"Seribu pahlawan bisa lahir dan mati dalam satu hari di negeri ini. Tetapi tak seorang pun ada yang peduli di tanah air kita ini….Dulu dalam kegelapan, seekor kunang-kunang pun bisa menjadi bintang. Sekarang bintang-bintang yang lahir malah dipadamkan."
"Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian."
(Pramoedya Ananta Toer)
Membicarakan sosok yang satu ini, memang takkan ada habisnya. Seorang yang tanpa basa-basi, meledak-ledak, tak merunduk, serupa api membakar, berperadu seperti alu dan beras. Dan kemarahan itu terutama sekali ditujukan kepada kolonialisme, feodalisme, kelaliman penguasa, dan terutama kepada sang korup. Ya bung Pramoedya Ananta Toer. Sosok yang tak ada habisnya, sosok yang akan selalu dikenang di dalam dunia sastra republik ini, dunia sastra untuk sebuah perlawanan terhadap kesewenang-wenangan.
Apabila kita coba telaah konsepsi-konsepsi pemikiran dari bung Pram, akan tersirat berbagai harapan bagi kaum intelektual Indonesia, agar bisa menjadi kaum yang mengabdikan keilmuannya untuk kemanusiaan, keadilan serta nilai-nilai kebenaran yang kian hari, kian surut di republik ini. Dimana si bung mengatakan “Dan bagi saya, keindahan itu terletak pada kemanusiaan, yaitu perjuangan untuk kemanusiaan, pembebasan terhadap penindasan. Jadi keindahan itu terletak pada kemurnian kemanusiaan, bukan dalam mengutak-atik bahasa.”
Karena itu, tugas kaum intelektual adalah menegakkan kesejahteraan sosial dan meralisasikan nilai-nilai kemanusiaan. Sebab, karena tetes keringat dan usaha rakyatlah maka kelompok kelas menengah di Indonesia, bisa menikmati fasilitas pendidikan, yang kemudian menjadikan mereka sebagai kelompok masyarakat yang terpandang dan memiliki kelebihan dibanding masyarakat awam.
Lalu dimanakah tanggung jawab sosial kelas menengah ini? Mari dengar ungkapan bung Pram,
“Aku menulis, bicara, berbuat, tidak pernah khusus untuk diri sendiri, langsung atau tidak, tak ada seorang seniman berseni untuk diri sendiri, masturbasi. Ada faal social di dalamnya, makin dikembangkan faal social itu semakin baik. Tak ada orang makan untuk makan.”
Tanggung jawab sosial inilah yang harus diperhatikan kaum intelektual di Indonesia. Terlebih kelompok kelas menengah ini, memiliki kecenderungan untuk berdiri di dua sisi: mereka bisa terus berada di garis untuk mengabdikan kemampuan intelektualnya bagi nilai-nilai kemanusiaan atau mereka akan mengabdikan kemampuan intelektual mereka untuk kepentingan individu mereka.
Di satu pihak, dengan munculnya efek industrialisasi, sebagian besar kaum intelektual terserap ke dalamnya, menjadi tenaga-tenaga ahli untuk menjalankan perputaran roda-roda industrialisasi. Di dalam dunia itu, mereka dituntut untuk memiliki profesionalisme dan loyalitas yang tinggi kepada sang majikan, tempat mereka mengabdikan ilmunya tersebut. Akibatnya, tidak jarang nilai-nilai kemanusiaannya terkebiri, cenderung menggiring manusia, khususnya kaum-kaum intelektual teralienasi dari nilai-nilai sosial. Untuk soal ini, bung Pram mengungkapkan, “Bangsa Indonesia adalah”een natie van koelies, en een koeli onder de naties”(bangsa yang terdiri dari kuli, kuli di antara bangsa-bangsa). Kuli ini sebenarnya terbagai atas dua golongan: yang meneteskan keringat dan yang tidak. Yang tidak berkering dinamai priyayi. Apakah para ahli dan sarjana itu datang ke desa sebagai yang tidak berkeringat menengok yang berkeringat??...Bukankah sebelum pertanian dapat ditingkatkan jadi industri, sebelum dihapusnya pembatasan tanah sampai 2-3 ha, tani masih tetap golongan yang berkeringat dan berkedudukan setinggi lutut berbanding yang tidak berkeringat??..selama keadaan tani masih tetap sebagai penyembah tanah, kedudukan sosialnya tetap seperti jaman batu, dan kolonial.”
Ketika para intelektual telah melupakan kewajiban sosialnya, maka diibaratkan republik ini akan kehilangan rohnya, kehilangan induk ataupun kehilangan sutradara dari sebuah lakon perubahan sosial. Sang sutradara telah diambilalih oleh sebuah kekuatan besar yang telah membelokkan kewajiban sosial dari kaum intelektual Indonesia. Dari yang harusnya bertanggung jawab sepenuhnya kepada kemanusiaan, keadilan, dan kebenaran menjadi bertanggung jawab kepada mesin-mesin industrialisasi. Maka, bung Pram pun mengutarakan, dalam sejarah umat manusia selalu bisa ditemukan bangsa-bangsa besar yang jatuh menukik jadi bangsa kelas kambing, bangsa yang mengadabkan umat manusia jatuh jadi bangsa penggembala, bahkan bangsa Indonesia yang pernah merajai lautan bisa jadi bangsa kuli selama tigaratus limapuluh tahun atau bahkan seterusnya, bangsa Indian yang merajai perairan tanpa tepi, bisa tersorong masuk dalam reservat para pendatang dan punah.
Sekarang, tinggal bagaimana kaum intelektual Indonesia memilih.***
Sapto Raharjanto, mahasiswa Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra Universitas Jember, Jawa Timur dan Ketua Biro Penerbitan Centre of Local Economic and Politic Studies (CoLEPS), Jember
Dalam versi yang sedikit berbeda, artikel ini sebelumnya dimuat di situs blog www.rakyatpekerja.blogspot.com, Tuesday, June 5, 2007.