Noer Fauzi
Masalah penguasaan tanah (dapat diluaskan kepenguasaan alam), sangat relevan dipersoalkan saat ini. Sependek masa yang dikenal sebagai masa “reformasi,” semenjak 1998, di seantero pedesaan Indonesia, telah terjadi perubahan-perubahan yang penting dalam konteks tata penguasaan tanah dan kekayaan alam seperti, hutan, sumber-sumber tambang, air, pesisir dan laut.
Perubahan konteks dari “siapa yang dapat memiliki, menggunakan dan mengelola, serta siapa yang mengontrol akses atas tanah, dan siapa yang memperoleh manfaat darinya” telah menjadi pusat perhatian penduduk setempat, para akademisi, aktivis gerakan sosial, manajer dan/atau konsultan-konsultan proyek, serta para pengelola usaha-usaha kegiatan konservasi, maupun para pegawai pemerintahan di pusat maupun di daerah – yang bekerja di belakang meja maupun di lapangan. Penguasaan tanah dan sumber-sumber alam lainnya, bukan hanya menjadi “sumber daya yang diperebutkan” tapi, telah menjadi ajang dari “pertarungan paradigma,” dimana berbagai jawaban telah disodorkan agar dipakai oleh pembuat kebijakan maupun para pelaku di lapangan.
Pada umumnya, para pelaku di lapangan dihadapkan dengan perkara-perkara praktis-teknis. Akibatnya, jawaban yang diberikan diharapkan dapat segera dirasakan oleh mereka yang berkepentingan langsung. Sementara, para pembuat kebijakan dihadapkan pada konstelasi kekuasaan yang aktual, serta desakan untuk mengubah kebijakan yang lama. Namun, acap kali, pilihan perubahan kebijakan dan implementasinya bukanlah pilihan yang didasarkan atas ketepatan untuk menjawab masalah-masalah yang ada tapi, lebih pada siapa yang lebih berpengaruh dalam menentukan arah perubahan kebijakan.
Birokasi pemerintahan di bawah rejim otoritarianisme Orde Baru, dari level pusat dan lebih-lebih di daerah, tidak membutuhkan rumusan yang akurat tentang apa masalah dan tantangan aktual yang sesungguhnya terjadi. Budaya birokrasi yang mengutamakan “apa yang dikehendaki atasan” ketimbang “apa yang dihadapi masyarakat,” telah menumpulkan kepekaan dan kemampuan merumuskan pertanyaan yang tepat dari masalah penguasaan tanah dan kekayaan alam. Walhasil, seringkali kegagalan kebijakan terjadi karena ketidaktepatan memilih jawaban atas persoalan yang sebenarnya dihadapi. Banyak energi terbuang sia-sia, bukan hanya karena korupsi, kolusi dan nepotisme - sebagaimana populer digeneralisasikan untuk semua persoalan di Indonesia – tapi, lebih karena tidak relevannya jawaban-jawaban yang dipilih atau disodorkan untuk menyelesaikan beragam soal yang ada. Oleh karena itu, kebijakan mengenai atau yang mempengaruhi penguasaan tanah dan sumber-sumber alam, sudah waktunya untuk dipertanyakan.
Kebijakan-kebijakan tersebut, tidak lagi relevan dengan perubahan-perubahan yang terjadi. Apakah itu perubahan pemerintahan di tingkat nasional yang erat kaitannya dengan perubahan politik global, tekanan ekonomi makro, dan perubahan sistem politik. Atau, perubahan pemilikan tanah dan sumber-sumber alam yang erat kaitannya dengan tekanan-tekanan yang dilakukan masyarakat setempat, tuntutan pemerintahan di tingkat kabupaten yang mendesakkan adanya desentralisasi, dan desakan industri baik yang bersifat ekstraktif maupun institusi atau lembaga yang bergerak dalam upaya-upaya pelestarian alam.
Reaksi dan Resistensi Komunitas
Sepanjang tanah-tanah yang dikuasai komunitas lokal, termasuk masyarakat adat, tidak dimasukkan dalam golongan tanah-tanah yang dilekati dengan hak milik, konflik antara masyarakat lokal dengan para penguasa tanah luas di kawasan hutan maupun non kawasan hutan akan terus terjadi. Apakah itu ditujukan untuk kepentingan produksi maupun konservasi. Di masa Orde Baru, tanpa pemberitahuan dan persetujuan sebelumnya, pemerintah pusat telah memasukkan tanah-tanah mereka ke dalam hak-hak pemanfaatan tertentu, baik berupa Hak Pengusahaan Hutan (HPH), Kontrak Karya Pertambangan (KKP), Hak Guna Usaha (HGU), atau bentuk lainnya.
Namun demikian, resiko yang diterima golongan-golongan dalam masyarakat lokal tidak merata. Kaum elite akan lebih mudah beradaptasi, karena biasanya mereka memiliki berbagai sumber pendapatan dan juga jaringan dukungan di luar komunitas, bahkan hingga di kota-kota. Dengan tabungan dan modalnya, mereka dapat bergerak lebih leluasa. Sementara mereka yang miskin dan melulu hidup bergantung pada tanah dan kekayaan alam, seperti petani penggarap, peladang, atau pencari-pengambil hasil hutan merupakan penerima resiko terbesar. Di kalangan ini, kaum perempuanlah yang paling menderita. Mereka mengalami tiga beban sekaligus: dari kemiskinan mereka, dari ketimpangan pembagian kerja dan tanggungjawab dalam keluarga, dan dari kodrat mereka sebagai pengandung, pelahir, dan pemberi susu pada bayi mereka.
Tidak banyak jalur jalan yang dapat ditempuh oleh kebanyakan masyarakat-masyarakat miskin dan tinggal di pedesaan-pedalaman, untuk mendapatkan pengakuan hak atas tanah-tanah yang telah dan masih akan dikuasainya secara turun-temurun. Lebih sulit lagi, untuk mendapatkan kembali apa-apa yang telah dirampas darinya. Sekedar menyesuaikan diri dan berserah diri pada rekayasa penguasa, dengan sendirinya akan menyengsarakan kehidupan ekonomi, sosial dan budaya. Bukan hanya untuk masyarakat yang telah hidup, tapi juga keturunan berikutnya.
Pilihan lain yang biasanya tersedia bagi segelintir elite adalah ikut membantu lancarnya usaha-usaha perolehan tanah tersebut, sambil di sana-sini mencoba menarik keuntungan sebagai free rider, dan mengkhianati komunitasnya secara umum, sambil berusaha dan berharap mempertahankan legitimasi atas kedudukannya. Sedangkan bagi massa kebanyakan, mereka cenderung menghindari konfrontasi terbuka, walaupun tidak menyerah begitu saja. Mereka melakukan perlawanan secara diam-diam dan terus-menerus dengan maksud mengurangi resiko. Protes terbuka atas penetapan sepihak yang dilakukan sejumlah korban, hanya akan berbenturan dengan aparatus represif negara, baik polisi dan tentara teritorial maupun birokrasi pemerintahan dan hukum.
Satu pilihan lain yang tersedia bagi para pemrotes terbuka itu, secara kebetulan atau terencana, adalah bergabung dengan dan mendapatkan pembelaan dari aktivis individual maupun yang banyak tergabung dalam organisasi-organisasi non-pemerintah (ornop) yang umumnya juga bagian dari jaringan ornop internasional. Nasib selanjutnya, bergantung pada hubungan kerja bersama itu dan kekuatan serta kesempatan politik yang tersedia untuk mempertahankan dan mengembangkan diri dan komunitasnya. Beruntung bila hubungan tersebut dapat menggabungkan diri dalam gerakan sosial pedesaan yang dapat menjamin akses mereka atas tanah dan kekayaan alam, seperti yang ditunjukkan oleh berbagai serikat petani maupun aliansi¬aliansi masyarakat adat.
Pengakuan atau Penyangkalan
Sudah begitu banyak penyebaran informasi oleh ornop, Komnas HAM, juga oleh segelintir kalangan akademisi, mengenai ciri dan besarnya pelanggaran HAM pada penguasaan tanah masyarakat-masyarakat lokal sejak masa Orde Baru hingga kini. Pertanyaannya, mengapa masih saja terjadi penyangkalan atas gejala pelanggaran HAM atau tidak mengakui adanya pelanggaran tersebut dan kemudian mengupayakan kompensasi, restitusi (mengembalikan), dan bila mungkin, merehabilitas hak-hak dan kondisi korban? Tema umum yang telah lama diselidiki Stanley Cohen ini memang dapat merangsang penelitian akademik tersendiri (lihat: Stanley Cohen, "Denial and Acknowl¬edgement: The Impact of Information about Human Right Violation," 1995; dan "State of Denial: Knowing about Atrocities and Suffering," 2001). Namun, yang lebih menantang adalah menemukan cara-cara yang baik agar pengakuan atas pelanggaran HAM itu dapat menemukan bentuk praktisnya yang layak – baik merupakan perwujudan dari konsep kewajiban negara maupun, sebagai hasil dari advokasi para korban dan pendukungnya.
Dalam konteks desentralisasi, dapat dimengerti usaha-usaha segelintir orang mewujudkan pengakuan hukum atas kedudukan masyarakat adat beserta hak-hak yang melekat atasnya (hak ulayat, hutan adat dan lainnya) seperti, dalam bentuk peraturan-peraturan daerah. Meski perlu terus dicermati hasil dan konsekuensi dari peraturan-peraturan daerah ini. Namun, hal itu sama sekali tidak cukup. Bisa saja hal itu merangsang suatu bentuk perjuangan untuk meminta agar kondisi dan penguasaan tanah dikembalikan pada keadaan seperti semula. Namun hal ini tidak mungkin dalam wujud yang praktis. Ibarat sebuah lukisan yang telah tercabik-cabik, kita tidak dapat mengembalikan cabikan itu pada tempat semula, sebab piguranya telah berubah. Konteks ketika tanah dan kekayaan alam itu diambil, sangat berbeda dengan konteks ketika (kalau saja terjadi) tanah dan kekayaan alam itu hendak dikembalikan.
Yang diperlukan adalah suatu reforma agraria. Reforma agraria adalah politik redistribusi aset produktif bagi kaum miskin di pedesaan, yang pada gilirannya, setelah diberikan suatu asistensi modal, pendidikan dan teknologi, akan menghasilkan pembentukan modal di dalam wilayah pedesaan. Hal ini berbeda kontras dengan politik pertumbuhan yang terus-menerus memfasilitasi konsentrasi penguasaan aset produktif di tangan perusahaan, terutama milik pribadi domestik dan lebih-lebih asing, melalui strategi akumulasi sambil mengambil aset kepemilikan publik maupun, akumulasi modal secara meluas melalui produksi, perdagangan dan perluasan konsumsi. (Mengenai strategi ganda dari rejim kapitalis neoliberal saat ini, tiga buku baru David Harvey sangat relevan untuk dirujuk di sini, "The New Imperialism," 2003; "A Short History of Neoliberalism," 2005, dan "Spaces for Global Capitalism: Toward a Theory of Uneven Geo¬graphical Development," 2006).
Namun, siapa peduli dengan reforma agraria di jaman Indonesia dikungkung rejim neoliberal dewasa ini?
Berkeley, 23 Agustus 2006
* Dengan versi yang sedikit berbeda, tulisan ini dimuat di Forum Keadilan Edisi No.19, 03 September 2006
Noer Fauzi Sekarang sedang menjadi mahasiswa program doctoral pada Department of Environmental Science, Policy and Management (ESPM) – University of California at Berkeley.