Memuja “Widjojonomics”: Memuja Kesalahan

Martin Manurung*

Banyak orang menganggap bahwa pesatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia pada masa Orde Baru (Orba) disebabkan oleh pemikiran dan prestasi para ekonom yang digelari Mafia Berkeley. Mereka adalah lulusan berbagai universitas di Amerika Serikat (AS), kebanyakan jebolan University of California at Berkeley, dan dipimpin oleh Widjojo Nitisastro. Para ekonom itu dipanggil oleh Jenderal Soeharto untuk membanting stir perekonomian Indonesia menuju kapitalisme.

Memang, selama dua dekade (1980-an dan 1990-an) pertumbuhan ekonomi mencapai rata-rata 8 persen per-tahun. Orang berdecak kagum dan Bank Dunia menggelari kita ‘one of the Asian miracles.’ Sukses itu membuat banyak orang menyebut paradigma kebijakan ekonomi Indonesia di awal Orba sebagai “Widjojonomics.”

Anggapan umum itu, tampaknya, masih berlaku. Buktinya, pada peluncuran buku tentang Widjojo, 13 Maret 2007, dipenuhi puja-puji terhadap mantan Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI) itu yang dihubungkan dengan ‘prestasi’ ekonomi Indonesia di masa lalu.

Benarkah tinginya pertumbuhan ekonomi Indonesia kala itu karena Widjojonomics? Atau, yang lebih mendasar, apakah memang ada Widjojonomics itu?

Saya meragukannya. Paling tidak, ada tiga sebab Widjojonomics itu sebenarnya biasa-biasa saja dan tidak distinct (memiliki perbedaan mendasar dengan kebijakan kapitalistis lainnya) sehingga harus diberikan nama khusus.

Pertama, kebijakan ekonomi dan strategi pembangunan Orba sejatinya sama dengan perekonomian lainnya di Asia Timur pada saat itu, seperti Malaysia, Singapura, dan Korea Selatan. Pada negara-negara itu terdapat karakteristik yang sama, yaitu, antara lain, sentralnya peranan berbagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN), pembiayaan defisit anggaran dengan utang luar negeri, liberalisasi perbankan dan arus modal, liberalisasi impor, dan besarnya peran para konglomerat dalam sektor industri.

Karena itu, banyak yang menggolongkan negara-negara itu sebagai ‘developmental state’. Saya lebih menyukai istilah ‘state-led capitalist development’, karena lebih spesifik menjelaskan besarnya peran kepemimpinan negara dalam sistem pembangunan kapitalistik. Dengan demikian, sesungguhnya Widjojonomics bukan suatu ‘genre’ yang berbeda.

Kedua, sistem politik negara-negara itu juga sama, yaitu otoritarianisme (Soeharto di Indonesia, Mahathir di Malaysia, Lee Kuan Yew di Singapura, dan Chun Do-hwan di Korea Selatan). Otoritarianisme itu menopang kebijakan pembangunan kapitalistik sehingga akumulasi modal dapat berlangsung tanpa hambatan, gangguan dan protes yang berarti dari masyarakat. Sekadar catatan, tanpa otoritarianisme saya yakin cerita “sukses” di atas belum tentu terjadi.

Ketiga, pada 1980-an Indonesia menikmati ‘hujan’ keuntungan yang berlimpah akibat melonjaknya harga minyak (oil boom). Hal itu turut menyumbang pembiayaan industrialisasi yang mendorong tingginya pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian, sesungguhnya, pesatnya pertumbuhan lebih disebabkan oleh faktor eksternal (oil boom) ketimbang faktor internal kebijakan domestik (Widjojonomics). Hal itu terbukti dengan, menurunnya pertumbuhan ekonomi segera setelah oil boom usai yang kemudian membuka pintu krisis ekonomi 1997.

Berbagai kesamaan di atas kemudian menyebabkan negara-negara Asia Timur diterpa krisis secara bersamaan. Utang luar negeri yang menggunung menyebabkan tingginya ketergantungan pada faktor luar negeri. Meraksasanya konglomerasi dan liberalisasi perbankan menyebabkan tingginya kredit macet, serta sistem politik otoriter yang berujung pada perkoncoan (crony capitalism).

Orang bijak berkata bahwa kita harus belajar dari kesalahan agar bisa berubah. Namun, sayangnya, kita terbiasa lupa belajar. Bahkan, lebih fatal lagi, kita justru memuja kesalahan itu.


*Alumni FEUI dan School of Development Studies, University of East Anglia, Inggris