Liberalisasi Sektor Keamanan

Saiful Haq

KEPERCAYAAN bahwa liberalisme pasar bekerja otomatis, sebenarnya adalah mitos. Kenyataannya, liberalisasi pasar mustahil tanpa melibatkan kekuatan militer untuk mengawal agenda-agenda pasar neoliberal.
Bagaimana menjelaskan keterkaitan itu? Momentum WTC 11 September 2001, merupakan batu pijak dimulainya era liberalisasi sektor keamanan. Perang global melawan terorisme ternyata mampu menghilangkan batas-batas negara, kian efektifnya konsolidasi kekuatan intelijen dan militer berbagai negara mulai dari kerjasama regional dan internasional, serta berbagai konvensi internasional digelar atas nama perang melawan terorisme. Akibatnya, terjadi kenaikan anggaran militer dan keamanan di setiap negara yang terlibat dalam perang global melawan terorisme. Bantuan militer AS dan Eropa ke Asia Tenggara dan Timur Tengah seperti Indonesia, Philipina, Afganistan, Iraq, dan Pakistan yang diyakini sebagai pusat jaringan terorisme dunia, meningkat tajam. Tujuannya agar negara-negara tersebut mereformasi dengan segera sektor keamanannya. Perang global melawan terorisme, benar-benar telah mewajibkan setiap negara untuk membuka sistem keamanan negaranya dan memberikan ruang bagi kerjasama dan aliansi militer dan intelijen regional maupun internasional.

Barry Buzan dalam bukunya The Southeast Asian Security Complex, menyebutkan, persoalan keamanan mustahil hanya menjadi urusan satu negara saja tapi, membutuhkan sebuah koordinasi regional maupun internasional. Buzan juga dikenal sebagai pakar yang menggunakan istilah “Securitization”, yang bermakna sebagai usaha untuk menjadikan persoalan non-militer seperti ekonomi, lingkungan, bencana, wabah penyakit, pemanasan global sebagai isu keamanan. Perluasan arti ini bertujuan untuk memberi ruang bagi intervensi kekuatan militer pada isu-isu non-militer. Asumsi pemikiran ini bertumpu pada kebutuhan akan Human Security, dimana segala gejala yang membahayakan kelanjutan hidup manusia atau populasi harus dikategorikan sebagai ancaman. Sebagai contoh kasus wabah flu burung yang menyerang berbagai negara tahun 2005 hingga kini, akhirnya membutuhkan pendekatan militer dimana-mana.

Demikian pula dengan isu terorisme, pemanasan global, pencurian ikan dan penebangan hutan, memaksa berbagai negara untuk menyepakati penanganan keamanan dalam negerinya dengan negara lain. Langkah berikutnya adalah mengintervensi kebijakan masing-masing negara dalam hal keamanan. Misalnya, Indonesia di desak untuk membuat UU Anti terror, lalu dengan segera harus mengubah perspektif ancaman dalam negerinya yang tadinya bersifat tradisional berupa ancaman agresi bersenjata dari negara lain, menjadi ancaman yang bersifat non-tradisonal seperti lingkungan, ekonomi dan bencana alam, sehingga kelak mudah diterjemahkan sebagai ancaman terhadap Human Security yang sekaligus mengancam keamanan dunia keseluruhan. Konsekuensinya, intervensi militer dipandang sebagai bentuk partispasi internasional ketimbang sebagai selubung untuk mengawal agenda-agenda neoliberalisme ekonomi.

Berpijak pada analisis Buzan, liberalisasi sektor keamanan tak lain berarti perang jenis baru dengan isu securitization-nya. Perang jenis baru ini secara sengaja menciptakan inferioritas dan ketakutan dalam masyarakat, misalnya, melalui isu terrorisme dan berbagai jenis virus baru yang muncul dan mewabah. Selain itu, atas nama human security, pelanggaran-pelanggaran HAM dilegitimasi. atau secara sengaja mempertentangkan human rights dan human security. Yang terakhir perang jenis baru ini menghancurkan legitimasi negara yang berujung pada konflik horizontal, pencabutan subsidi kebijakan pokok, dan lain lain.


...perang jenis baru ini menghancurkan legitimasi negara yang berujung pada konflik horizontal...

Tidak berarti saya memandang remeh isu human security dan demokratisasi. Tapi, ketika kedua agenda penting ini diletakkan di bawah kepentingan pasar dan agenda neo-liberalisme, maka yang ada adalah penghisapan jenis baru yang tidak kalah kejamnya dengan perang konvensional. Memang terorisme adalah ancaman terhadap berbagai negara, dan kita butuh kerjasama regional untuk menentang siapapun yang melakukan teror, memang benar bahwa negara seperti AS dan Uni Eropa telah mengucurkan banyak dana atas nama perang melawan terorisme, tapi pertanyaannya kemudian adalah, benarkah dukungan tersebut adalah bentuk perhatian yang tulus yang dibangun di atas kesadaran untuk menciptakan dunia bersama yang lebih aman?

Menurut saya segala bentuk intervensi di atas tidak lain merupakan bentuk langkah lanjut dari agenda neoliberalisme. Setelah negara-negara maju masuk dan menguasai pasar domestik dengan berbagai cara yang curang, langkah berikutnya adalah bagaimana mengamankan segala hasil yang telah dicapai atas nama perang melawan terorisme dan Human Security, atau yang dalam bahasa Buzan era Securitization.

Penulis adalah mahasiswa pasca sarjana pertahanan di Institut Teknologi Bandung.