Coen Husain Pontoh
Persekutuan tidak suci antara intelektual liberal dengan rejim militer, juga terjadi di Argentina. Di negara dengan luas terbesar kedua setelah Brazil di kawasan Amerika Latin, persekutuan tidak suci tersebut telah melahirkan kebangkrutan ekonomi dan penistaan hak asasi manusia.
Berbeda dengan Chile yang memiliki tradisi panjang demokrasi prosedural, hingga sebelum kudeta militer terhadap pemerintahan Salvador Allende pada 1973, Argentina adalah negara yang paling tidak stabil secara politik. Dari tahun 1930 hingga 1983, tercatat enam kali kudeta militer, masing-masing pada 1930, 1943, 1955, 1962, 1966, dan 1976. Selama periode jatuh bangun itu, terjadi 25 kali pergantian presiden. Rejim Juan Domingo Peran, merupakan rejim terlama yang berkuasa yakni, sepuluh tahun.
Pertanyaan menarik yang penting dikemukakan, apa penyebab instabilitas politik itu? para teoritisi liberal menyimpulkan, ketidakstabilan disebabkan oleh diterapkannya kebijakan neo-merkantilis melalui strategi pembangunan industrialisasi substitusi impor (ISI). Memang, seperti dicatat John Ward, pada awalnya negara-negara yang mendukung pelaksanaan kebijakan ISI memperlihatkan akselerasi pertumbuhan sektor manufaktur yang mengesankan. Tetapi, pada akhir 1950an, strategi ISI mulai memperlihatkan keterbatasannya. Ekspor bahan baku yang semula menjadi andalan, setelah berakhirnya perang Korea, mulai mengalami penurunan. Tingkat inflasi juga makin meningkat dan eskalasi konflik sosial semakin intensif sebagai akibat perjuangan kelas pekerja, yang menuntut peningkatan biaya keamanan sosial untuk mengantisipasi jatuhnya nilai uang. Awal tahun 1960an, strategi ISI mengalami krisis yang parah.
Pada masa-masa itu pula, khususnya pada 1959, terjadi revolusi sosialis di Kuba. Sukses revolusi Kuba dan krisis ISI, menjadi pertanda Argentina tengah memasuki bahaya nasional yang mengancan stabilitas politik yang sebenarnya sangat rapuh. Hasilnya, militer melakukan kudeta pada tahun 1962. Ada dua tujuan utama kudeta: pertama, melenyapkan Peronisme; dan kedua, makin mendisiplinkan pelaksanaan ISI melalui program pengetatan ekonomi. Tetapi, usia pemerintahan militer ini hanya berlangsung satu tahun. Sistem politik Argentina kembali ke jalur demokrasi parlementer.
Namun demikian, performa ekonomi tak kunjung membaik. Sebagaimana dicatat Paul H. Lewis, tingkat inflasi tahunan mencapai 920 persen, GNP turun sebesar 4,4 persen pada kuartal pertama tahun 1976, dan investasi kotor tetap jatuh sebesar 16.7 persen, defisit anggaran setara dengan 13.5 persen GDP, dan defisit anggaran berimbang mencapai $600 juta.
Proposal Kaum Liberal
Kalangan liberal berpendapat, rendahnya tingkat pertumbuhan ini disebabkan oleh rendahnya komitmen pemerintahan Isabel Peron, untuk menjalankan program liberalisasi ekonomi secara konsisten. Mereka juga mengklaim, krisis ekonomi terjadi karena kalangan liberal tidak diberi kesempatan untuk mengimplementasikan kebijakannya karena selalu disabotase oleh kekuatan populis dan developmentalis.
Sebagai jalan keluar dari krisis berkepanjangan itu, kaum liberal mengajukan tiga proposal: pertama, melenyapkan Peronisme dan melikuidasi kekuatan serikat pekerja; kedua, mengurangi intervensi negara secara drastis; dan ketiga, menghapuskan sektor-sektor industri yang tidak efisien. Pada poin ketiga ini, mereka mengusulkan agar pasar domestik dibuka bagi kompetisi asing. Tetapi, sebagaimana ditulis Marcelo Cavarozzi, revolusi liberal itu mensyaratkan satu hal: "negara harus mendisiplinkan dirinya sendiri.”
Momentum untuk mendisiplinkan negara itu tiba, ketika pada pertengahan 1970an, terjadi perubahan sikap politik di kalangan militer Argentina. Untuk pertama kalinya dalam sejarah negeri itu, ideologi liberal memikat kalangan militer, khususnya kegigihannya dalam menyatakan bahwa pasar harus menjadi satu-satunya mekanisme dari alokasi sumberdaya, kritik kaum liberal terhadap industri-industri artifisial, dan intervensi negara yang menyebabkan pasar terdistorsi. Kesempatan ini tidak disia-siakan kaum liberal. Secara proaktif mereka mengajukan tiga ancaman bagi masyarakat Argentina yang harus dienyahkan: pertama, segenap bentuk subversi – termasuk agitasi gerilyawan, agitasi rakyat, perilaku menantang dalam sekolah-sekolah, pabrik-pabrik dan dalam keluarga, serta sikap mempertanyakan otoritas secara umum; kedua, masyarakat politik populis – Peronisme, serikat pekerja, kalangan oposisi ‘penurut’ yang terdiri dari Partai Radikal dan sayap kiri di parlemen; dan ketiga, sektor industri yang tidak efisien, yang menjadi basis bagi ekonomi urban bersama-sama dengan kelas pekerja yang tidak disiplin.
Ujung dari persekutuan ini, adalah kudeta militer pada 1976. Kudeta ini dipimpin oleh jenderal Jorge Rafael Videla, kepada pemerintahan sipil Isabel Peron. Tampaknya, proposal kaum liberal ini diadopsi sepenuhnya oleh rejim junta militer. Kembali mengutip Cavarozzi, naiknya militer ke tampuk pemerintahan membawa tiga akibat: pertama, pengingkaran absolut terhadap hukum; kedua, pengambilalihan kekuasaan-kekuasaan konstitusional pemerintah oleh ketiga cabang angkatan bersenjata, yang membagi pengendalian negara sampai sejauh pelosok pedesaan; dan ketiga, penyelenggaraan kekuasaan tertinggi oleh kaum panglima.
Cengkeraman militer ini memang membuahkan stabilitas politik yang sulit tercipta di masa-masa sebelumnya. Tapi, pada saat bersamaan, rakyat Argentina memasuki masa-masa kegelapan. Atas nama doktrin keamanan nasional, rejim junta ini membungkam suara para oposan yang disebutnya kaum teroris, dengan menjalankan apa yang disebut “perang kotor/dirty war.” Tujuannya adalah memangkas habis gerilya kota, melalui penciptaan iklim ketakutan massal sehingga melumpuhkan jaringan kerja para gerilyawan perkotaan itu. Strategi ini bekerja melalui sebuah inti kecil yang disebut focos, yang beroperasi di kota-kota besar. Film Imagining Argentina, yang dibintangi Antonio Banderas dan Emma Thompson, merupakan rekonstruksi yang baik tentang bagaimana focos ini bekerja.
Hasilnya, sebagaimana dilaporkan oleh the OAS Inter-American Human Rights Commission, diperkirakan sekitar enam ribu orang hilang tak tentu rimbanya. Jumlah yang lebih besar dilaporkan Amnesty Internasional yakni, sekitar 20 ribu. Sementara, laporan yang dibuat oleh Komisi Nasional Untuk Orang Hilang Argentina, hampir sembilan ribu kasus orang hilang yang terjadi di bawah pemerintahan militer dari 1976 hingga 1983.
Seturut dengan berkuasanya rejim junta militer, mereka mengangkat José Alfredo Martínez de Hoz, sebagai menteri ekonomi. Martínez de Hoz, adalah seorang keturunan dari keluarga estenaciero yang terhormat di Argentina, sejak abad ke-18. Ia mendapatkan gelar doktoralnya dari Cambridge University, Inggris, dalam bidang ilmu hukum, dan kemudian menjadi profesor hukum kepemilikan pedesaan di universitas Buenos Aires, Argentina. Ia juga menjabat sebagai presiden Acindar, sebuah perusahaan baja swasta terbesar di Argentina.
Setelah dilantik sebagai menteri ekonomi, pada 2 April 1976, Martínez de Hoz mengatakan, ada dua penyebab utama kebangkrutan ekonomi Argentina: pertama, intervensi negara yang sangat besar dalam bidang ekonomi; dan kedua, usaha-usaha kaum nasionalis untuk membangun sistem ekonomi yang tertutup. Untuk mengatasi dua penyakit utama ini, ia mengeluarkan kebijakan minimalisasi peran negara melalui privatisasi perusahaan negara secara besar-besaran, rasionalisasi (baca: pemecatan) pejabat publik, pemotongan tingkat upah hingga ke taraf yang normal, serta mendorong terciptanya pasar bebas dan perdagangan bebas. Kemudian agar ekonomi pasar bekerja, kebijakan yang ditempuhnya adalah mengurangi pajak ekspor dan dividen serta menghilangkan kontrol terhadap tingkat harga, mempromosikan perdagangan luar negeri yang lebih besar melalui deregulasi tingkat pertukaran dan pengurangan tingkat tarif.
Setelah stabilitas politik tercipta, setelah kebijakan yang pro-pasar diterapkan, bagaimana performa ekonomi Argentina? Saya mau mengutip Joseph Halevi, selama masa kediktatoran militer dari 1976-1983, jumlah utang luar negeri meningkat hampir empat kali lipat, dari $7 miliar pada 1976 menjadi $35.7 miliar pada 1981. Komponen terbesar dari utang itu, 68 persen pada 1976 dan 56 persen pada 1981, digunakan untuk membiayai peralatan militer yang mendapat dukungan luas dari pemerintah Amerika Serikat. Padahal, kerugian yang diderita industri yang dikuasai militer diperkirakan mencapai lebih dari $600 juta pada 1980. Hasilnya, ekonomi Argentina tak kunjung membaik. Pada perempat terakhir tahun 1977, ekonomi Argentina benar-benar tenggelam dalam resesi yang membuat frustasi Martínez de Hoz.
Sebagai respon, pada 20 Desember 1978, Martínez de Hoz melakukan perubahan kebijakan yang sangat radikal. Bertentangan dengan ideologi pasar bebas, ia mengakhiri sistem free exchange rate dan mengumumkan devaluasi di bawah harga inflasi domestik. Devaluasi ini dikaitkannya dengan inflasi dunia, yang menyebabkan barang-barang asing membanjiri pasar Argentina dengan harga murah. Akibatnya, krisis makin bertambah parah. Keadaan ini secara politik mengancam kredibilitas rejim junta militer, yang memosisikan dirinya sebagai simbol dan penyelenggara keamaan nasional.
Maka, pada akhir Maret 1981, junta mengangkat jenderal Roberto Eduardo Viola Prevedini menggantikan jenderal Jorge Rafael Videla. Martínez de Hoz juga tak luput dari pergeseran keseimbangan politik yang baru. Posisinya diganti oleh Lorenzo Sigaut.***
Kepustakaan:
Coen Husain Pontoh, “Malapetaka Demokrasi Pasar,” Resist Book, 2005.
John Ward, “Latin America Development and Conflict Since 1945,” Routledge, 1997.
Joseph Halevi, “The Argentine Crises,” Monthly Review, Vol. 53 No. 11, 2002.
Marcelo Cavarozzi, “Siklus Politik di Argentina Sejak 1955” dalam Guillermo O’Donnell et.al. “Transisi Menuju Demokrasi Kasus Amerika Latin,” Jakarta LP3ES, 1993.
Paul H. Lewis, “The Crises of Argentine Capitalism” The University of North Carolina Press, 1992.