Wahyu Susilo
Hari ini, (9/11/2006), Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa meluncurkan Laporan Tahunan Pembangunan Manusia (Human Development Report) 2006 yang bertajuk Beyond Scarcity: Power, Poverty, and the Global Water Crisis.
Laporan itu selalu menjadi rujukan perencanaan pembangunan dan menjadi salah satu indikator kegagalan atau keberhasilan sebuah negara menyejahterakan rakyatnya. Selama satu dekade, Indonesia berada pada tier medium human development peringkat ke-110, terburuk di Asia Tenggara setelah Kamboja.
Posisi Indonesia anjlok
Tampaknya posisi Indonesia tahun ini tidak berubah, bahkan dikhawatirkan kian anjlok. Indikator kemerosotan ini terlihat saat terjadi peningkatan angka kemiskinan dari 15,97 persen (Februari 2005) menjadi 17,75 persen (Maret 2006). Kemerosotan kualitas hidup manusia Indonesia juga ditunjukkan dalam laporan regional pencapaian Millennium Development Goal Asia Pacific yang diluncurkan 16 Oktober 2006 oleh ADB-UNDP-UNESCAP. Dalam laporan berjudul The Millennium Development Goal, Progress Report in Asia and the Pacific 2006, Indonesia ditempatkan pada peringkat terburuk negara-negara yang terancam gagal mencapai target MDGs tahun 2015 bersama Banglades, Laos, Mongolia, Myanmar, Pakistan, Papua Niugini, dan Filipina.
Ancaman kegagalan disebabkan kecilnya alokasi pembelanjaan produk domestik bruto untuk sektor pendidikan dan kesehatan. Ini membuat Indonesia gagal menyehatkan anak-anak balita. Jumlah anak balita dengan berat badan di bawah normal meningkat, Indonesia juga dinilai stagnan, cenderung gagal meningkatkan proporsi anak sekolah masuk kelas I SD dan bertahan bersekolah pada kelas V.
Realitas itu sangat kontras dengan klaim keberhasilan pemerintahan SBY-Kalla seperti dituangkan dalam Laporan Kinerja Dua Tahun Pemerintahan SBY-Kalla: Berjuang Membangun Kembali Indonesia, diterbitkan Bappenas Oktober 2006.
Air bersih
Mengacu tajuk HDR 2006 yang berfokus pada akses rakyat terhadap air, akan ditemukan konteksnya di Indonesia. Berkali-kali diingatkan, masih banyak rakyat Indonesia terjauhkan aksesnya dari air bersih. Berdasarkan data Susenas tahun 2002, dari 29 provinsi di Indonesia, hanya ada sembilan provinsi yang ada di atas angka rata-rata Indonesia untuk akses air bersih. Artinya, kesenjangan masih tinggi.
Dalam terminologi sanitasi, yang dikatakan air bersih di Indonesia adalah clean water (bersih, tetapi harus dimasak untuk bisa diminum) bukan safe water (layak minum tanpa dimasak). Artinya, jika menggunakan kategori safe water, Indonesia masih jauh ketinggalan.
Situasi itu mendorong beberapa donor multilateral dan bilateral mendesak Indonesia memiliki regulasi tentang sumber daya air. Namun, agenda utama mereka bukan mendekatkan rakyat miskin pada akses terhadap air bersih, tetapi jaminan legal bagi investasi pengelolaan sumber daya air. Bagi donor multilateral dan bilateral, penyertaan investasi sektor swasta adalah mutlak untuk pengelolaan sumber daya air. Ideologi inilah yang menjiwai UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Sementara dalam perspektif pemenuhan hak-hak ekonomi sosial dan budaya, negara bertanggung jawab untuk penyediaan dan pengelolaan sumber daya air sebagai pelayanan publik. Dikhawatirkan, jika ada regulasi yang membuka ruang keterlibatan sektor privat untuk pengelolaan air, mandat pelayanan publik akan tersingkirkan.
Studi Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KRuHA) menunjukkan, praktik privatisasi PDAM di Jakarta dan Batam terbukti gagal memberikan pelayanan lebih baik dalam penyediaan air bersih. Di Jakarta, tarif air kian mahal, tetapi kucuran air makin kecil dan keruh. Di Batam, sektor industri lebih menikmati kucuran air PDAM ketimbang rakyat miskin.
Krisis ini bisa diatasi jika pemerintah memiliki political will untuk pengelolaan sumber daya air. Kebijakan itu adalah komitmen untuk mengalokasikan anggaran (dari APBN) guna penyediaan dan pemeliharaan infrastruktur sumber daya air. Jika pemerintah tetap berharap ada investor mau menyediakan infrastruktur sumber daya air, jangan harap air akan mengucur ke rakyat miskin secara murah.
Harus diakui, tidak ada hal signifikan yang dilakukan pemerintah untuk peningkatan human development di Indonesia. Ini jelas ditunjukkan dalam alokasi APBN kita yang pelit bagi rakyat miskin, royal untuk birokrasi, dan boros membayar utang. Rendahnya peringkat human development sering bukan dijadikan cermin untuk bangun, tetapi selalu direspons secara reaksioner dengan menyatakan bahwa Indonesia punya indikator sendiri.
Wahyu Susilo Project Officer MDGs di International NGO Forum on Indonesia Development (INFID)
Artikel ini sebelumnya dimuat di harian Kompas, 9 Nop. 2005.