Kaum Intelektual Dan Sikap Ilmiah

Nurani Soyomukti

Budaya anti-ilmiah tanpa disadari, kini tengah merasuki relung hati dan pikiran masyarakat kita. Tidak heran jika tak terjadi satu langkah yang tepat dan progresif di masyarakat dalam mengatasi krisis. Praktek-praktek ekonomi, politik dan budaya yang berkembang merupakan hasil pemaksaan, sepihak, dan kadang tidak masuk akal. Hal ini tercermin dari kebijakan para elite dan pemimpin-pemimpinnya, masyarakatnya, para teroris yang berkeliaran, bahkan dalam upaya menyusun kebudayaan.

Kalau kita menonton menu suguhan televisi, budaya anti-ilmiah itu tampak pada maraknya tayangan klenik, mistik, dan takhayul. Juga di berbagai media cetak dalam wujud bacaan-bacaan tidak mendidik, yang bertujuan mengalihkan ketakutan atau kegilaan masyarakat. Tak heran jika kaum intelektual seakan menjadi barang yang langka di tengah-tengah masyarakat pasar yang mendorong manusia ke arah budaya banal, dekaden, dangkal, dan terkomodifikasi. Saya menyebutnya sebagai budaya dan gaya hidup yang dipicu oleh desain masyarakat pasar. Di era neoliberal sekarang, elit pasar (kapitalis) bertahan dan mengembangkan diri (baca: menumpuk kapital) dengan membayar para elit politik untuk menata sistem ekonomi yang liberal, kondusif bagi modal, dan mendorong kesadaran ilusional, anti-objektifitas, dan kesadaran yang melanggengkan penindasan yang dibuatnya.

Di tingkatan global, kita melihat selain cara-cara fasis (perang dan kekerasan senjata) yang dilakukan oleh kaum kapitalis-imperialis, misalnya serangan AS dan Sekutunya ke Afghanistan dan Irak beberapa waktu lalu, mereka juga mendikte elit-elit politik di negara-negara berkembang (salah satunya, Indonesia). Pada saat yang sama, di tingkatan suprastrukturnya, kapitalis juga mendesain suatu struktur ideologi, budaya, dan gaya hidup yang bertujuan untuk menciptakan budaya dan tingkahlaku yang kondusif bagi pasar (konsumtifisme).

Mahalnya Kaum Intelektual

Dalam keadaan serba semrawut dan buntu itu, kehadiran kaum intelektual seperti menjadi penghangat tenggorokan yang kering. Kalangan ini dipahami sebagai orang ‘pintar,’ ‘banyak pengetahuan,’ dan ‘pandai menggambarkan realitas’. Awalnya di lingkungan berbau akademik, mereka sangat dihargai, dipuji sebagai ‘orang hebat,’ ‘begawan’ layaknya dalam dongeng-dongeng kuno, ‘bermutu,’ ‘bermartabat,’ dan segudang puja-puji lainnya. Hal itu terjadi karena, kaum dianggap memiliki pengetahuan dan mau berbicara tentang realitas yang lebih luas di luar dirinya juga, hubungannya dengan orang lain, masyarakat, bangsa dan negara. Kaum ini (dianggap) sebagai pembicara soal masyarakat, mampu menghubungkan suatu konsep dan gambaran-gambaran yang ada tentang masyarakat dan lingkungan—sehingga dia dianggap ‘hebat’ karena (dianggap) mampu dan mau menggunakan waktunya untuk berbicara tentang persoalan yang lebih besar.

Lantas timbullah pembedaan antara ‘intelektual’ dan ‘manusia biasa:’ kalau manusia 'biasa' dalam ruang-waktunya hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan (dan memikirkan) dirinya sendiri, misalnya, bagaimana bisa makan, minum, atau sekedar membikin kegiatan yang berguna bagi kepuasan dan kesenangan diri (heppy-heppy, ‘dugem-dugeman”); maka intelektual (dianggap) manusia yang, dengan tidak menafikan kebutuhan-kebutuhannya sendiri, masih sempat atau (bahkan) menghabiskan waktunya untuk berpikir, menganalisa, dan dalam hal tertentu, menghasilkan solusi. Lebih jauh lagi, bukan hanya bicara dan menulis tetapi, juga menyusun kekuatan dan strategi taktik untuk mewujudkan sesuatu yang lebih objektif dan tidak kontradiktif. Yang terakhir inilah yang disebut Intelektual Progresif.

