Tanggapan untuk Roysepta Abimanyu
Coen Husain Pontoh
Artikel Roysepta Abimanyu, “Berbicara Kembali Tentang Kesadaran Politik (Kelas),” menarik untuk didiskusikan lebih lanjut. Dalam artikel itu, Abimanyu membahas dengan jernih soal menumpulnya kesadaran politik kelas rakyat pekerja di Indonesia, serta bagaimana seharusnya gerakan progresif mengatasi “kesadaran palsu” yang melekati dan membebati benak rakyat pekerja itu.
Dalam konteks ini, Abimanyu melempar kritik atas metode “kuno” yang terus-menerus diproduksi oleh gerakan progresif: demonstrasi, mengorganisir, membuat terbitan (majalah, buku, pamflet atau selebaran), sebagai alat pembangkit kesadaran politik kelas. Katanya, “kebutuhan mendesak pergerakan rakyat tertindas bukan lagi sebatas mengorganisasikan rakyat. Bukan juga sebatas mengumpulkan testimoni-testimoni mereka yang disikat sistem kapitalisme ataupun sebatas mendirikan serikat-serikat rakyat tertindas.” Yang seharusnya dilakukan, adalah “pembangunan alat-alat yang dapat merebut perhatian rakyat secara luas. ….Setelah itu, barulah kita dapat berbicara tentang pembongkaran kesadaran palsu di kelas-kelas tertindas.”
Ada dua asumsi kuat dari Abimanyu: pertama, jika kesadaran palsu ini telah menguap akan terbit kesadaran sejati yakni, kesadaran politik kelas; asumsi kedua, kalangan pergerakan telah memiliki kesadaran sejati yang membuatnya sanggup menjadi pemandu kesadaran rakyat tertindas.
Tetapi, apa yang dimaksud dengan kesadaran politik kelas? Abimanyu hanya menyentil sedikit soal ini, sehingga saya khawatir, jangan-jangan kalangan pergerakan yang diharapkan Abimanyu untuk memelopori penyingkapan kesadaran palsu, malah dirinya sendiri terjebak pada kesadaran palsu tersebut. Tulisan ini hendak membahas soal itu.
Tiga Gugus Kekuasaan
Dalam membicarakan masalah kelas, kita masuk pada tiga area yakni, perjuangan kelas, struktur kelas, dan kekuasaan kelas. Pada bagian ini, saya akan fokus pada perjuangan kelas atau politik kelas.
Berbicara tentang perjuangan kelas, berarti kita bicara tentang politik kekuasaan. Lebih tepatnya, kekuasaan negara. Negara merupakan pusat perhatian utama dalam kerangka perjuangan kelas. Seluruh energi pergerakan, dicurahkan untuk merebut kekuasaan negara, dan menggunakannya sebagai instrumen untuk melayani kepentingan kelasnya. Dalam konteks rakyat pekerja, adalah kepentingan rakyat pekerja.
Darimana kesimpulan ini dipungut? Dalam masyarakat kapitalis, motivasi dan tujuan utama dari sistem masyarakat ini adalah mencari keuntungan yang sebesar-besarnya. Keuntungan merupakan rangsangan utama para kapitalis untuk berinvestasi. Sebaliknya, jatuhnya tingkat keuntungan akan membuat para kapitalis enggan berinvestasi, sehingga tingkat akumulasi menurun dan ujung-ujungnya mengirim ekonomi kapitalis ke dalam resesi.
Soalnya darimana keuntungan itu diperoleh? Apakah dari selisih harga jual yang lebih besar dari harga produksi, seperti kewajaran yang diterima luas selama ini? Gordon, Weisskopf, dan Bowles, mengatakan, keuntungan yang diraup para kapitalis bukanlah hasil dari jual-beli komoditi dalam ruang zero-sum game bagi penjual dan pembeli. Kapitalis memperoleh keuntungan, kata mereka, sebagai hasil dari dominasi kekuasaan kelas kapitalis atas aktor-aktor ekonomi lain yang berkonfrontasi dengannya. Atau, kapitalis memperoleh keuntungan melalui hubungan ekonomi dengan aktor-aktor ekonomi di luar kelas kapitalis. Misalnya, ketika buruh menjual tenaga kerjanya dengan harga murah, dan kemudian membeli barang kebutuhan sehari-harinya dengan harga mahal, maka kapitalis telah memperoleh keuntungan. Hubungan kedua yang mempengaruhi tingkat keuntungan terjadi dalam pertukaran internasional. Jika nilai tukar internasional tergantung pada harga ekspor dan impor, maka penentuan harga sangat ditentukan oleh pengaruh diplomasi, militer, dan tekanan-tekanan lain yang berbeda dari karakter pertukaran di pasar. Hubungan ketiga yang juga berpengaruh pada tingkat keuntungan – menyangkut hubungan antara kelas kapitalis dengan negara – juga merefleksikan keterlibatan kekuasaan. Misalnya, bagaimana aliansi kekuasaan membentuk kebijakan negara, dalam hal ini tingkat pajak, ketersediaan tenaga kerja, perubahan teknik, dan tingkat pemanfaatan kapasitas. Keseluruhannya ini akan sangat mempengaruhi tingkat keuntungan yang bakal diperoleh para kapitalis (kita akan kembali pada soal ini di bagian lain).
