Roysepta Abimanyu*
DELAPAN tahun sudah transisi demokratik berjalan di Indonesia. Tuntutan demi tuntutan demokratik dan kerakyatan sudah dikedepankan dan mampu meruntuhkan simbol-simbol kekuasaan otoritarian yang sebelumnya seperti tak tersentuh. Sampai tahun 2003, Soeharto menjadi tuntutan yang ditagih berbagai macam kelompok rakyat. Dwifungsi militer telah disoroti sedemikian rupa sehingga tanpa campur tangan Amerika Serikat dan Perang Global Kontra Terorisme, mustahil Angkatan Darat Indonesia dapat mengirimkan kembali Bintara Pembina Desa ke kehidupan masyarakat.
Akan tetapi, semua yang bisa ditumbangkan dan diruntuhkan barulah sekadar sebuah permukaan dari sebuah sistem represif yang begitu mengakar di masyarakat Indonesia. Ancien Régime, meminjam kosa kata Perancis tentang kekuasaan kaum monarkis abad 18, tetap berdiri kukuh dan melahirkan ketidakpastian atas arah perubahan. Kegagalan berbagai kelompok masyarakat yang berpikiran demokratik untuk mencerabut Ancien Régime dari kehidupan sosial politik, juga melahirkan kesempatan untuk elit lama bermortamorfosis dan menyebarkan keresahan ke massa rakyat. “Lebih enak di zaman Soeharto,” begitu kalimat yang sering kita dengar dari rakyat yang pendapatan bulanannya tergerus oleh biaya hidup yang semakin meningkat.
Sementara itu, faksi-faksi elit yang baru mendapatkan kesempatan berbagi kue kekuasaan, berjalan mendompleng dukungan elit global yang terwakili oleh IMF dan Bank Dunia dalam mengondisikan pasar Indonesia kembali menjadi surga investasi asing. Tanpa ragu sedikitpun, di bawah pembenaran “hanya meneruskan kebijakan pemerintah sebelumnya” mereka menjalankan agenda-agenda reformasi pasar Indonesia. Istilah-istilah “good governance,” “supremasi hukum,” “kompetisi sehat,” dan seterusnya didengung-dengungkan untuk itu.
Letak persoalannya kemudian, reformasi politik yang baru sebatas meruntuhkan simbol-simbol rejim lama bertemu dengan reformasi pasar yang sejatinya melanggengkan, jika tidak dikatakan, mengedepankan lebih jauh praktek-praktek percaloan sumber daya alam dan tenaga kerja di hadapan modal internasional yang bergerak lebih brutal. Tak heran jika yang berkembang adalah sebuah pasar bebas ditopang oleh kekuasaan yang anti (takut) kebebasan. Koridor kesadaran massa yang terbentuk melalui media cetak dan elektronik, diarahkan untuk menahan “reformasi” atau “demokrasi” yang “kebablasan,” demi melindungi posisi elit lama yang sedang merestrukturisasi pasar mereka. Massa rakyat menjadi jengah dan resah oleh kebebasan yang sebelumnya mereka idam-idamkan.
Di sisi gerakan sosial, situasi tersebut diwarnai juga oleh kebuntuan politik yang akut. Represi selama puluhan tahun di bawah rejim lama menyebabkan kegagapan bertindak setelah kerangkeng kebebasan didobrak. Bentuknya dapat dilihat dari watak gerakan yang tak kunjung maju dari sebatas populisme. Dengan kerutinan luar biasa, kelompok-kelompok gerakan sosial berseru kepada “rakyat” (secara umum) dan berupaya melakukan mobilisasi politik ke arah tuntutan-tuntutan demokratik sepanjang lima tahun semenjak jatuhnya Soeharto. Meskipun begitu, populisme yang positif ini menurun kredensialnya ketika derajat mobilisasi politik rakyat merosot.
Namun, lingkungan populisme tetap ada, dengan esensi yang berbeda. Semula menyatukan kelas-kelas tertindas dan terbuang melawan kelompok-kelompok elit baik lama maupun baru, menjadi frustasi atas kebuntuan politik. Demokrasi yang hanya sebatas pemilu, sebaik apapun kosmetik yang ia gunakan, menjadi usang di hadapan rakyat. Presiden yang dipilih langsung dengan segera menaikkan harga BBM, di tengah-tengah harapan bahwa kosmetik demokrasi ini akan mendatangkan situasi yang lebih baik.
Romantisme ke masa Soeharto (ataupun dalam kasus ekstrem ke masa awal kekuasaan Islam di jazirah Arab) adalah gejala dari kebuntuan ini. Demokrasi dan kebebasan menjadi sesuatu yang ditakuti, masa depan mendatangkan kekhawatiran. Menurunnya mobilisasi rakyat ke tuntutan-tuntutan demokratik yang belum tergapai juga menunjukkan meluasnya keraguan di kalangan masyarakat. Menurut Alexandre Dorna, pakar psikologi politik Perancis, keraguan ini bisa berubah menjadi diam-patuh. Individualisme sempit dan abstrak kemudian menggantikan partisipasi dalam mobilisasi demokratik, yang sebenarnya adalah tindakan civic yang antusias dari manusia-manusia yang kongkrit, yang nyata.
Di tengah situasi demikian, terlihat juga peran media melanggengkan lingkungan alamiah keresahan massal, dengan menyebarluaskan teror (tidak ada kata yang tepat selain itu) ke masyarakat, mengkonstruksi kepatuhan atas nilai-nilai yang diusung Ancien Régime. Pemberitaan-pemberitaan sensasional menghadirkan kutub-kutub ekstrim di luar proporsionalitas atas apa yang terjadi sesungguhnya di dunia nyata. Media kerap dengan keji menayangkan gambar-gambar mencekam dari jasad dan darah, adegan-adegan penangkapan polisi yang berunsur main hakim sendiri, dan kisah-kisah pemerkosaan yang disimplifikasi sebagai akibat menyebarluasnya pornografi di masyarakat. Kutub ekstrim ini juga harus ditambah oleh berita-berita sensasional yang lain, kisah-kisah glamour para selebriti, yang mengkonstruksikan pola hidup ideal yang sangat jelas tidak akan pernah tergapai oleh rakyat kecil. Kepungan yang lain untuk menciptakan kondisi diam-patuh adalah banjir “siraman rohani” dalam bentuk siaran-siaran dakwah dan sinetron-sinetron religius, yang selalu dipenuhi dengan simplifikasi : anak nakal menggunakan narkoba, berkelahi, dan urusan selesai di tangan kiai/tokoh agama.
Sejarah kontemporer menunjukkan bahwa populisme tidak selalu melahirkan kediktatoran, jika tidak bergabung dengan fasisme. Berkuasanya Hugo Chavez, Lula, Kirchner dan Morales di Amerika Latin adalah contoh-contohnya. Sayangnya, di Indonesia saat ini alam politik populisme telah dipenuhi, kembali oleh media massa, dengan semangat-semangat pemurnian masyarakat dalam kerangka penganut agama yang dominan dan nasionalisme yang kehilangan makna-makna kemanusiaan yang universal. Tidaklah terlalu mengherankan jika banyak aktor-aktor kekuasaan “lulusan” Ancien Régime, baik lokal ataupun nasional, bermain mata dengan pola politik fasisme berjubah moralitas keagamaan.
Inilah yang kemudian menjadi konteks munculnya upaya-upaya dari kelompok politik yang menggunakan agama sebagai sumber legitimasi kekuasaan, untuk mempromosikan nilai-nilai mereka ke dalam hukum formal Indonesia. Alam politik populisme yang tersisa dari radikalisme anti Soeharto dan keresahan massa yang dibentuk oleh hiper-realitas keluaran media cetak dan elektronik, memang begitu mudah untuk mereka masuki. Terlebih mengingat propaganda politik mereka yang demagog dan menyediakan simplifikasi dari solusi-solusi problem masyarakat. Dukungan dari elemen-elemen rejim lama telah juga didapat, melalui antusiasme pemberlakuan bagian demi bagian tafsiran keagamaan dalam hukum formal di tingkat lokal. Demikianlah terlahir satu lagi fondasi fasisme di negeri ini, yang memperpanjang napas kekuasaan sisa-sisa rejim lama
*Penulis adalah lulusan Institut d’Etudes Politiques (Sciences-Po) Toulouse, kini belajar di Institut Français de Géopolitique – Université Paris 8 Vincennes Saint-Denis.