Coen Husain Pontoh
PASKA revolusi 19 Juli 1979, Sandinista berkuasa secara demokratik hanya selama satu dekade. Pada 29 Februari 1990, melalui sebuah pemilu, Sandinista kalah dalam perolehan suara dari UNO (National Union of the Opposition). Presiden Daniel Ortega Seevadra dari Sandinista pun turun tahta. Penggantinya adalah bekas kompatriotnya di Junta, Violeta Barrios de Chamorro, yang kini berbendera UNO.
Kekalahan Sandinista dalam pemilu kedua ini telah mendatangkan banyak perdebatan, baik secara ideologis, politis, maupun organisasi. Bagi kalangan anti Sandinista kekalahan ini pertanda bahwa FSLN telah gagal dalam mengemban amanat kepercayaan rakyat, bahwa FSLN gagal dalam mewujudkan kemakmuran ekonomi yang dijanjikannya. Pada tataran ideologis, kekalahan Sandinista ini merupakan tabuhan lonceng selanjutnya bagi kematian sebuah alternatif pembangunan di luar jalan kapitalisme. Analisa lain menyatakan, kekalahan Sandinista lebih disebabkan oleh intervensi yang sangat sistematis dan berskala besar yang dilakukan pemerintahan Amerika Serikat di bawah sang koboi, Ronald Reagan.
Politik Kolaborasi Kelas?
Dari berbagai analisa, saya melihat ada dua penjelasan yang bisa membantu kita untuk melihat kegagalan Sandinista dalam pemilu 1990. Pertama, penyebab yang datang dari watak revolusi 1979, dan kedua sebagai akibat dari kebijakan luar negeri AS yang agresif.
Penyebab pertama, berangkat dari kritik internal kalangan Marxis terhadap ideologi yang diusung FSLN dan dampaknya pada level kebijakan politik dan ekonomi. Sebagian kalangan Marxis berpendapat, revolusi 1979 lebih mencerminkan revolusi nasional, popular, demokratik dan anti-imperialis dimana tuntutan perjuangan kelas bukan merupakan kebutuhan mendesak dikedepankan. Bagi kalangan ini, adalah salah jika menyatakan revolusi 1979 merupakan revolusi sosialis, dimana kepemimpinan revolusi berada di tangan proletariat perkotaan yang didukung oleh kaum tani. FSLN sendiri pada dasarnya adalah sebuah organisasi yang didominasi oleh borjuis kecil yang radikal dan nasionalis, dimana secara historis FSLN memang dibangun di atas basis petani dan mahasiswa. Menilik ciri dasarnya ini, sejak awal revolusi 1979 itu telah ditakdirkan untuk gagal.
Karena merupakan revolusi nasional, popular dan demokratik, maka revolusi ini tidak menuntaskan misinya dalam wujud pengambilalihan hak milik borjuasi dan menjadikan revolusi tersebut bersifat internasional. Revolusi 1979 berhenti sebagai revolusi demokratik yang tetap mempertahankan sistem politik demokrasi borjuasi. Jika kita merujuk pada tesis Lenin tentang ciri dari revolusi sosialis seperti (1) tidak adanya tentara yang terpisah, melainkan sebuah tentara rakyat; (2) seluruh pejabat, manager dan sebagainya secara reguler dipilih oleh organisasi buruh, dengan hak untuk dipecat sewaktu-waktu; (3) seluruh pejabat menerima upah yang sama sebagai buruh terlatih; dan (4) partisipasi rakyat dalam seluruh tugas-tugas administrasi; dengan manajemen dan kontrol langsung masyarakat melalui dewan-dewan buruh (Soviets), maka revolusi Sandinista hanya berhasil membentuk sebuah tentara rakyat yang berada di bawah kontrol FSLN.
Pada level politik, sebagai hasil dari revolusi yang berwatak nasional dan demokratik itu, FSLN membangun sebuah koalisi yang lebih tepat disebut sebagai kolaborasi kelas. Dalam rangka perjuangan menumbangkan Somoza, misalnya, FSLN tidak bersungguh-sungguh menumbuhkan sebuah kekuatan kelas pekerja yang independen dan mandiri tapi, lebih cenderung membangun aliansi besar dengan kalangan borjuasi dan demokrat liberal dengan konsesi yang luas. Ini, misalnya, terlihat dari lima komposisi keanggotaan junta dimana FSLN hanya kebagian jatah dua orang. Padahal kekuatan terbesar dan terkuat dari junta adalah FSLN. Akibatnya, ketika FSLN mencoba memperluas pengaruhnya dalam junta dengan memperbanyak jumlah anggota dewan nasional, dengan segera terjadi keretakan di tubuh Junta. Violeta Barrios de Chamorro dan Alfonso Rebelo Callejas kemudian menyatakan mundur dari junta. Keduanya lalu digantikan oleh politisi non-Sandinista yang lebih konservatif.
