Kaum Pergerakan dan Politik Lokal

Pengantar redaksi:
Kami menerima kiriman makalah dari penulis yang disampaikan pada diskusi Perhimpunan Rakyat Pekerja. “ Menggagas Jalan Perlawanan Rakyat Pekerja.” Gedung Joang, Jumat, 1 September 2006. Tulisan ini adalah bagian pertama dari dua tulisan.


Wilson

Pengantar

Transisi demokrasi di Indonesia tidak hanya menjadi medan pertarungan politik antara kekuatan demokratis dan kekuatan ororiterian Orde Baru tapi, juga arena pertarungan antara faksi kapitalisme internasional berhadapan dengan faksi oligarki kapital yang tumbuh dan besar karena menempel pada ‘kekusaan politik Soeharto dan militer.’ Karena itu, karakter dari kapitalisme yang muncul adalah kapitalisme yang yang berkarakter parasit, korup, cengeng, tidak mandiri, dan tidak mengembangkan kekuatan produktif (teknologi dan ilmu pengetahuan). Seluruh oligarki kapital yang tumbuh di seputar kekuasaan Soeharto ini harus menerima kenyataan bahwa pemodal/borjuasi asing adalah pemenang dalam kompetisi memperebutkan Indonesia dan seluruh sumber dayanya dan rakyatnya (Dita Sari, “Pilkadal Dan Kaum Pergerakan,” Wacana, Edisi 21, 2005).

Dalam proses melakukan dominasi, kekuatan modal internasional terpaksa harus mendukung (atau tepatnya, membonceng) liberalisasi politik yang telah diperjuangkan dengan tetesan keringat-darah oleh gerakan demokrasi di Indonesia. Artinya, mereka turut mendukung tuntutan gerakan demokrasi untuk menumbangkan kekuasaan Soeharto. Bagi kapitalisme internasional, turunnya Soeharto berarti ikut menghancurkan ‘kaki-kaki politik’ yang mendukung oligarki Soeharto dan kroninya, sekaligus menjadikan faksi kapitalisme internasional sebagai satu-satunya kekuatan paling dominan. Dalam kasus ini saya percaya, bahwa kekuatan modal internasional adalah PEMBONCENG POLITIK yang melakukan INTERVENSI dalam proses transisi demokrasi di Indonesia. Sementara pendorong utama yang menumbangkan Soeharto (dan perpecahan di dalam elit kekuasaan) adalah aksi-aksi ketidakpuasan rakyat dan gerakan demokrasi (yang makin merebak ketika krisis moneter) dan kemudian memuncak dengan aksi-aksi militan yang ‘dipimpin’ oleh gerakan mahasiswa (Diskusi dengan Max Lane, praxis, 19 Juli 2006). Ironisnya, dalam waktu cepat para pembonceng ini berhasil ‘memimpin’ proses liberalisasi politik dan mendapatkan agen-agen politik baru yang dilegitimasi melalui proses politik elektoral.

Proses liberalisasi politik, disatu sisi, juga memberikan ruang dan kesempatan bagi gerakan demokrasi progresif kerakyatan untuk mengembangkan organisasinya, melakukan propaganda, membanngun front dan koalisi, memajukan program-proram alternatif dan MERESPON POLITIK ELEKTORAL (Pemilihan Umum /Pemilu) untuk pertama kalinya pada Mei 1999. Saat itu, respon atas politik elektoral harus dimajukan atau paling tidak, menjadi alternatif ketika platform yang lebih ‘revolusioner’ seperti membentuk Pemerintahan Koalisi Kerakyatan dan gerakan boikot atau golput yang massif terbukti tidak dapat dilakukan.

Intervensi dari kekuatan ‘pasar bebas’ untuk mengarahkan proses demokrasi di Indonesia kepada faksi-faksi elit politik baru pro pasar bebas dalam berbagai partai terbukti cukup berhasil. Tidak rugi dana trilyunan rupiah dikucurkan oleh berbagai negara dan donor untuk mengawal kemunculan ‘kepemimpinan politik baru’ paska Seoharto, agar ‘sesuai atau sejalan’ dengan kepentingan-kepentingan pasar bebas. Hasilnya telah kita lihat, semua rejim yang berkuasa paska Soeharto seperti Habibie, Gus Dur, Megawati dan SBY-JK, semuanya tunduk, jinak dan menjalankan berbagai proses liberalisasi ekonomi secara terjun bebas, tanpa bisa di rem lagi. Dalam kasus Indonesia, prinsip pasar bebas adalah “tidak perduli apapun warna kucingnya, asal pro pasar bebas” atau dapat di baca “Siapapun rejim yang berkausa, apapun partainya, tidak begitu penting, yang penting pro pasar bebas.”

Kekuatan pasar bebas tidak hanya berhasil melakukan intervensi dalam pemilihan pemimpin eksekutif tapi, juga meluaskan intervensi dan pengaruhnya ke dalam berbagai lembaga negara: mulai dari parlemen sampai pemerintahan, di pusat maupun daerah dan cenderung menjalankan fungsinya yang paling dasar dalam sistem kapitalis sebagai “anjing” penjaga modal. “Dalam urusan membangun negeri, tidak ada satu pun faksi elite yang berebut kuasa sekarang ini memiliki visi berbeda dari modal internasional dan para teknokrat, birokrat dan komprador pendukungnya, dan pada dasarnya mendukung penjajahan baru“ (Hilmar Farid. “Analisis Atas Inisiatif Perlawanan Lokal januari-Mei 2005”, www.prakarsa-rakyat.org).

Gerakan Progresif Kerakyatan Yang Kesepian


Ketika faksi modal internasional berhasil melakukan intervensi dan mengarahkan proses transisi demokrasi menuju pro pasar bebas, serta mendapatkan agen-agen politik baru di pucuk kekuasaan eksekutif dan legislatif, dengan membonceng politik elektoral sebaliknya, berbagai kekuatan yang menjadi garda depan penumbangan Soeharto semakin terserak dan tersubordinat.

Ben Reid, dalam analisinya tentang transisi demokrasi di Brasil paska kediktatoran militer menyimpulkan, ada beberapa hal yang menyebabkan gerakan rakyat menjadi lemah dalam perjuangan politik di awal transisi demokrasi di Brasil (sebelum adanya Partai Buruh). (Lihat Ben Reid. “The Brazilian Workers Party and the participatory budget in Rio Grande do Sul”, LINKS, No. 23; Januari-April 2003.) Saya menemukan adanya kemiripan dengan proses politik yang terjadi di Indonesia sejak turunnya Soeharto di tahun 1998.

Pertama, “Partisipasi politik oleh kelas pekerja dan berbagai lapisan sosial lainnya disalurkan kebanyakan melalui patronase di antara para elit yang saling berkompetisi.“ Ini sudah terbukti dalam kasus Indonesia, dimana massa terpecah-belah dalam berbagai patronase politik elit yang dipersonifikasikan dalam berbagai partai. Massa arus bawah PDI-P yang militan dan mempunyai pengalaman politik praktis melawan kediktatoran berhasil diseret ke dalam ‘lorong politik elektoral’ oleh politik patronase yang disetir oleh para elit PDI-P. Sementara massa yang lain juga berhasil digiring ke politik patronase dengan identitas politik Islam seperti PKS, PKB, atau PPP.

Kedua, “perjuangan demokratik harus dapat keluar dari persoalan yang hanya menyederhanakan pada isu restorasi dalam mekanisme keterwakilan politik, kebebasan sipil dan semacamnya.” Kasus ini juga terjadi di Indonesia, dimana pemilu tahun 1999, menciptakan ilusi di kalangan kaum demokrat liberal, yang mendominasi wacana di media dan di LSM, bahwa demokrasi elektoral adalah ‘puncak’ dari perjuangan demokrasi. Mereka lebih menyibukkan diri dalam kegiatan pemantauan dan pelatihan pemilih, sehingga secara tak langsung ‘melegitimasi’ demokrasi ‘perwakilan’ bukannya mengembangkan ‘demokrasi partisipatoris’ dari arus bawah. Kenyataan politik elektoral kemudian membuktikan, pemilu menjadi alat restorasi kekuatan lama dan dominasi kekuatan pasar bebas melalui agen-agen politik domestiknya yang baru paska Soeharto.

Ketiga, “Kebanyakan oposisi politik saat itu telah disubordinatkan di bawah dominasi kekuatan politik borjuasi.“ Kekuatan oposisi di Indonesia boleh dikatakan tidak signifikan. Kalaupun ada, dia adalah oposisi di antara blok politik pasar bebas untuk berebut posisi di puncak kekuasaan atau saling berbagi kekuasaan. Oposisi progresif kerakyatan yang programatik dan mengajukan program alternatif di luar demokrasi liberal dan pasar bebas relatif, tidak mempunyai kekuatan politik yang signifikan. Hal ini dikarenakan gerakan progresif kerakyatan yang mengusungnya masih lemah dalam hal pengorganisiran basis dukungan dan juga terserak dalam fragmentasi yang akut. Meskipun begitu upaya konsolidasi ke dalam politik partisan seperti yang dilakukan oleh Partai Perserikatan Rakyat dan Partai Persatuan Pembebasan Nasional untuk merespon politik elektoral 2009, membuktikan ada upaya untuk membangun blok oposisi kerakyatan di kalangan gerakan itu sendiri. Namun bila dibandingkan dengan kekuatan politik utama yang pro pasar bebas, maka butuh banyak upaya ‘koalisi’ dan meluaskan ‘pengorganisiran’ untuk menjadikannya sebagai kekuatan yang signifikan dalam menciptakan perubahan.

Politik Lokal dan Pasar Bebas


Politik lokal di Indonesia menjadi penting dan dinamis dengan diterapkannya otonomi daerah melaui UU Nomor 32 Tahun 2004 mengenai Pemerintahan Daerah yang memuat ketentuan tentang pemilihan kepala daerah secara langsung. UU ini mulai dijalankan pada Juni 2005, ditandai dengan pemilihan kepada daerah langsung (Pilkadal) pertama di kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.

Otonomi daerah atau desentralisasi secara politik merupakan jawaban atas sentralisme politik Orde Baru, dimana setiap kebijakan menyangkut politik dan ekonomi di lokal semuanya di setir oleh elit politik di Jakarta. Kesenjangan pusat-daerah dalam hal pembagian kekayaan alam juga menjadi salah satu sebab mengapa otonomi derah dianggap sebagai suatu ‘sogokan’ politik agar konflik pusat-daerah dapat dijembatani. Secara administratif, otonomi daerah juga memudahkan pekerjaan negara, sebab beberapa wewenang adminsitratif negara di delegasikan kepada daerah, termasuk mengelola anggarannya sendiri. Namun pendelegasian wewenang itu menurut ICW, malah makin mendemokratiskan korupsi, membagi-bagi korupsi yang tadinya hanya dinikmati di pusat, sekarang juga ikut dinikmati di daerah.

Otonomi daerah, tak dapat dipisahkan dari kepentingan dan skenario kekuatan politik utama yang berpusat di Jakarta, militer dan kepentingan modal. APBD yang dibuat oleh berbagai bupati atau walikota yang dihasilkan oleh Pilkadal, terbukti tidak mencerminkan adanya perubahan yang mendasar. Bahkan boleh dikatakan, otonomi daerah hanya membuat tiruan dari ‘pakta elite ekonomi dan politik’ nasional, di tingkat lokal. Bekas pejabat sipil dan militer Orde Baru, pengusaha kagetan (dan kapiran) yang bermunculan di mana-mana bekerjasama dengan sekutunya di tingkat nasional dan modal internasional justru membuat eksploitasi kapitalis semakin gencar di daerah-daerah. Atas nama ‘reformasi’ dan pembangunan daerah, mereka menjadi ujung tombak globalisasi neoliberal yang membawa eksploitasi kapitalis ke pelosok negeri dan ruang hidup yang kadang tak terduga. Dalam waktu singkat, berbagai pelosok yang semula seperti diabaikan oleh pembangunan, menjadi kantong-kantong eksploitasi baru dan sekaligus sumber bencana bagi lingkungan hidup dan kemanusiaan sekaligus (Hilmar Farid, Op.Cit).

Otonomi daerah, ternyata juga menjadi suatu ‘arena baru” bagi para borjuasi nasional yang kalah bertarung dengan kekuatan modal internasional di tingkat pusat dan semakin sempitnya ruang kompetisi di antara sesama borjuasi. Situasi ini lalu mendorong sejumlah borjuasi di sekitar pusat kekuasaan untuk bergeser ke daerah, sambil mulai membangun berbagai perangkat politik yang dapat mendukung operasi kapitalnya di tingkat lokal. Situasi ini lalu mendorong sejumlah borjuasi di sekitar pusat kekuasaan untuk bergeser ke daerah, sambil mulai membangun berbagai perangkat politik yang dapat mendukung operasi kapitalnya di tingkat lokal (Dita Sari, Op.Cit).

Otonomi daerah juga memberikan akses langsung terhadap sumber daya alam, pasar dan tenaga kerja murah di daerah-daerah, agar dapat memonopoli seluruh proses produksi, perdagangan dan distribusi nasional. Di sinilah Pilkada dan otonomi daerah diharapkan dapat menghasilkan elite-elite baru yang ramah modal. Para borjuasi lokal menyambut hangat kedatangan partner asing ini dengan rasa suka cita. Mereka, yang selama periode kediktatoran tersisih akibat didominasinya modal-modal lokal oleh faksi Cendana, para kapitalis bersenjata dan segelintir kaum kroni, menganggap peluang kerja sama langsung dengan borjuasi asing adalah jalan menuju kesuksesan.

Analisa atas bahaya pasar bebas ditingkat lokal tampaknya menjadi kenyataan yang harus dihadapi. Dengan begitu dapat dikatakan bahwa kecenderungan dominan yang akan terjadi adalah diintergrasikannya seluruh sistem ke dalam kepentingan arus pasar bebas/globalisasi. Seluruh kebijakan pembangunan negara ditingkatan nasional dan lokal akan mengabdi, menfasilitasi pada kepentingan pasar bebas/globalisasi. Akibat dari dominasi kepentingan pasar bebas/imperialisme di tingkat lokal tersebut, rakyat kehilangan hak-haknya secara ekonomi-sosial-budaya dan politik. Secara sistematis hal ini kemudian mengakibatkan rakyat kehilangan berdaya/potensi/kemampuan dalam bertahan, melawan atau mengontrol sistem lokal yang mereka miliki. Singkatnya, rakyat telah atau akan kehilangan kedaulatannya (Dita Sari, Ibid).