Max Lane
Pengajar di Victoria University, Australia dan penerjemah karya-karya sastrawan Pramoedya Ananta Toer ke dalam bahasa Inggris
PADA tahun 1972, sebagai mahasiswa sarjana yang sedang menulis skripsi, saya mengumpulkan materi di Bali. Topik skripsi saya berkaitan dengan sejarah politik Bali. Pada saat itulah, untuk kali pertama, saya mendengar langsung cerita saksi mata, bahkan pelaku pembantaian politik yang terjadi pada tahun 1965. Dia bercerita tentang orang-orang anti-komunis dari Partai Nasional Indonesia (PNI) yang masuk ke penjara di salah satu kabupaten dan menembak mati puluhan tahanan politik dengan menggunakan senapan mesin. Dia juga menyaksikan sendiri bagaimana seorang elemen anti-komunis memotong kepala aktivis-aktivis organisasi massa (ormas) Partai Komunis Indonesia (PKI) di desanya dengan menggunakan pedang.
Bagi siapa saja yang berusaha menyelidiki apa yang terjadi pada tahun 1965-1968, betapa pun sedikitnya, bisa dipastikan akan menemui ratusan, bahkan ribuan cerita tentang keganasan dan kebrutalan yang dilakukan oleh orang Indoensia terhadap bangsanya sendiri. Sekira 500 ribu orang tewas dalam tragedi itu, tapi ada juga estimasi bahwa yang tewas di atas dua juta orang. Belum lagi ratusan ribu yang ditahan tanpa proses – dan sering disiksa – pada kurun tahun 1965-1968. Paling sedikit ada 20 ribu anggota dan simpatisan PKI yang ditahan tanpa proses hukum sampai 1979, termasuk 15 ribu yang dibuang ke kamp konsentrasi di pulau Buru.
Proses pembantaian ini, saat ini sangat sering disebut sebagai “tragedi kemanusiaan 1965”. Tetapi pemakaian kata tragedi adalah sebuah penyelewengan sejarah dan seharusnya segera berhenti. Tragedi diambil dari bahasa Inggris “tragedy”, yang berarti sebuah peristiwa sedih dan malapetaka. Memang pembantaian ini adalah malapetaka buat Indonesia dan jelas juga sesuatu kejadian yang sedih. Tetapi sebuah tragedi terkesan seolah sebuah kecelakaan, seolah tak ada kesengajaan di dalamnya.
Dalam kasus pembantaian 1965, pembunuhan dan teror dijalankan sepenuhnya dengan sengaja. Harus dicatat,dari 500 ribu orang lebih yang tewas, hanya tujuh di antaranya yang dikategorikan anti-komunis, yaitu para perwira yang mati dalam aksi keblinger yang dilakukan oleh kelompok Gerakan 30 September. Dari tujuh orang itu, tiga meninggal ditembak di rumah (juga termasuk anak perempuan Jenderal Nasution) dan lainnya dieksekusi di luar proses hukum.
Sementara itu pembantaian terhadap pendukung Sukarno yang terjadi kemudian pun bukan bagian dari sebuah konflik atau perang saudara. Tidak ada niat atau kemampuan dari pihak pro-Sukarno dan pro-PKI untuk melawan balik. Pembantaian yang terjadi adalah pembantaian terencana yang dilakukan oleh militer di bawah pimpinan Suharto, bersama-sama beberapa milisi partai anti-Sukarno dan anti-PKI yang dilatih dan dipersenjati oleh militer.
Menyebut peristiwa pembantaian 1965 sebagai tragedi, sama artinya dengan menutupi kenyataan sejarah. Sebuah tragedi adalah sesuatu yang harus ditangisi dan disesali. Tetapi pembantaian 1965 bukan hanya sesuatu malapetaka yang meyedihkan, melainkan juga sebuah tindakan kriminal yang harus ditindaklanjuti dengan proses hukum yang berlaku. Karena yang terjadi saat itu bukan sebuah kecelakaan alam yang jatuh dari langit, tetapi suatu kesengajaan oleh pihak kekuasaan yang dilangsungkan secara sistematik selama hampir dua tahun berturut-turut.