Perpecahan ini memang telah diramalkan sejak awal. Bagi kalangan liberal, revolusi 1979 telah usai seiring dengan hengkangnya diktator Somoza. Kini saatnya untuk membangun kembali institusi politik (demokrasi liberal) dan institusi ekonomi (pasar bebas) yang menjamin hak kepemilikan pribadi. Dalam nada berkelakar, Sklaar menyatakan bahwa setelah revolusi para demokrat liberal itu berpikir bagaimana memperoleh beasiswa untuk belajar ke universitas-universitas terkemuka di AS dan Eropa Barat. Sementara bagi FSLN, revolusi 1979 justru merupakan sebuah awal untuk membangun ekonomi rakyat dan membangun partisipasi politik rakyat yang kuat. Yang mereka inginkan bukan hanya hengkangnya Somoza tapi juga Somocisme tanpa Somoza.
Politik kolaborasi kelas ini paling tampak dan menyumbang terbesar bagi kekalahan FSLN adalah kebijakan "Ekonomi Campuran/Mixed Economy." Bagi kalangan Marxis ortodoks, kebijakan ini sungguh sangat aneh dan membingungkan kalau tidak, malah merupakan penyelewengan terhadap konsepsi dasar Marxian. Kebijakan ini menjelaskan bahwa FSLN adalah penganut reformisme, dimana esensi reformisme adalah gradualisme. Konsepsi ini dipandang lebih merefleksikan konsepsi borjuis kecil yang hendak memaksimalkan pembangunan ekonomi nasional melalui pengkombinasian kapitalisme dengan kepemilikan kolektif. Dengan tetap mempertahankan bentuk ekonomi borjuis, maka Nikaragua di bawah Sandinista tetap merupakan sebuah negara borjuis karena FSLN pada hakekatnya tetap mempertahankan kepemilikan borjuis. Toh walaupun demikian, borjuasi Nikaragua yang tidak memiliki kekuatan signifikan secara politik tapi menguasai sektor ekonomi, dalam perkembangannya sering memboikot kebijakan-kebijakan FSLN yang populis. Di samping itu, walaupun borjuasi memperoleh insentif dari pemerintah namun, karena mereka tidak memiliki bargaining politik yang kuat, mereka selalu merasakan secara politik kedudukannya tidak stabil. Sebagaimana alasan yang dikatakan oleh salah seorang eksekutif muda yang melarikan uangnya ke luar negeri, "pemerintah memang memberikan insentif ekonomi tapi, yang kami butuhkan adalah kepercayaan pada iklim politik" (Sklaar, 1988).
Hasil selanjutnya dari revolusi nasional dan demokratik ini, FSLN terjebak untuk melakukan kompromi dengan imperialisme AS. Ketika presiden Reagan menghembuskan isu bahwa FSLN melakukan ekspor revolusi ke negara-negara Amerika Tengah lainnya, FSLN dengan bersungguh-sungguh membantah isu tersebut. Padahal menginternasionalkan revolusi merupakan salah satu prasyarat utama untuk melindungi revolusi 1979 dari serangan imperialisme AS. Politik moderat dan kompromis terhadap AS ini, juga disebabkan oleh tekanan yang dilakukan oleh Uni Sovyet di bawah Gorbachev dan Kuba. Dan bukan kebetulan jika Sovyet dan Kuba saat itu sedang keteteran dalam menghadapi perang dingin melawan Washington
Agresi AS
Tetapi, tidak semua kalangan Marxis bersepakat dengan analisa di atas. Sebagian menyatakan bahwa secara ideologis FSLN tidak keluar dari garis Marxisme. Menyebut bahwa pemerintahan Sandinista yang merupakan pemerintahan buruh-tani sebagai sebuah penyelewengan, justru bertentangan dengan konsepsi Lenin tentang "pemerintahan buruh dan tani" dalam artikelnya yang berjudul "The Revolutionary-Democratic Dictatorship of the Proletariat and the Peasantry." Bagi pembela FSLN, kritik yang menyatakan bahwa FSLN dikuasai oleh para pemimpin yang berideologi borjuis kecil, lebih merupakan refleksi dari kelompok Trotsky yang avonturis, sektarian dan ahistoris.
Kekalahan FSLN dalam banyak segi lebih disebabkan oleh politik agresi AS yang berbasiskan pada Doktrin Monroe-Reagen, dimana politik dalam negeri sebuah negara asing merupakan subyek yang harus dikontrol oleh AS. Di bawah pemerintahan Jimmy Carter, AS memang terus berupaya untuk meminimalisir peran FLSN paska revolusi. Tapi, strategi yang dipakai oleh Carter bersifat moderat, tujuannya adalah menjinakkan FSLN agar sesuai dengan garis kepentingan AS. Ketika Washington kehilangan kontrol terhadap FSLN, pemerintah Carter membatalkan bantuan dana kepada Nikaragua dalam bidang sosial dan kesehatan.
Setelah Reagan menempati Gedung Putih pada 1980, kebijakan luar negeri terhadap Nikaragua berjalan semakin agresif. Reagen menentang seluruh proyek bantuan terhadap Nikaragua, dan mengusulkan agar Washington bergerak lebih maju dengan mengaplikasikan teori domino. Kata Reagan,
"I disagree with...the aid that we have provided...I think we are seeing the aplication of the domino theory...and I think it's time the people of the United States realize....that we're the last domino," (Sklaar, 1988).