Memang, intelektual banyak lahir dari orang-orang yang secara ekonomi cukup, serta memiliki banyak waktu luang; bukan orang-orang miskin yang harus menghabiskan hari-harinya untuk bekerja sekedar untuk bertahan hidup atau memenuhi kebutuhan-kebutuhan mendasar seperti makan, sekolah anak, membangun rumah, dan sebagainya. Tidak mungkin kaum miskin bicara panjang-lebar tentang masyarakat, alam, dan lingkungan yang lebih luas karena, ruang dan waktunya sendiri sangat terbatas. Maka salah satu yang menyebabkan intelektual dianggap orang bermartabat, karena ia tidak menghabiskan waktunya hanya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang primitif (sekedar makan, minum, kebutuhan seksual, kepuasan-kepuasan nafsu dan psikologis yang dibawa oleh eksistensinya sebagai tubuh). Tapi, berupaya mengorbankan pemenuhan-pemenuhan kebutuhan tubuh (fisiologis dan psikologis) dan memperbanyak aktivitas yang memperkaya pengetahuan dan berusaha mengubah keadaan (baca, diskusi, aksi). Itu sebabnya, kaum intelektual dianggap ‘bermutu,’ ‘tinggi derajatnya,’ ‘lebih langka dan unik,’ karena ia tak hanya menjalani hidup seperti binatang. Atau hanya hidup untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dan kepuasan diri, atau yang berprinsip “Untuk apa susah-susah dan mikir yang berat-berat, senang-senang saja kan enak!”

Tetapi, kita tidak bisa mengatakan bahwa intelektual tidak pernah lahir dari kalangan kaum miskin. Bahkan tulisan ini berani menyimpulkan: Intelektual sejati dalam sejarah adalah murni menjadi watak dan warisan dari semangat orang miskin. Pengetahuan objektif adalah murni dan berakar dari kondisi objektif kaum miskin. Hal ini sekaligus menjadi acuan moral bahwa tugas intelektual progresif adalah membebaskan kaum miskin dari ketertindasannya.

Kemiskinan Dan Pola Pikir Ilmiah

Adalah Karl Marx yang pertama-tama tercerahkan dan terbangun dari kebodohan filsafat idealisme (terutama dari Hegel) lalu berani mengatakan, ilmu pengetahuan yang yang objektif bukanlah ilmu yang terpisah dari akar material sejarah serta dari kelas sosial. Ilmu yang objektif dan progresif bukan berarti ilmu yang tidak berpihak pada kelas. Justru yang berpihaklah yang objektif, yaitu berpihak pada kelas tertindas atau orang miskin. Sehingga bagi Marx, teori yang dilandaskan pada sudut pandang kelas pekerjalah yang secara objektif mampu memahami realitas sosial.

Dengan demikian, intelektual sejati adalah intelektual yang menganalisa sejarah dan realitas sosial secara objektif dan material. Dan hanya intelektual yang berpihak pada orang miskin yang mampu melakukannya. Hanya intelektual yang progresif dan mewarisi semangat kaum miskinlah yang sanggup menjadi intelektual sejati, yang objektif, dan tak memalsu realitas. Dari pemahaman ini, Marx berkesimpulan, teori yang disandarkan pada kelas tertentu, dalam hal ini kelas proletariat, bukan berarti mengurangi objektifitas suatu teori atau analisa. Ia justru akan memperjelas dan mempertegas realitas objektif yang ada.

Akar-akar historisnya menunjukkan, orang miskin tidak memiliki tendensi sedikitpun untuk memalsu realitas. Mereka tidak butuh selubung apapun untuk menyembunyikan realitas ketertindasan. Berbeda dengan kelas penghisap yang membutuhkan selubung ideologis untuk menyembunyikan dan menutup-nutupi penghisapan yang dibuatnya. Pengetahuan dan filsafat yang dihasilkannya adalah subjektif, sehingga praktis bukan pengetahuan tetapi, alat untuk mewujudkan kehendak subjektifnya. Berdasarkan ini, tak heran kalau kelas penindas (tuan pemilik budak, tuan feudal, tuan modal/kapitalis) sebagai kaum penghisap yang hidupnya bergelimang kemewahan menjadi sangat subyektif. Intelektual yang dilahirkan dalam corak produksi yang menindas ini pun umumnya intelektual yang tidak objektif dan mengabdi pada kepentingan sempit (cari uang baik karena terang-terangan ingin mengabdi kelas penguasa, maupun untuk bertahan hidup dengan mengeksploitasi realitas kemiskinan dengan diangkat sebagai retorika, teori, dan tulisan-tulisan lainnya). Akar-akar material sejarahnya (baca: objektifnya) memang lahir dari kondisi material yang melahirkan ideologi dan sudut pandang dari kelas penindas. Sementara, intelektual yang sedikit kritis akan dikatakan oleh penguasa sebagai tidak objektif,” “memancing masalah,” "provokator," “tukang adu domba”, bahkan “sepihak.”