Jika tesis ini kita terima, konsekuensinya jika ada bentuk perjuangan yang tidak berorientasi pada kekuasaan negara, tidak bisa dikategorikan sebagai politik kelas atau perjuangan kelas. Misalnya, politik berbasis gender, yang sebatas memperjuangkan kesetaraan perempuan di hadapan laki-laki; politik berbasis lingkungan, yang sebatas memperjuangkan pelestarian lingkungan dan yang tercakup di dalamnya dari ulah serakah para pemodal; atau juga politik berbasis ras, agama, atau suku, yang menuntut ras, agama, dan sukunya setara dengan ras, agama, dan suku lainnya.
Bukan berarti, politik kelas mengabaikan unsur gender, lingkungan, atau ras. Sebaliknya, politik kelas hanya menjadi instrumen pembebasan jika ia mencakup soal gender, lingkungan, dan ras, misalnya. Dengan demikian, dalam kerangka politik kelas, perjuangan mengenai kesetaraan gender, pelestarian lingkungan, dan emansipasi ras atau suku, dilakukan melalui instrumen negara. Negara mesti bertanggungjawab untuk menjamin dan melindungi terpenuhinya hak-hak yang dimaksud. Maka, ketika Abimanyu mensinyalir telah berkembang kesadaran palsu yang sangat luas, saya melihatnya sebagai pertanda meluasnya perjuangan yang tidak berorientasi pada kekuasaan negara.
Tentu saja, semuanya bukan tanpa sebab. Momentumnya dimulai, tatkala Tembok Berlin runtuh. Keruntuhan itu dianggap telah mematahkan dasar teoritik, bahwa negara merupakan agen yang paling efektif dalam merealisasikan misi emansipasi dan pembebasan. Sebagai gantinya, gagasan masyarakat sipil, yang semula masih bergerilya, kini mendapat tanah lapang untuk persemaiannya. Gagasan mengenai pembedaan antara state (masyarakat politik), market (masyarakat ekonomi), dan civil society (masyarakat sipil), lantas menjadi dominan. Seluruh energi teoritik dan praktek diarahkan untuk mengelola agar tiga gugus kekuasaan ini berjalan seirama.
Curahan energi itu tak sia-sia. Kiprah teori tentang tiga gugus kekuasaan ini, telah menggusur jauh-jauh gagasan dari kiri mengenai konflik permanen antara kelas proletariat dan kelas borjuasi, ataupun konsep negara budiman versi negara kesejahteraan. Semakin dominan ketika gagasan ini diadopsi dan dijadikan instrumen oleh negara-negara kapitalis maju, lembaga-lembaga keuangan multilateral, korporasi-korporasi multinasional, dan lembaga-lembaga nirlaba yang berkarakter transnasional.
Para promotor dan eksekutor mengenai pembagian “tiga gugus kekuasaan” ini berpendapat, negara kuat dan suka campur tangan dalam mekanisme pasar, adalah buruk. Kekuatan dan kebiasaan campur tangan itu, membuat pasar bekerja secara menyimpang, praktek moral hazard berkembang pesat, sehingga inefisiensi menjadi hal niscaya. Itu sebabnya, negara mesti dikerangkeng, kekuasaannya mesti dipangkas, sebatas sebagai penjaga malam.
Hanya dengan cara demikian, pasar bisa bekerja secara spontan, menjadi wadah pertukaran yang efisien, sekaligus sarana yang paling efektif bagi pendistribusian kemakmuran. Pasar yang sempurna, juga kelak mendorong para pelakunya bertindak rasional, berdasarkan kepentingan terbaik mereka. Dengan demikian, kompetisi menjadi hal yang niscaya, menendang jauh-jauh perilaku moral hazard. Kompetisi yang terbuka ini, juga menjadi ajang seleksi alam, mengangkat mereka yang paling rasional dan kompetitif ke tangga teratas kesuksesan.
Tetapi, ideal ini dalam banyak fakta sejarah, sering tak berjalan mulus. Negara tetap saja selalu ingin campur tangan. Sementara pasar tak seperti yang diduga, mengandung cacat permanen karena tidak pernah sempurna. Maka kongkalingkong tak terhindarkan. Terutama di negara-negara yang baru terbebaskan dari cengkeraman kediktatoran, dimana kelembagaan ekonomi dan politiknya masih sangat rapuh dan mudah retak. Lalu, bagaimana jalan keluarnya. Jika kegagalan pasar dimintai pertolongannya pada negara, kata Ronald Harry Coase, itu sama artinya dengan mengundang kegagalan yang lebih besar. Bagi Coase (terkenal dengan sebutan Teorema Coase), kegagalan pasar tidak seharusnya dipandang sebagai alasan bagi dilancarkannya intervensi negara atau pemerintah dalam kegiatan ekonomi karena, kegagalan pemerintah (yang lazim disebut sebagai kegagalan birokrasi), jauh lebih besar.
Pada titik ini, disodorkanlah jalan keluar yang indah: masyarakat sipil. Ini lembaga pengawas plus, semacam tukang semprit, untuk memastikan agar negara dan pasar berjalan pada relnya masing-masing. Posisinya, ada di tengah-tengah walaupun tidak dimaksudkan sebagai kekuatan penyeimbang. Ia lebih mendekati kekuatan moral ketimbang kekuatan politik, karena itu posisinya harus independen. Lembaga ini adalah asosiasi masyarakat yang sadar politik tapi, menjauh dari politik praktis. Lembaga ini juga tidak berbisnis, sebagian darinya menerima donasi dari negara, lainnya dari korporasi, selebihnya dari masyarakat yang peduli. Satu-satunya orientasi kegiatan lembaga ini adalah pemberdayaan masyarakat. Hanya masyarakat yang berdaya, yang independen, yang bisa memenuhi kepentingan-kepentingannya; bukan negara, juga bukan pasar.
Maka bermunculanlah ribuan asosiasi masyarakat sipil, dari asosiasi olah raga, musik, pencinta lingkungan, pejuang kebebasan pers, kelompok studi, asosiasi ilmuwan, pegiat gender, pemantau korupsi, pemantau korporasi, pemantau parlemen, pengawas pemilu, pelaku pendidikan murah, promotor hak asasi manusia, hingga pendukung ekonomi skala mikro. Mereka memperjuangkan haknya masing-masing, sekuat-kuatnya baik secara sukarela maupun tidak.
Begitulah, skenario tiga gugus kekuasaan ini bekerja. Begitu efektifnya, hingga di kalangan gerakan sosial muncul kepercayaan, “kita bisa mengubah dunia tanpa kekuasaan.” Kekuasaan pun dijauhi, ia dirindu tapi juga dinista.
Teori dan Praktek
Berhadapan dengan gagasan mengenai “tiga gugus kekuasaan” ini, Ellen Meiksins Wood, berpendapat, benar bahwa di era kapitalisme terjadi pemisahan antara kekuasaan ekonomi dan kekuasaan politik atau disebutnya juga kekuatan “extra-economic.” Dalam masyarakat non-kapitalis, seperti masyarakat feodal, ujar Wood, para tuan feodal membutuhkan kontrol langsung dari aparatus kekerasan militer atau kekuasaan politik untuk menghisap buruh mereka, karena buruh tersebut tidak memiliki apa-apa dan tidak memiliki akses langsung pada alat-alat produksi, sehingga mesti menjual tenaga kerjanya untuk ditukar dengan upah guna kelangsungan kerja dan hidupnya.
Keadaan ini berbeda dengan masyarakat kapitalis. Mereka tidak membutuhkan kontrol langsung dari aparatus militer untuk mengeksploitasi buruh-buruhnya. Proses eksploitasi tersebut, dalam masyarakat kapitalis, berlangsung di wilayah pasar. Itu sebabnya, baik kapitalis maupun buruh, sangat tergantung pada pasar. Maka kata Wood, kekerasan dalam masyarakat kapitalis, tidak hanya bersifat personal dan langsung melalui alat-alat kekauasaan yang superior tapi, juga berlaku secara tidak langsung dan impersonal melalui pemaksaan oleh pasar.
Tetapi, Wood buru-buru mengingatkan, bukan berarti kapitalis tidak membutuhkan negara atau kekuasaan politik. Bahkan, pada akhirnya, para kapitalis sangat tergantung pada kekuasaan negara untuk menyokong kekuasaan ekonominya, memperkuat hak kepemilikannya, serta mengatur tata sosial dan kondisi-kondisi yang menguntungkan bagi proses ekspansi dan akumulai kapital. “….my argument is that the state is more essential than ever to capital, even, or especially, in its global form,” ujar Wood.
Berbeda dengan Wood, Wiliam I. Robinson, mengatakan, gagasan mengenai pemisahan antara kekuasaan negara dan pasar, tidak pernah ada dalam realitas. Kedua domain ini sebenarnya saling beririsan bahkan menyatu. Baginya, gagasan tentang state-market dualism, sesungguhnya adalah sebuah cara untuk melapangkan jalan bagi beroperasinya modal transnasional ke seluruh pelosok dunia. Tanpa dukungan kekuasaan negara, kekuasaan ekonomi akan terjatuh dalam stagnasi.
Pendapat Wood dan Robinson ini, coba lihat, sangat mendukung tesis yang dilontarkan oleh Gordon, Weisskopf dan Bowles, yang telah dikutip di atas. Berpijak pada tesis ini, peran negara sungguh begitu dominan dan esensial. Tanpa intervensi negara (melalui sumberdaya dan aparatus kekuasaannya), ekspansi dan akumulasi kapital tak mungkin berlangsung secara besar-besaran. Lebih-lebih dalam era imperialisme, di mana pemenuhan kebutuhan dalam negeri sangat tergantung pada pasokan dari luar negeri, keterlibatan negara, terutama AS, sangat jelas sekali. Pada titik ini, soalnya kemudian bukan apakah intervensi negara itu harus atau tidak, baik atau buruk. Yang mesti kita persoalkan adalah bagaimana watak dari intervensi itu.
Untuk memperjelas argumen ini, saya mau menyitir studi dari Vincent Navarro, profesor kebijakan publik dari Harvard University, AS. Menurut Navarro, di AS, misalnya, di masa pemerintahan Ronald Reagen yang sangat neoliberal, pengeluaran publik pemerintah federal tak pernah menyusut, dari 21.6 menjadi 23 persen dari GNP. Peningkatan itu sebagai konsekuensi pertumbuhan spektakuler belanja militer dari 4.9 menjadi 6.1 persen dari GNP. Peningkatan belanja publik ini dibiayai dari peningkatan defisit anggaran federal dan peningkatan pajak.
Koboi Reagen yang seharusnya merupakan presiden yang paling anti-pajak, dalam sejarah AS terbukti merupakan presiden yang memajaki bagian terbesar rakyat di masa damai. Ia bahkan menaikkan pajak dua kali yakni, pada 1982 dan 1983. Celakanya, ia memotong drastis pajak bagi 20 persen penduduk berpendapatan tinggi, sembari menaikkan pajak bagi mayoritas populasi.
Kenyataan ini menunjukkan dua hal: pertama, tidak benar bahwa Reagen melucuti peran negara, dengan memangkas belanja publik; kedua, apa yang dilakukan Reagen adalah mengubah watak intervensi negara dengan lebih melayani kepentingan kelas atas dan kelompok-kelompok ekonomi (perusahaan yang berhubungan dengan militer), yang telah mendanai kampanyenya. Pada saat yang sama, ia membuat kebijakan yang melawan kepentingan mayoritas rakyat AS, melalui kebijakan anti-buruh dan pemotongan belanja sosial hingga ke taraf yang tak pernah terbayangkan dalam sejarah AS.
Pasca Reagen (Bush Sr. Clinton, dan Bush Yr), peran negara makin menguat, di bidang ekonomi, politik, budaya, dan keamanan. Di bidang ekonomi, misalnya, proteksi negara sangat besar terutama dalam bentuk subsidi pada sektor pertanian skala besar, militer, penerbangan, dan biomedis. Di bidang sosial, intervensi negara menjelma dalam wujud pelemahan hak-hak sipil, khususnya hak-hak buruh. Fakta ini diakui terang-benderang oleh John Williamson, arsitek utama "Konsensus Washington," dimana katanya, “kita harus mengerti bahwa apa yang pemerintah AS promosikan ke luar negeri, sebenarnya tak mereka lakukan di dalam negeri.”
Dari fakta-fakta ini, sangat jelas bahwa orientasi politik yang menjauh dari negara, yang memandang negara sebagai sarang para penyamun, yang menatap politik kekuasaan sebagai arena pertarungan para bandit, tidak saja kehilangan relevansinya tapi, juga dasar teoritiknya. Dengan sendirinya, tidak relevan pula, jika menggantung harap pada mereka untuk mengungkap tabir kesadaran palsu rakyat tertindas.
Kepustakaan:
David M. Gordon, Thomas E. Weisskopf, and Samuel Bowles, “Power, Accumulation, and Crisis: The Rise and Demise of the Postwar Social Structur of Accumulation,” in Robert Cherry et.al., “The Imperiled Economy Mocroeconomics from a left Perspective,” The Union for Radical Political Economics, New York, 1987.
Ellen Meiksins Wood, “Empire of Capital,” Verso, London, 2005.
William I. Robinson, “A Theory of Global Capitalism Production, Class, and State in a Transnatioal World,” The John Hopkins University Press, 2004.
Vincent Navarro, “The Worldwide Class Struggle,” Monthly Review, NY
September, 2006.