Sebaiknya kita semua berhenti menggunakan istilah “tragedi”, lantas menggantinya dengan istilah “malapetaka anti-kemanusiaan”. Tentu saja penggantian istilah juga tidak cukup. Kalau memang terjadi pembunuhan sengaja yang sistematik terhadap orang tak bersalah dan tak bisa membela diri, mestinya harus ada keadilan yang ditegakkan.
Istilah “tragedi” juga menciptakan kesan seolah-olah apa yang terjadi pada tahun 1965 juga tanpa sebab, tanpa asal-usul. Kesan ini juga harus dihilangkan. Karena selama kesan itu ada, generasi manusia Indonesia sekarang ini – kaum muda khususnya – tak akan terangsang untuk bertanya: Kenapa? Bagaimana bisa itu terjadi?
Kata “tragedi” juga menyebabkan sumirnya pengertian bahwa apa yang terjadi mulai Oktober 1965, adalah bagian dari sebuah sejarah pertarungan yang sudah berlangsung sejak tahun 1920-an. Pertarungan itu terjadi pada soal akan kemana Indonesia dibawa setelah kemerdekaan pada 17 Agustus 1945? Pertarungan itu semakin menajam pada tahun 1960-an. Dua kubu tumbuh berkembang sama kuatnya saat itu: kubu pertama, dipimpin secara ideologis oleh Sukarno yang menginginkan sosialisme ala Indonesia, sementara kubu lain dipimpin oleh elemen militer yang menginginkan Indonesia berkiblat ke kapitalisme.
Untuk bisa memahami pertarungan tersebut, tidak cukup berhenti dengan rumusan konflik yang sederhana. Kita harus lebih dalam meneliti apa yang dimaksud oleh dua faham itu. Apa yang sebenarnya diperjuangkan oleh kubu sosialis Sukarno? Apa programnya pada waktu itu? Hal itu merupakan sebuah studi kolektif yang perlu diadakan bersama oleh seluruh masyarakat Indonesia secara terbuka, bebas sensor dan bebas dari beban adanya sebuah “sejarah resmi” Indonesia. Dalam suasana bebas, semua ini harus digali bersama.
Beberapa hal telah diketahui bahwa sebelum 1965, kubu pro-Sukarno mencoba lakukan reformasi agraria; juga kita tahu bahwa pendidikan diusahakan gratis. Kita tahu bahwa keterlibatan rakyat kecil di dalam kegiatan politik sangat meningkat melalui gerakan-gerakan ormas-ormas besar kiri. Tetapi itu semua harus lebih diperdalam untuk mengetahui mutu dan keterbatasannya. Juga harus dipelajari ini semua mau dibawa kemana, mengingat bahwa PKI dan kiri di Indonesia sebelum 1965, belum mempunyai kedudukan di pemerintahan yang signifikan.
Mengingat juga bahwa semua ini berkembang di zaman Perang Dingin dan zaman di mana Stalinisme, baik yang berkiblat ke Moskwa maupun yang ke Beijing, sangat kuat dan di mana populisme pasca-kemerdekaan juga sangat kuat di berbagai negeri. Kontradiksi-kontradiksi di dalam politik kubu pro-Sukarnosime dan pro-PKI juga bisa ditemukan dengan mudah. Antara lain, misalnya, prinsip pemilihan perwakilan elektoral dikorbankan oleh Sukarno dengan tak ada pemilu antara tahun 1957 dan 1965. Perdebatan dan diskusi internal di tubuh organisasi PKI juga sangat tertutup.
Tanpa pengetahuan dan pengertian tentang semua sejarah ini, persitiwa 1965 tetap akan merupakan sebuah “tragedy” yang akan ditangisi – dan itupun hanya oleh sebagian orang yang masih dibuat bingung oleh selubung misteri peristiwa itu sendiri. Seharusnya, selain urusan menagih pertanggungjawaban atas perbuatan kriminal pembunuhan massal itu, bangsa Indonesia juga harus mampu mengambil pelajaran dari pengalaman itu demi kemajuan bangsa. Dan itu menjadi hal mustahil tanpa adanya suasana bebas untuk mempelajari sekaligus memperdebatkan kembali secara terbuka dan bersama-sama tentang peristiwa 1965-1968. Suasana yang bebas yang disertai rasa aman untuk kembali mengkaji malapetaka itu mutlak diperlukan.***
Artikel ini sebelumnya telah dimuat di Histori Max. Dimuat ulang di sini untuk tujuan Pendidikan.