Wahyu Susilo
Rodrigo de Rato, Managing Director IMF (International Monetary Fund), sedang tak nyaman. Saat berkunjung ke Indonesia, minggu lalu, bertubi-tubi kecaman mengarah kepadanya.
Gong terkeras dikemukakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Seusai pertemuan dengan Rato, pada 24 Januari 2007, SBY mengeluarkan pernyataan bahwa Indonesia tidak memerlukan lagi keberadaan forum CGI (Consultative Groups on Indonesia). CGI merupakan konsorsium pendanaan untuk Indonesia, yang terdiri atas lembaga-lembaga keuangan multilateral dan regional serta donor-donor bilateral, yang selama ini memberikan pinjaman dan hibah untuk pembiayaan pembangunan di Indonesia.
Pernyataan kepala negara ini, tentu saja “mengejutkan.” Sebab, dalam dua forum CGI terakhir (pada Januari 2005 dan Juni 2006), Pemerintah terlihat sangat memanfaatkan momen itu sebagai wadah akumulasi pembiayaan rehabilitasi dan rekonstruksi dampak bencana tsunami Aceh-Nias dan gempa Yogya-Klaten.
Dalam pernyataan “pembubaran” CGI tersebut dikatakan, Indonesia sudah mampu melakukan perencanaan pembiayaan pembangunan sendiri. Pernyataan ini secara implisit, hanya membuktikan kebenaran “tuduhan” yang selama ini dialamatkan kepada Pemerintah, bahwa desain pembangunan di Indonesia adalah hasil dari tekanan lembaga-lembaga keuangan internasional dan donor bilateral.
Seperti biasa, pernyataan Presiden selalu digarisbawahi kembali oleh para pembantunya di Kabinet Indonesia Bersatu. Kali ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani, memberikan penjelasannya mengenai gagasan pembubaran CGI. Agak berbeda dengan Presiden, penegasan Sri Mulyani tentang pembubaran CGI ditekankan pada agenda-agenda politik yang selalu “dititipkan” oleh negara-negara donor pada forum CGI. Menurut mantan petinggi IMF untuk kawasan Asia Pacific itu, CGI tidak lagi murni menjadi forum konsultasi perencanaan dan pendanaan pembangunan Indonesia namun, telah dimanfaatkan sebagai forum politik negara-negara donor. Dalam posisi seperti itu, penafsiran Menteri Keuangan Sri Mulyani mengenai pembubaran CGI, sama persis ketika Soeharto membubarkan IGGI (Inter Governmental Group on Indonesia) secara sepihak pada 1985. Saat itu, Soeharto marah dan merasa IGGI sudah melampaui batas kewenangannya, ketika memberikan statemen mengenai pelanggaran HAM di Indonesia.
Dari analisis kritis terhadap wacana yang berkembang (dan dikembangkan) seputar pembubaran CGI, terlalu dini untuk menyatakan bahwa pembubaran CGI ini merupakan salah satu inisiatif awal Pemerintah RI untuk melepaskan diri dari ketergantungan terhadap utang luar negeri. Bahkan, sebaliknya, pembubaran CGI ini tidak membuahkan optimisme ketika muncul pernyataan susulan yang disampaikan Direktur Pengelolaan Utang Departemen Keuangan Rahmat Walujanto, bahwa akan segera dibentuk forum baru pengganti CGI yang hanya terdiri dari kreditor strategis seperti World Bank, Asian Development Bank (ADB), dan Jepang. Ini tentu saja cuma mengulang cerita lama ketika IGGI diganti CGI: anggur lama dalam botol baru.
Tampaknya, latar belakang politik pembubaran CGI lebih didasari keengganan Pemerintah, yang selalu direpotkan oleh pertanyaan-pertanyaan kritis yang dilontarkan negara-negara anggota CGI blok Uni Eropa (terutama negara-negara Skandinavia), seputar persoalan HAM. Dalam dua pertemuan CGI terakhir, pertanyaan soal terbunuhnya Munir juga mengemuka. Inilah yang membuat Menteri Keuangan Sri Mulyani berkeluh. Menurut Sri Mulyani, blok Uni Eropa (terutama negara-negara Skandinavia) dari segi jumlah pinjaman dan bantuannya sedikit (tidak signifikan), namun sangat cerewet untuk urusan politik.
Dalam perspektif ekonomi-politik, jika Indonesia benar-benar berniat membuat forum baru pengganti CGI yang hanya beranggotakan kreditor-kreditor strategis, akan makin melemahkan posisi Indonesia sebagai pengutang. Mereka yang dianggap kreditor strategis adalah World Bank, Asian Development Bank (ADB) dan Jepang. Selama ini, dalam setiap paket bantuannya, mereka selalu menyertakan masalah conditionality (persyaratan pinjaman) yang jelas-jelas memiskinkan rakyat Indonesia. Misalnya, walaupun Indonesia telah keluar dari IMF, namun agenda-agenda IMF masih bisa didesakkan oleh World Bank yang merupakan saudara kembarnya. ADB adalah salah satu institusi yang mendorong Indonesia mengundangkan UU Sumberdaya Air (instrumen privatisasi sumberdaya air), sedangkan Jepang adalah pengutang terbesar Indonesia, yang sama sekali tidak mau mendiskusikan masalah-masalah dampak utang dan pelanggaran hak asasi manusia.
Seharusnya, Pemerintah Indonesia benar-benar serius memikirkan dan merumuskan kebijakan pembiayaan pembangunan tidak dari utang dan tidak sekedar dengan mengurangi stok utang. Dari utang dalam negeri, misalnya, sangat perlu dilakukan tindakan luar biasa untuk mempercepat pengembalian BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) dan kredit macet lainnya. Dari skema utang luar negeri, diperlukan langkah-langkah sistematik untuk mengurangi atau bahkan, penghapusan utang terkait dengan trend politik global.
Ada banyak jalan yang bisa dilalui, mulai yang moderat hingga yang radikal. Langkah-langkah moderat, antara lain: skema Naples Terms yang ditawarkan Paris Club (konsorsium 19 negara donor terbesar), untuk fasilitas pengurangan utang karena bencana alam. Skema debt swap (pengalihan utang untuk pembiayaan sektor publik) juga bisa dipakai sebagai pilihan moderat. Namun, skema ini sangat kecil jumlahnya dibandingkan dengan stok utang yang menjadi beban. Skema lain yang ditawarkan adalah debt conversion for MDGs achievement. Skema ini merupakan implementasi dari komitmen global partnership yang merupakan tanggung jawab negara-negara maju.
Sedangkan skema radikal juga banyak ragamnya. Mulai dari model unilateralisme (ngemplang utang) gaya Argentina, debt cancellation for illegitimate debt (utang yang tidak sah), ataupun model-model penghapusan utang yang ditawarkan oleh gerakan sosial. Sebelumnya, banyak pihak mencibirkan skema radikal ini sebagai model yang tidak masuk akal dan mengada-ada. Namun, ternyata, model penghapusan utang karena illegitimate debt, menjadi referensi Norwegia ketika meluncurkan skema penghapusan utang tanpa conditionality untuk illegitimate debt kepada Mesir, Equador, Jamaica, Sierra Leone dan Peru, sebagai bentuk pertanggungjawaban politik Norwegia.
Langkah ini tentu bisa menjadi preseden bagi Indonesia, untuk menggagas inisiatif penghapusan utang Indonesia di bawah masa kediktatoran Soeharto. Utang yang dibuat Soeharto masuk kategori illegitimate debt, karena diminta dengan cara yang tidak demokratis dan dipakai untuk menjalankan pemerintahan yang otoriter. Demikian juga utang-utang post Soeharto, yang mengakibatkan tergerusnya hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, serta hak-hak sipil dan politik rakyat Indonesia.
Skema radikal yang juga bisa menjadi sumber pembiayaan pembangunan di luar utang, adalah negosiasi ulang kontrak-kontrak karya pertambangan yang selama ini dirasakan sangat tidak adil. Selama ini, perolehan kita dari kontrak karya pertambangan sangat kecil sementara, dampak buruknya bagi rakyat begitu terasa: dari pencemaran lingkungan, marginalisasi masyarakat adat, dan pelanggaran HAM.
Itulah beberapa opsi yang bisa ditawarkan, jika Indonesia benar-benar serius ingin melepaskan diri dari ketergantungan terhadap utang. Tinggal pilih yang mana?***
Wahyu Susilo, Kepala Divisi Advokasi dan Networking International NGO Forum on Indonesian Development (INFID).