Brazil dan India yang mewakili raksasa pertanian baru menginginkan pasar di negara maju untuk produk pertanian mereka. Negara macam Indonesia dan Filipina lain lagi, sejak 2005 mengusulkan produk khusus (SP) untuk melindungi sektor pertanian domestik.
Namun, substansi masalah sebenarnya ada di subsidi AS dan UE. Jika mode produksi macam ini tetap dipertahankan, tentunya akan membuat semakin besarnya resistensi dari negara miskin dan berkembang. Dan faktanya memang tidak ada yang baru dari tawaran negara maju, karena dominasi mereka terus dikukuhkan. Munculnya aliansi baru AS-UE akan semakin memperkuat mode produksi pertanian kapitalistik-neoliberal yang diusung negara maju. Posisi negara berkembang yang agak kuat hanya G20, sementara G33 apalagi G90 masih lemah.
Di masa depan, batu sandungan negosiasi WTO juga sepertinya akan terus berkutat di sektor pertanian. Dan kesimpulan akhirnya jelas, masa depan perdagangan yang adil — terutama sektor pertanian — tidak dalam forum WTO.***
Mohammed Ikhwan adalah Koordinator Pusat Pengkajian dan Penelitian-Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI)