Budiman Sudjatmiko
Dalam pidato kebudayaannya Neoliberalisme dan Sifat Elusif Kebebasan, yang disampaikan di Taman Ismail Marzuki, B Herry-Priyono mengingatkan kita tentang watak kebebasan yang dibatalkan oleh neoliberalisme.
Sebagaimana diketahui, kebebasan diklaim selalu ada dalam setiap jenis liberalisme, tetapi serta-merta ia dibatalkan oleh prasyaratnya sendiri, yaitu oleh ketidaksamaan daya beli (Kompas, 11/10). Kebebasan dalam neoliberalisme rupanya tidak dibatalkan oleh sesuatu yang lain.
Kita tahu bahwa setiap kurun zaman selalu melahirkan asumsi-asumsi kolektifnya sendiri. Asumsi kolektif zaman kita, terutama dalam dua ratus tahun terakhir, adalah bahwa manusia memiliki pikiran, demikian kata seorang filosof Inggris, Bryan Magee. Hal ini menyebabkan manusia kembali menjadi subyek politik yang diejawantahkan dalam slogan revolusi Perancis yang legendaris itu, yaitu Kebebasan, Kesetaraan, dan Persaudaraan.
Kontrak sosial
Serta-merta saja kita bisa melihat bahwa slogan tersebut mengokohkan ideal-ideal yang mungkin bisa dicapai manusia sebagai makhluk berdaulat. Namun, dalam praktiknya, ambillah contoh kebebasan itu sendiri, ia mengalami kontradiksi ketika optimalisasi atas kebebasan seseorang mau tak mau dibatasi oleh optimalisasi kebebasan orang lain dan sebaliknya dan seterusnya. Saya akan menyebut ini sebagai kontradiksi kebebasan yang bersifat prosedural. Dan justru itu terjadi dengan asumsi bahwa kemampuan setiap orang setara. Mekanisme pembatasan kebebasan yang prosedural ini berlaku secara adil (fair).
Kesetaraan inilah yang oleh seorang teoretisi liberal tentang keadilan Universitas Harvard, John Rawls, disebut sebagai sesuatu yang fair atau keadilan sebagai fairness. Keadilan sebagai fairness, menurut Rawls, mengasumsikan adanya keadaan awal sekelompok pandu pertiwi (core leaders) sebuah komunitas negara bangsa yang terdiri dari orang-orang rasional yang menyusun aturan main dalam komunitas tersebut. Asumsinya adalah terdapatnya orang-orang rasional, bermoral, tidak mementingkan diri sendiri, dan bahkan tidak tahu apa keuntungan-keuntungan yang diperoleh pihak tertentu atas lahirnya sebuah kesepakatan bersama. Mereka lazimnya terdiri dari para cerdik cendekia, pemimpin politik, dan pemimpin agama.
Peristiwa sosial yang lazimnya mewarnai situasi semacam ini terjadi pada kesepakatan-kesepakatan yang muncul saat kelahiran sebuah negara bangsa baru. Lahirnya Declaration of Independence di Amerika Serikat maupun Pancasila dalam konteks kemerdekaan Indonesia adalah ciri-ciri kontrak sosial yang lahir dari keadaan ini.
Para pendiri bangsa merasa ada dalam situasi yang setara di mana ini memastikan bahwa tak seorang pun diuntungkan atau dirugikan dalam prinsip-prinsip berdasarkan hasil peluang yang alamiah atau ketidakpastian keadaan-keadaan sosial (Rawls, Theory of Justice). Kebesaran hati para tokoh Islam untuk membatalkan teks dalam Piagam Jakarta dan mempertahankan sila pertama dari Pancasila yang lebih universal kiranya lahir dari pemahaman ini. Di dalamnya, resiprositas menjadi nilai pokok maupun cara memecahkan soal-soal falsafah dasar bangsa.
Dalam proses itulah kebebasan sebagai prinsip umum tidak bertentangan dengan keadilan sebagai fairness.
Merentang hukum pasar
Namun, bagaimana dengan ide kebebasan sebagai perentangan aplikasi prinsip pasar ke semua relasi kehidupan, di mana ia mengasumsikan adanya ketimpangan daya beli sebagaimana disinggung oleh Herry-Priyono dalam hubungannya dengan keadilan sebagai distributive act?
Sejak awal tema kebebasan memiliki kontradiksi prosedural yang adil (fair). Kontradiksi itu dibuyarkan oleh perbedaan kemampuan daya beli. Maka aspirasi keadilan/kesetaraan sebagai tindakan distributif adalah tawaran alternatif yang secara substansial justru hendak menyelamatkan kebebasan itu. Dengan begitu, diharapkan kebebasan tetap bersifat dinamis dalam kontradiksi proseduralnya dan secara fair membagi sumber daya.
Ketika kebebasan di antara yang setara itu dibatalkan dengan kebebasan di antara yang tidak setara, maka sejak awal mula problemnya bukan pada kebebasan itu sendiri, melainkan pada soal ketidaksetaraan. Sebagai bangsa, kita memang sudah cukup teruji dalam mempertahankan keadilan sebagai fairness, hal ini terbukti dengan sudah diterimanya Pancasila sebagai dasar negara dan masih diberlakukan sampai sekarang. Karena proses penerimaan Pancasila sudah membuktikan kerelaan dan ketidaktahuan yang perlu para pendiri bangsa atas motif-motif primordialnya sendiri saat mendirikan republik ini. Persis yang belum teruji dari kita hingga 61 tahun merdeka adalah komitmen dalam mewujudkan keadilan sebagai distributive act.
Alih-alih mendekatkan diri ke arah tersebut, kita malah makin jauh dengan mulai sedikit demi sedikit kita merentangkan hukum pasar untuk mengatur semua relasi kehidupan kita, mulai dari urusan politik, budaya, kesehatan, pendidikan, agama, dan lainnya. Kita bukan saja kehilangan imajinasi kolektif bangsa, bahkan kehilangan kolektivitas itu sendiri. Saya cemas bahwa para pandu pertiwi zaman kita sudah kehilangan kemampuan berimajinasi dan bahkan kehilangan kemampuan berpikir.
Imajinasi kolektif
Sebuah negara bangsa yang dalam perjalanannya tidak mendasarkan diri pada prinsip-prinsip keadilan akan dengan mudah diluluhlantakkan oleh perkembangan zaman. Ketika akhir- akhir ini sejumlah negara di Amerika Latin berupaya menjalankan prinsip-prinsip keadilan sebagai distributive act, baik melalui kebijakan-kebijakan nasionalisasi maupun distribusi sumber daya alam, harus kita baca sebagai upaya mencegah fragmentasi tadi. Keberagaman etnis dan ketimpangan sosial yang mencolok adalah syarat yang lebih dari cukup untuk memunculkan konflik-konflik tersebut.
Kita perlu mengantisipasi konsekuensi-konsekuensi bahwa manusia itu memiliki pikiran dan juga pasti memiliki imajinasi kolektif. Imajinasi kolektif inilah yang oleh sejumlah pemimpin di Amerika Latin diterjemahkan sebagai imajinasi atas kemandirian (tanpa menjalankan politik pintu tertutup) untuk aspirasi keadilan yang distributif atas sumber daya. Artikel Amien Rais, Nasionalisasi Migas ala Bolivia, di harian ini telah menjelaskan itu secara definitif (Kompas, 13/11). Persoalan-persoalan seperti ketimpangan daya beli hanyalah puncak gunung es dalam level transaksional, padahal pangkalnya adalah ketimpangan pada level kedaulatan/penguasaan atas sumber daya sosial-ekonomi pada tahapan produksi.
Para pendiri bangsa yang merumuskan Pancasila dan menempatkan sila keadilan sosial dalam posisi kelima bukanlah soal prioritas, melainkan merupakan proyeksi sekaligus antisipasi atas imajinasi kolektif semacam itu.
Memang, sebuah perjuangan bagi keadilan yang benar tentunya bukanlah perjuangan untuk membatalkan kesepakatan atas kebersamaan nasionalitas kita, misalnya kembali ke prinsip etno-religius dan kemudian mengusulkan kebijakan affirmative action yang rasis. Karena sebagaimana sudah disinggung di atas, kebersamaan kita juga merupakan buah keadilan sebagai fairness yang diusung para pandu pertiwi Indonesia yang berlatar beragam etnis dan agama.
Kendati demikian, kebersamaan nasionalitas kita juga bukanlah cek kosong yang bisa ditulis para pemimpin, bergantung pada harga yang disepakati dalam mekanisme pasar untuk dijual dalam bukan cuma daya tawar yang timpang, tetapi juga informasi yang asimetris atas sumber daya kita.
Moga-moga kita tidak terlambat dalam melintasi jalan keadilan ini.***
Budiman Sudjatmiko Direktur Eksekutif ResPublica Institute dan Departemen Pemuda/Mahasiswa DPP PDI Perjuangan.
Artikel ini sebelumnya dimuat di Kompas, 16 Nopember 2006.