Membunuh dengan Data

Sri Palupi

Debat soal angka kemiskinan sama basinya dengan data kemiskinan yang dipakai tim ekonomi pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Dari zaman pemerintahan Soeharto hingga SBY, perdebatan ihwal data kemiskinan tak pernah bergeser dari tinggi rendahnya angka. Sampai-sampai kita tidak menyadari, di tengah situasi ekonomi yang belum membaik, permainan data dapat menjadi strategi alternatif untuk mengurangi kemiskinan berbiaya murah.


Konsekuensi etis

Ketika krisis ekonomi mulai dirasakan tahun 1998, pemerintah panik dengan tingginya angka kemiskinan, 39,1 persen yang dikeluarkan BPS saat itu. Kepanikan ini memaksa pemerintah mengundang berbagai pihak untuk mengoreksi angka kemiskinan, yang dinilai akan menimbulkan pesimis berlebihan. Muncul kemudian angka kemiskinan konsensus sebesar 24,2 persen sebagai angka resmi. Jadi bukan kebijakannya yang dievaluasi dan dikoreksi, tetapi angka kemiskinannya.

Hal senada terjadi dalam pemerintahan SBY. Dulu kepanikan pemerintah diatasi dengan mengoreksi angka kemiskinan. Kini kepanikan pemerintah diatasi dengan menggunakan data basi. Sebab angka kemiskinan kuartal I 2006 yang hendak diumumkan BPS pada 26 Juli 2006 ternyata meningkat tajam dibanding tahun sebelumnya (Investor Daily, 28/7/2006).

Peningkatan ini dinilai tim ekonomi pemerintah tidak sesuai data pertumbuhan ekonomi. Jika angka kemiskinan kuartal I 2006 yang dipakai, pemerintah akan dinilai gagal dan citra pemerintah akan merosot. Kepanikan pemerintah memaksa BPS menunda publikasi angka kemiskinan kuartal I 2006 dan bersepakat untuk menghitung kembali angka kemiskinan itu dengan mengubah sejumlah indikator.

Sekali lagi, bukan kebijakan yang dikaji dan dikoreksi, tetapi indikator kemiskinannya. Selama ini pemerintah meletakkan masalah tingginya angka kemiskinan bukan pada kebijakan yang telah melahirkan pemiskinan, tetapi pada indikatornya. Ibaratnya, buruk rupa cermin dibelah.

Munculnya angka kemiskinan hasil konsensus, adanya kesepakatan mengubah indikator dan digunakannya data basi dalam pidato presiden menegaskan, di hadapan kekuasaan, data kemiskinan hanya sederetan angka statistik yang bisa digeser dan diubah sesuai dengan kepentingan.

Yang memprihatinkan, masih ada sejumlah ekonom yang melihat masalah penggunaan data kemiskinan sekadar masalah penafsiran, terlepas dari persoalan manipulasi. Mereka ini mengabaikan realitas, pemilihan indikator dan penggunaan data kemiskinan oleh pemerintah membawa konsekuensi etis atas hidup matinya jutaan orang miskin.

Alat membunuh

Jika penggunaan data kemiskinan hanya dilihat sebagai soal interpretasi, memang tidak ada yang salah dengan penggunaan data basi dalam pidato presiden. Adalah benar, tingkat kemiskinan menurun bila kita membandingkan data kemiskinan Februari 2005 dengan data kemiskinan tahun 1999. Namun, jika kita bandingkan dengan data terbaru BPS, maka angka kemiskinan meningkat dari 15,97 persen pada Februari 2005 menjadi 17,75 persen pada Maret 2006. Angka terbaru ini pun dinilai banyak ekonom sebagai terlalu rendah karena tak konsisten dengan hasil survei BLT yang merefleksikan angka kemiskinan sebesar 23 persen. Apa konsekuensi penggunaan data basi?

Ketika perencanaan program pembangunan menggunakan angka kemiskinan 15,97 persen, sementara kondisi obyektif kemiskinan menunjukkan angka 23 persen, akan dikemanakan 7,03 persen penduduk miskin yang tidak diperhitungkan dalam perencanaan program? Mereka tentu akan dibiarkan mengatasi sendiri masalahnya. Jika bisa survive berarti mereka terus hidup. Jika tidak, dengan sendirinya angka kemiskinan berkurang akibat meningkatnya kematian orang miskin.

Konsekuensi etis dari penggunaan data kemiskinan ini dapat dilihat jelas dalam kasus penanganan busung lapar. Di NTT, misalnya, pada tahun 2005 mayoritas kabupaten menggunakan data lama tahun 2004 sebagai dasar untuk menyusun proyek penanganan busung lapar. Padahal, data itu sudah tidak sesuai dengan kondisi nyata. Yang terjadi, anak-anak penderita gizi buruk dan busung lapar yang tidak tercatat dalam data 2004 tidak tersentuh proyek penanganan busung lapar.

Padahal, dalam hitungan bulan, peningkatan jumlah anak busung lapar di beberapa kabupaten di NTT bisa mencapai 50 persen. Tidak mengherankan, betapa pun miliaran rupiah sudah dikeluarkan, tetapi masalah busung lapar belum juga dapat diselesaikan. Terbukti, jumlah anak- anak penderita busung lapar meningkat tajam dari tahun sebelumnya.

Juni 2005, jumlah anak penderita busung lapar di NTT 302 anak dan lima anak meninggal. Jumlah ini meningkat menjadi 523 anak pada Maret 2006 dan 61 anak meninggal. Ini baru yang tercatat. Masalahnya bukan sekadar akurasi data, tetapi juga keterbatasan anggaran.

Anggaran terbatas

Keterbatasan anggaran memaksa Pemerintah Provinsi NTT tidak menangani seluruh anak penderita busung lapar yang tercatat dalam data resmi pemerintah. Sebagai gambaran, di satu puskesmas tercatat 35 anak penderita gizi buruk dan busung lapar. Dari jumlah itu hanya 10 anak yang dipilih untuk ditangani. Artinya, 25 anak dibiarkan mengatasi sendiri. Di tingkat provinsi, dari seluruh anak penderita busung lapar yang tercatat dalam data resmi, 75 persen yang dipilih untuk ditangani. Sisanya? Tak jelas nasibnya.

Yang tercatat data resmi pemerintah saja tak diperhitungkan, apalagi yang tidak tercatat. Di Sumba Barat, misalnya, 32 anak meninggal akibat busung lapar dan tidak tercatat data resmi pemerintah. Dengan gambaran ini, bagaimana mungkin kita bisa memperlakukan data kemiskinan sebagai deretan angka yang bisa diinterpretasi sesuka kepentingan kita?

Selama ini kita tak begitu menghiraukan, di balik angka-angka kemiskinan itu tersembunyi jutaan anak-anak busung lapar yang hidup matinya bergantung pada bagaimana kita memperlakukan data. Atas data kemiskinan, kita hanya punya dua pilihan: menggunakannya untuk mengurangi kemiskinan dengan kebijakan yang dapat meningkatkan taraf hidup kaum miskin atau menggunakannya untuk membunuh orang miskin.

Sri Palupi Ketua Institute for Ecosoc Rights, Peserta Program Pascasarjana STF Driyarkara.

Artikel ini sebelumnya dimuat di harian Kompas, 5 September 2006.