Martin Manurung
Pengesahan RUU Penanaman Modal (PM) pada 29 Maret yang lalu seakan menegaskan ‘mazhab’ yang dipilih oleh pemerintah dalam konteks investasi asing dan perdagangan bebas. RUU PM yang telah menjadi UU itu senafas dengan salah satu prinsip Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) yang dikenal sebagai perjanjian Trade-Related Investment Measures (TRIMs).
Dalam pandangan WTO yang neoliberal, investasi asing mendapat tempat yang mulia. Ia dipandang sebagai short cut (jalan pintas) untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Selain itu, investasi asing juga diklaim dapat meningkatkan efisiensi dan good corporate governance (tata kelola perusahaan yang baik). Sebabnya, kini setiap perusahaan, tak pandang bulu apakah berasal dari dalam atau luar negeri, harus membuktikan bahwa mereka hemat dan efektif.
Lebih lanjut, investasi asing juga konon akan membawa transfer teknologi kepada perusahaan-perusahaan domestik. Logikanya, perusahaan-perusahaan multinasional umumnya berasal dari negara-negara maju yang berteknologi tinggi. Kehadiran mereka di negara berkembang, tentu akan membawa serta teknologi itu dan kemudian menularkannya.
Masih ada lagi, investasi asing, katanya, akan mempromosikan nilai-nilai penghargaan terhadap lingkungan hidup yang dipuja di negara asalnya. Dengan kehadiran mereka, tentu ‘nilai-nilai hijau’ (green values) akan dibawa pula dan kemudian mendorong perbaikan kualitas lingkungan di negara yang didatanginya.
Kendati demikian, perjanjian ini ditentang keras oleh banyak negara berkembang. Mereka khawatir bahwa pemberlakuan TRIMs dapat membuat usahawan domestik terpinggirkan, khususnya bagi mereka yang bermodal menengah dan kecil. Selain itu, banyak pula negara yang cerdik; tak menolak keras tetapi ‘mengakali’-nya demi kepentingan nasional. Contoh negara yang cerdik itu adalah Tiongkok yang perekonomiannya kini sedang berkibar perkasa. Sebaliknya, Indonesia, yang masih terseok-seok, justru berketetapan hati secara penuh melaksanakan TRIMs.
Dalam UU PM, kepemilikan asing tak lagi dibatasi, sehingga bisa mencapai 100 persen. Sektornya pun dibebaskan, termasuk sumber-sumber daya alam. Akan halnya hak guna usaha, dapat diberikan sampai dengan 95 tahun dan dapat diperpanjang selama 35 tahun.
Selain itu, pembedaan perlakuan terhadap modal asing dan domestik pun dihapuskan. Kini modal dalam negeri yang sebagian besar ibarat petinju kelas bulu, harus bertanding tanpa perlindungan apapun dengan modal asing yang ibarat petinju kelas berat. Dulu, modal asing diharuskan mencari partner lokal dan pada sektor-sektor tertentu diharuskan mempekerjakan tenaga domestik. Kini, semuanya dibebaskan.
Benarkah dengan menggelar ‘karpet merah’ seperti itu lantas investasi asing akan segera masuk? Lalu, benarkah dengan masuknya investasi asing, lantas klaim-klaim sebagaimana disebut di atas akan terjadi? Sayangnya, sejarah tidak mengajarkan demikian. Pertama, belum pernah ada negara maju yang mencapai kegemilangannya dengan liberalisasi perdagangan secara besar-besaran. Sejarah negara-negara maju dalam pembangunannya dulu selalu bukan karena mereka mengikuti ‘mantra’ perdagangan bebas. Bahkan, hingga kini, negara-negara maju seperti Amerika Serikat (AS) yang mengkampanyekan perdagangan bebas justru masih memproteksi pengusaha domestiknya, antara lain melalui Small Business Administration yang memberi fasilitas khusus pada usaha kecil dan menengah (UKM), serta proteksi pertanian. Bahkan, kini sebuah RUU sedang digodok di Kongres AS untuk mengenakan tarif terhadap barang-barang produksi Tiongkok.
Kedua, investasi dari negara-negara maju pun ternyata berputar di antara mereka sendiri. Hal ini membatalkan tesis ‘dunia datar’ (the world is flat) yang diajukan Thomas Friedman (2006) yang mengatakan bahwa mobilitas modal telah membawa dunia lebih dekat dan seimbang. Kenyataannya, menurut Peter Dicken (2003) dalam Global Shift, hampir 70 persen investasi negara-negara maju ditanamkan di negara-negara maju juga. Jadi, negara-negara berkembang hanya mendapat remah-remahnya, dimana Indonesia hanya memperoleh bagian 2,9 persen dari seluruh investasi negara-negara maju di dunia ketiga.
Ketiga, pertumbuhan ekonomi yang didorong investasi asing pun terbukti sangat rapuh. Pengalaman di Korea Selatan menunjukkan, di kala krisis pada akhir 1990-an, investasi asing dapat hengkang begitu saja ketika kondisi ekonomi memburuk. Yang membuat Korea dapat bertahan, menurut Joseph Stiglitz (2002) dalam bukunya yang terkenal berjudul Globalization and Its Discontents, adalah para usahawan domestik yang tetap bertahan karena mereka tak mau melihat negaranya hancur. Hal itu membuktikan bahwa ‘nasionalisme ekonomi’ ternyata masih berperan penting di abad yang menurut Kenichi Ohmae (1995) telah mengubur negara-negara bangsa (the end of the nation state).
Kejadian yang sama, sedikit banyak juga mirip dengan Indonesia. Pertumbuhan ekonomi di kala krisis, justru ditopang oleh sektor UKM yang juga menampung tenaga-tenaga kerja yang dipecat karena pabriknya bangkrut atau hengkang ke luar negeri.
Kemudian, klaim good corporate governance pun sesungguhnya mitos belaka. Perusahaan-perusahaan asing juga belum tentu dikelola dengan baik. Ragam perusahaan multinasional tersandung skandal-skandal korupsi raksasa seperti Enron, Xerox, Adelphia, Qwest, Global Crossing, WorldCom, dan Halliburton.
Demikian pula dengan mitos-mitos lainnya perihal transfer teknologi dan lingkungan hidup Banyak perusahaan multinasional yang tetap menyelenggarakan riset dan pengembangannya (R&D) di negara asal, sementara di negara lain sekadar assembling point. Sehingga, bila pun terjadi alih teknologi, maka kemampuan yang ditularkan tak lebih bagaikan ‘tukang jahit’ tanpa kemampuan mencipta. Apalagi untuk urusan lingkungan hidup, perusakan lingkungan di banyak negara berkembang juga tak lepas dari aktivitas perusahaan-perusahaan asing. Di Indonesia saja, contohnya sudah teramat banyak dan akan terlalu panjang bila diuraikan pada tulisan ini.
Lalu, apakah kita harus menolak investasi asing? Jawabnya, tidak. Namun, liberalisasi secara ekstrim sebagaimana yang dibuat oleh UU PM saat ini pun sama sekali bukan jawaban.
Jawabannya terletak pada kecerdikan dan kehati-hatian kita. Investasi asing dapat bermanfaat bila diletakkan di dalam (bukan di atas) kerangka pembangunan dan kepentingan nasional. Penting untuk dicatat bahwa investasi asing juga akan datang ke negara-negara yang tidak melakukan liberalisasi penuh. Tiongkok, Vietnam, Taiwan dan Jepang adalah sebagian dari banyak bukti dimana investasi asing tetap datang kendati negara-negara itu melakukan pembatasan terhadap kiprah dan cakupan investasi asing.
Dengan demikian, pemerintah seharusnya melakukan penyelidikan menyeluruh perihal sektor-sektor di mana manfaat investasi asing dapat lebih besar daripada mudaratnya. Pada sektor-sektor itu, pintu bagi investasi asing dibuka lebih besar (tanpa harus liberalisasi penuh), sementara pada sektor-sektor lain tetap dilakukan pembatasan.
Saya menganjurkan agar ruang gerak investasi asing dapat diberikan pada sektor-sektor yang berteknologi tinggi dan padat modal, dimana kita masih sulit untuk mengembangkannya. Pada sektor ini pun, pemerintah harus melakukan tawaran (bargain) yang mengikat perihal alih teknologi, sehingga kita tak selamanya memiliki ketergantungan. Harus dibuat target-target yang wajar perihal kapan dan bagaimana teknologi itu dapat dikuasai oleh tenaga-tenaga kerja domestik. Berkaitan dengan itu, kita juga harus memastikan bahwa tenaga kerja domestik dapat ditempatkan pada posisi-posisi kunci sehingga secara bertahap mereka dapat menyerap keahlian (skill) yang dibutuhkan teknologi tersebut.
Sementara pada sektor-sektor lain, seperti agrikultur, tekstil, sepatu, dan sektor padat karya lainnya, tetap dilakukan kontrol. Hal ini untuk menjaga keunggulan komparatif kita, sekaligus mengembangkan industri-industri andalan nasional. Investasi asing dapat saja masuk, namun dengan pengaturan yang mengikat agar manfaatnya dapat dipertahankan.
Kuncinya terletak pada strategi untuk memaksimalkan manfaat dan meminimalkan mudarat dari investasi asing. Mengarungi globalisasi adalah ibarat berjalan melalui sungai yang deras dan berbatu. Bila kita ingin selamat sampai di seberang, baiklah kita menjejakkan kaki dengan penuh perhitungan. Hindari titik-titik berbahaya dan berjalan dengan pijakan pada batu yang kokoh. Bila kita mampu melakukannya, maka bukan tak mungkin negeri ini akan mampu bangkit.