Bagi Washington, keberadaan FSLN di Nikaragua yang berpenduduk sekitar 3 juta jiwa itu merupakan batu loncatan bagi Uni Sovyet untuk menguasai Amerika Tengah. FSLN dengan demikian tidak dilihat sekadar karena ia merupakan organisasi yang beraliran Marxis, yang menerapkan garis politik moderat terhadap borjuasi dan yang berusaha untuk mengakomodasi politik luar negeri AS, tapi, dilihat dalam konteks perang dingin. Karena itu pula, FSLN menjadi target untuk dilikuidasi.
Dalam kebijakan yang agresif ini, menurut Mark Major (The Sandinista Revolution and the "Fifth Freedom," 2005), pemerintahan Reagan menerapkan tiga kebijakan yang berjalan serempak dan seiring. Pertama, melancarkan agresi militer dengan membantu melatih dan mempersenjatai gerakan kontrarevolusi Contra. Contra merupakan sebuah gerakan kontrarevolusi yang sebagian besar beranggotakan mantan prajurit Garda Nasional, yang bergerak menyerang target-target yang dipesan oleh AS. Sasarannya terutama target ekonomi dengan tujuan memboikot dan mengakhiri harapan rakyat atas pembangunan ekonomi dan reform sosial yang dijalankan oleh FSLN.
Namun demikian, ada kepercayaan yang kuat di Washington bahwa Contra tidak akan sanggup mengalahkan FSLN yang didukung oleh mayoritas rakyat Nikaragua. Karena itu, strategi kedua adalah melancarkan perang ekonomi. Di sini, pemerintahan Reagan selain memutuskan seluruh bantuan yang dijanjikan oleh Carter, juga melakukan tekanan keras untuk memaksa Bank Dunia dan Inter-American Development Bank agar menghentikan seluruh proyek dan bantuan kepada Nikaragua. Tujuannya untuk menghancurkan apa yang disebut OXFAM sebagai "contoh bagus yang mengancam." Dengan hancurnya sektor ekonomi, maka popularitas FSLN dimata rakyat akan anjlok dan memberi pembenaran bagi tindakan kontrarevolusi yang dilancarkan oleh Contra.
Ketiga, sebagai tambahan dari perang militer dan ekonomi, Washington juga melancarkan perang propaganda melalui media, yang dikoordinasikan oleh State Department's Office of Public Diplomacy for Latin America and the Caribbean (S/LPD). Faktanya, S/LPD ini berada di bawah arahan the National Security Council. Tujuan dari perang propaganda ini adalah "a vast psychological warfare operation of the kind the military conducts to influence a population in enemy territory," dimana musuh ini tidak hanya Nikaragua tapi juga adalah publik AS (khusunya adalah Kongres). The S/LPD membanjiri media massa AS dengan berita, lembaran-lembaran op-ed, bocoran rahasia dan pidato-pidato yang isinya berupa kebohongan dan pemutarbalikkan.
Hasilnya memang luar biasa. Walau tak sepenuhnya sukses, perang propaganda itu telah membutakan rakyat AS terhadap praktek kotor pemerintahan Reagan di kawasan Amerika Tengah. Sebagaimana ratapan Reagan dalam otobiografinya,
"For eight years the press called me the 'Great Communicator.' Well, one of my greatest frustrations during those eight years was my inability to communicate to the American people and to Congress the seriousness of the threat we faced in Central America."
Serangan gencar AS secara berlapis ini pada akhirnya memaksa FSLN untuk mengambil sejumlah langkah kompromi. Perang militer menyebabkan proyek partisipasi politik langsung dari bawah terpaksa dilikuidasi. Dalam menghadapi Contra yang bersenjata dan terlatih, FSLN kembali mengaktifkan struktur organisasi yang ketat dengan kepemimpinan yang disiplin. Langkah ini jelas menyebabkan organisasi bersifat hierarkhis dan hubungan FSLN dengan organisasi massa menjadi bersifat top-down. Sementara perang ekonomi menyebabkan proyek-proyek sosial FSLN berjalan tersendat-sendat. Pada tahun 1989 misalnya, FSLN terpaksa mengambil langkah tidak populer yakni, memberlakukan kebijakan pengetatan ekonomi. Itu artinya, FSLN memotong bantuan subsidi bagi pengembangan ekonomi rakyat yang mengakibatkan anjloknya taraf hidup rakyat miskin. Protes pun mulai bermunculan dan FSLN merespon protes tersebut sebagai gerakan kontrarevolusioner.
Pada akhirnya, FSLN tunduk pada tekanan dunia internasional yang berada di bawah pengaruh AS. Pada 1990 Sandinista kembali menggelar pemilu kedua paska revolusi 1979. Kali ini, Dewi Fortuna tidak berpihak kepada FSLN. Dan seiring kemenangan UNO dan naiknya Violeta Chamoro, Nikaragua membuka pintu terhadap pemberlakuan kebijakan neoliberal. Seluruh proyek sosial yang dijalankan FSLN pun digunting habis hingga kini. Hasilnya, Nikaragua tetap menjadi jawara negara termiskin di Amerika Tengah.***