Akar Material Filsafat

Lalu, bagaimana menjelaskan terbentuknya pengetahuan dan sudut pandang berdasarkan kondisi material atau afiliasi kelasnya? Kaum raja-raja dan borjuis menguasai modal dan mendapat kekayaan melimpah. Dengannya, mereka gampang memenuhi keinginan dan kebutuhannya. Misalnya, ketika ingin makan enak, mereka punya uang; ingin gadis cantik, punya kekayaan; ketika ingin selir, raja-raja punya kerajaan dan kekuasaan. Bagi raja dan keluarganya (baca: para bangsawan), dalam istananya yang dikelilingi benteng dan terasing mayoritas, di dalamnya terhampar taman nan permai, kolam renang, tempat berburu, istana wanita-wanita simpanan. Ketika jaman berubah, kenikmatan yang dimiliki raja dan para bangsawan itu, kini menjadi gaya hidup para konglomerat dan milyuner-milyuner. Ketika ingin sekolah tinggi (bukan untuk pintar tapi mungkin untuk cari gelar dan gaya hidup), mereka punya biaya. Apapun keinginannya hampir semua terpenuhi.

Latihan psikologis dan watak apa yang lahir dari kondisi material itu? Yang terjadi, dalam pikiran dan hati penindas, kehendak subjektif-nya selalu cocok dengan kondisi objektif. Akibatnya, bagi penindas, seakan-akan kehendak subjektif adalah kondisi objektif itu sendiri. Misalnya, kehendak subjektifnya: “Saya ingin kesenangan,” objektifnya: semua tersedia. Dalam hal ini, “Subjektifitas saya adalah objek yang ada.” Dalam dialektika sejarah, bahkan dalam kehidupan sehari-hari, ini adalah latihan psikologis yang membentuk watak sepihak, subjektif, dan pada akhirnya kalau kondisi objektifnya tidak cocok, melahirkan watak atau sikap memaksa. Dus, dengan demikian watak dan sudut pandang (ilmu pengetahuan) ternyata adalah murni bentukan material sejarah: sehingga pada akhirnya penindasan selalu butuh alat pemaksa.
Raja-raja dan tuan tanah memaksa dengan alat represif prajurit dan punggawa perang, borjuis menggunakan tentara regular (militer); tuan tanah desa dan elit-elit desa punya jawara dan centeng-centeng, kapitalis di tingkatan pabrik punya satpam dan preman. Tinggal suruh dan memaksa jika ada pertentangan dengan rakyatnya. Itu adalah manifestasi watak memaksa yang dengan sendirinya membutuhkan alat atau lembaga pemaksa.

Lahir pula watak tidak sabar, oportunis, menjilat, dan lain-lain. Mari kita lihat bahwa tatanan masyarakat berkelas (perbudakan, feodalistik, dan kapitalistik) adalah penyebab watak manusia yang bangkrut: Raja butuh keinginannya tercapai, kalau tidak akan marah. Untuk memenuhi kehendak subjektif atasannya ini, tangan kanannya (atau anteknya: punggawa, patih, penasehat, dukun, agamawan) harus mampu menyenangkannya, takut kalau mengecewakan atasannya; sehingga memberi laporan-laporan yang menghibur supaya ia tetap mendapat sogokan atau bayaran dari atasannya. Maka kebiasaan ini melahirkan budaya menjilat dan menipu, saling menelikung antar antek - dan lagi-lagi kian meluaskan budaya dan watak memalsu realitas objektif: melanggengkan budaya anti-ilmiah dan tidak objektif.

Itulah yang harus kita khawatirkan. Jangan-jangan budaya tidak imiah yang ditebarkan secara meluas oleh berbagai media yang dikendalikan oleh elit pasar bebas itu memiliki agenda penindasannya. Yaitu, membentuk masyarakat yang hanya bisa pasrah, takut dan tunduk di satu sisi tapi, juga agresif dan sepihak dengan dasar tidak objektif yang melahirkan kekerasan sosial. Kalau ini dibiarkan, menurut saya, akan terjadi kerusakan ekonomi, politik, dan budaya masyarakat Indonesia yang sangat dahsyat, yang akan menenggelamkan peradaban kita, hancur lebur ditelan kebodohannya sendiri. ****

Nurani Soyomukti, Ketua Departemen Pendidikan dan Bacaan PP FNPBI (Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia)