Catatan tambahan untuk Martin Manurung
Coen Husain Pontoh
Artikel Martin Manurung (Investasi Asing, Antara Mitos dan Realitas), sangat menarik untuk didiskusikan lebih lanjut. Melalui artikel itu, Martin sukses merobek sepuhan emas yang dilekatkan pada investasi asing. Kepercayaan bahwa investasi asing akan membawa manfaat, ternyata lebih banyak mitosnya.
Saya ingin menyumbang beberapa catatan terhadap artikel itu. Sebenarnya, secara teoritis, sejak dekade 1970an, para teoritisi aliran ketergantungan (dependencia theory), telah meyimpulkan bahwa hubungan antara negara kapitalis pinggiran dengan negara kapitalis maju hanya akan mendatangkan kerugian terhadap pihak pertama. Bentuk hubungan itu bisa dalam wujud perdagangan maupun investasi asing. Itu sebabnya Samir Amin, salah satu pentolan aliran itu, hingga kini terus mengampanyekan, jika negara berkembang ingin keluar dari lingkaran setan kemiskinan dan keterbelakangan, segera memutus hubungannya dengan negara kapitalis maju. Termasuk yang harus diputuskan itu adalah investasi asing karena, investasi asing merupakan salah satu pemicu pengintegrasian ekonomi negara kapitalis terbelakang ke dalam ekonomi negara kapitalis maju.
Tetapi, mari tinggalkan sejenak ujar-ujar teoritis. Lihatlah fakta, ke arah mana modal internasional bergerak dan bagaimana komposisi modal saat ini. Dari fakta itu, bisa dilacak mengapa saya menyebut rejim SBY-JK ini tengah bermimpi mengejar investasi asing. Sebelumnya, perlu dibedakan dua jenis investasi asing: investasi asing langsung/foreign direct investment (FDI) dan investasi portfolio. Investasi asing langsung bermakna, para investor datang ke sebuah negeri seperti Indonesia, dengan membawa uang kontan dalam tasnya, bikin perjanjian dengan pemerintah, lalu bangun pabrik. Itu sebabnya, investor jenis ini butuh kepastian usaha, peduli pada iklim politik-ekonomi-keamanan sebuah negara dimana investasinya mau ditanamkan. Sementara investasi portfolio, adalah investasi yang ditanamkan di pasar modal atau bursa saham. Investasi jenis ini bergerak dalam hitungan detik. Perpindahan modal dari satu negara ke negara lain terjadi dalam satu kedipan mata, dan para pelaku investasi ini lebih tepat disebut spekulan ketimbang investor. Itu pula sebabnya, investor jenis ini tidak terlalu peduli dengan persoalan kepastian usaha dan tetek-bengek urusan politik. Bahkan, kondisi yang krisis bisa mendatangkan keuntungan berlipat bagi para spekulan. Spekulan yang tinggal di Pulau Macau, misalnya, boleh saja membeli salah satu perusahaan yang bangkrut di Indonesia, untuk kemudian dijual lagi ke spekulan lain di negeri seberang lainnya. Segala upaya untuk merangkul mereka, ibarat jala menjaring angin. Celakanya, secara statistik, besaran uang yang berputar di lingkaran investasi portfolio kini lebih dominan ketimbang investasi asing langsung.
Saya menduga, Undang-undang PMA yang barusan disahkan pemerintah itu, dimaksudkan untuk merayu para investor jenis pertama. Kalau ini yang menjadi targetnya, sungguh suatu pekerjaan yang tidak mudah. Savas Michael Matsas, dalam artikelnya yang berjudul Globalization and Russia Today (2002), menunjukkan, 95 persen dari total Foreign Direct Investment (FDI/investasi asing langsung) mengambil tempat di negara-negara maju. Sisanya, sebesar 5 persen mengalir ke bagian dunia lainnya. Dari total 5 persen itu, sebesar 72 persennya mengalir dari satu negara industri maju ke negara industri maju lainnya. Sementara yang mengalir dari Utara ke Selatan hanya sebesar 2 persen. Dari besaran 2 persen itu, 75 persen FDI, khususnya yang diinvestasikan ke Afrika, Asia dan Latin Amerika, umumnya digunakan untuk membeli pabrik dan peralatan, baik dalam bentuk akuisisi dan merger perusahaan yang dimiliki oleh swasta atau membeli perusahaan publik yang diprivatisasi. Hanya 25 persen yang diinvestasikan untuk pembangunan pabrik-pabrik baru.
Kini, marilah kita tengok konsentrasi dan sentralisasi aset perusahaan-perusahaan multinasional (MNCs). Coen Husain Pontoh dalam bukunya Akhir Globalisasi (2003), menunjukkan, perusahaan-perusahaan multinasional sektor manufaktur yang berkantor pusat di Amerika Serikat pada 1987, 70 persen dari penjualan mereka dan 67 persen dari aset mereka ada di AS sendiri. Sebagian besar dari sisa penjualan dan aset mereka pada 1987 ada di Eropa dan Kanada. Demikian juga dengan perusahaan-perusahaan multinasional yang berpusat di Eropa Barat, mendistribusikan penjualan produk dan aset mereka secara lebih luas tapi, antara 70-90 persen di antaranya berlokasi di negara induk dan negara-negara Eropa Barat lainnya. Bagi perusahaan-perusahaan multinasional yang bergerak dalam bidang manufaktur yang berpusat di Jepang, 75 persen dari penjualan mereka pada tahun 1993 ada di Jepang, begitu juga 97 persen aset mereka.
Konsentrasi aset dan penjualan di negara-negara industri maju, khususnya AS-Eropa-Jepang, juga dibuktikan dengan dominasi perusahaan-perusahaan multinasional (MNCs) di tiga negara tersebut. Dalam sebuah laporan mengenai 500 MNCs terbesar yang dilansir oleh Financial Times (Special Report FT Global 500) pada Mei 2004, terlihat dari 500 MNCs terbesar tersebut, 227 (45 persen) MNCs berkedudukan di AS, disusul oleh Eropa Barat dengan 141 (28 persen) MNCs, dan Asia dengan 92 (18 persen) MNCs. Ini berarti, ketiga blok perdagangan ini mengontrol sekitar 91 persen MNCs terbesar di dunia.
Kalau kita lihat lebih rinci lagi, dari peringkat 1 sampai 10 teratas dalam daftar 500 MNCs tersebut, 80 persen berkedudukan di AS dan 20 persen di Eropa. Sementara untuk 20 perusahaan teratas, 75 persen ada di AS, 20 persen di Eropa dan 5 persen di Jepang. Secara sektoral, dominasi MNCs asal AS juga tak tertandingi. Mari kita lihat satu persatu.
Sektor perdagangan:
Untuk sektor ini, MNCs asal AS mendominasi sepuluh teratas yakni, sebesar 80 persen. Menurut James Petras, dalam artikelnya The Economic Basis of Imperial Power (2004), dominasi AS ini bukan hal aneh mengingat ekonomi AS adalah basis terbesar untuk pengeluaran konsumsi, gelombang spekulasi, dan hutang tingkat tinggi.
Sektor teknolog informasi:
Sama seperti sektor perdagangan, untuk sektor ini sepuluh MNCs teratas 80 persen dikuasai oleh MNCs AS, baru kemudian menyusul MNCs Eropa.
Sektor media dan hiburan:
Komposisinya masih tidak berubah, dimana sekitar 80 persen dari 10 MNCs terbesar (11-14) didominasi oleh MNCs AS. Dominasi media ini dimulai sejak pemerintah federal menghancurkan public media pada awal abad ke-20, dan monopolisasi radio, televisi, dan film oleh para konglomerat. Konglomerasi ini telah menyebabkan koran lokal, musik, dan film-film kultural mengalami kebangkrutan. Yang menarik, seperti diuraikan Petras, konsentrasi kepemilikan media tersebut dipercepat pertumbuhannya oleh intervensi kebijakan pemerintah melalui deregulasi dan promosi, dimana media dan hiburan juga dimaksudkan untuk melayani baik secara terbuka maupun tertutup propaganda militer AS untuk penaklukkan, pendudukan, dan penetrasi.
Sektor militer/Kompleks industri:
Dari daftar 500 MNCs yang bergerak di sektor ini, dari 11 perusahaan raksasa teratas sembilan di antaranya adalah MNCs AS dan dua dari Eropa. MNCs ini memperoleh keuntungannya melalui pendirian lebih dari 180 basis militer di lebih dari 130 negara.
Sektor pelayanan komputer/software:
Apa boleh buat, dominasi AS masih terus berlanjut. Dari 10 perusahaan teratas, 6 di antaranya adalah MNCs AS. Namun demikian, posisi AS ini terancam oleh MNCs Jepang dan Eropa, dimana kedua negara ini menyumbang masing-masing dua MNCs dalam daftar 10 teratas.
Sektor perbankan:
Lagi-lagi, MNCs AS mendominasi sektor keuangan dan kapital perbankan. Dari 10 perbankan terbesar di dunia, 60 persennya dikuasai oleh perbankan AS, diikuti Eropa sebesar 30 persen Eropa dan 10 persen sisanya datang dari Jepang.
Sektor Telekom, Minyak dan Gas, Asuransi, Farmasi, dan Manufaktur:
Untuk sektor telekomunikasi, dominasi AS digagalkan oleh Eropa yang menguasai sekitar 40 persen dari 10 perusahaan telekomunikasi teratas, diikuti oleh AS dan Asia dengan penguasaan sekitar 30 persen. Hal yang sama terjadi di sektor asuransi, dimana Eropa mendominasi sebesar 50 persen MNCs terbesar, disusul AS sebesar 40 persen, dan Jepang 10 persen. Di sektor migas, AS dan Eropa berbagi sama dengan masing-masing menempatkan 4 dari 10 MNCs di ikut Rusia dan Brasil, masing-masing 1 MNCs. Demikian juga untuk sektor farmasi, dimana AS dan Eropa sama-sama mendominasi 10 MNCs teratas.
Kesimpulan
Berdasarkan data-data empiris ini, sebenarnya liberalisasi ekonomi tidak otomatis menyebabkan investasi mengalir ke negara-negara berkembang. Di samping itu, di tengah-tengah dominasi perusahaan-perusahaan multinasional ini, daya tawar pemerintah nasional seperti Indonesia, sangat lemah. Tidak ada jalan lain untuk membujuk rayu MNCs tersebut untuk menginvestasikan modalnya di sini, kecuali memenuhi apa yang menjadi prioritas MNCs dan elite-elite di negara kapitalis terbelakang.
Dari sini, lingkaran setan ketergantungan dan keterbelakangan rakyat Indonesia menjadi abadi. Kalau kita lihat apa yang menjadi kepentingan utama MNCs tersebut, tak lain adalah privatisasi besar-besaran BUMN strategis yang bergerak di sektor migas, liberalisasi ekonomi, dan deregulasi yang menghambat arus investasi, seperti deregulasi undang-undang perburuhan, undang-undang penanaman modal asing, rangsangan pajak, upah buruh rendah dan kepemilikan yang tidak terbatas.
Di samping itu, kebutuhan untuk percepatan liberalisasi ekonomi, juga disebabkan oleh dominasi perusahaan AS yang makin lama makin lemah. Artinya, walaupun MNCs AS masih merupakan pemain yang sangat dominan tapi, keberadaannya semakin tergerogoti. Data tahun 2004 menunjukkan, ada sekitar 30 MNCs AS yang terlempar dari peringkat 500 MNCĂs terbesar di dunia. Sementara itu, yang sanggup masuk dalam jajaran 500 tersebut hanya sekitar 16 MNCs, atau bahkan hanya 14 (5 persen) Adapaun MNCs Eropa tidak bertambah dan juga tidak berkurang. Tantangan terbesar datang dari MNCs Jepang dan Asia, dimana untuk tahun 2003-2004 berhasil menempatkan 14 MNCs ke jajaran 500 atau meningkat sebesar 20 persen.***