Muslimin Abdilla
Ketua Perkumpulan ALHARAKA Jombang
SETELAH satu dekade reformasi berjalan, kita temui kenyataan bahwa gerakan progresif secara politik kalah bertarung dengan sisa-sisa kekuasaan rejim orde baru dan kalangan reformis gadungan. Penyebab kekalahan tersebut telah banyak diulas dan didiskusikan. Cara-cara untuk membangun kekuatan pun terus didiskusikan dan dikerjakan. Tulisan ini coba memberikan sumbangan ke arah penguatan gerakan progresif, dengan mengambil studi kasus di Jawa Timur.
Wilayah-wilayah kabupaten yang menjadi area analisis dalam tulisan ini, dan sebagai wilayah kerja para penggerak masyarakat yang secara kontinyu melakukan belajar bersama dalam menjalankan perannya sebagai organiser komunitas, adalah kabupaten Mojokerto, Jombang, kabupaten dan kota Kediri, kabupaten Nganjuk dan Tulungagung. Wilayah-wilayah ini merupakan wilayah Jawa Timur dalam sub-kultur Mataraman dan sebagain sub-kultur Arek.1 Di wilayah tersebut, saat ini terdapat organisasi aliansi antar kelompok yang bekerja untuk menjawab isu-isu generik di setiap kabupaten. Di Jombang ada KRJB (konsorsium Rakyat Jombang), di Kediri telah berdiri SRKB (Serikat Rakyat Kediri Berdaulat), di Mojokerto ada SPRM (Serikat Perjuangan Rakyat Mojokerto), di Nganjuk mulai berjalan organisasi SERAB (Serikat Rakyat Anjuk Bersatu), serta di Tulungagung, kelompok-kelompok rakyat terus bertemu untuk merintis organisasi aliansi.
Organisasi aliansi ini beranggotakan kelompok-kelompok rakyat yang terdiri dari petani, pedagang kecil, pemuda, dan kelompok perempuan yang ada di desa-desa. Mereka bertemu dalam organisasi aliansi karena memiliki masalah bersama yang ada di tingkat kabupaten. Struktur organisasi aliansi ini sangat ringkas, karena hanya terdiri dari ketua/presidium yang mengoordinir kelompok-kelompok untuk saling bertemu, belajar dan melakukan advokasi, kecuali SRKB Kediri yang memiliki struktur agak panjang: mulai dari Presideum, Sekretaris Jenderal, Koordintaor Kecamatan, Koordinator Desa dan Anggota. Perbedaan ini karena ada cerita tersendiri yang melatarbelakangi.
Jalinan organisasi aliansi di atas diikat oleh masalah generik yang ada di tingkat kabupaten, sedangkan jalinan solidaritas di kelompok diikat oleh masalah-masalah yang terjadi di tingkat desa. Masalah-masalah yang terjadi di tingkat desa sangat beragam, mulai dari masalah buruknya akses jalan, rusaknya jembatan, kenakalan remaja, tidak adanya pendidikan bagi anak, lemah dalam budidaya pertanian dan perikanan sampai pada buruk dan tidak demokratisnya pemerintahan desa.
Persoalan umum yang terjadi
Persoalan-persoalan yang dirasakan oleh kelompok-kelompok rakyat yang tergabung organisasi aliansi tersebut, secara umum meliputi: pertama, lemahnya akses terhadap sumberdaya ekonomi yang terdiri dari modal usaha, dan ketrampilan manajemen; dan kedua, lemahnya akses terhadap sumberdaya politik.
Persoalan pertama sangat nyata terasa, karena di wilayah ini hampir tidak ada lembaga ekonomi yang betul-betul berbasis komunitas dan bisa membantu kelompok-kelompok rakyat marginal dalam memenuhi permodalan serta membantu meningkatkan ketrampilan manajemen. Saat ini, yang ada adalah KSP (Koperasi Simpan Pinjam) yang dimiliki pemilik modal besar lokal yang tidak ada bedanya dengan bank konvensioanl, atau bahkan menjadi rentenir yang memiliki izin resmi dari pemerintah. Keberadaan KSP ini, hampir tak ada manfaatnya bagi kelompok-kelompok rakyat yang tergabung dalam organisasi aliansi, karena mereka tidak dapat mengakses sumberdaya modal dari lembaga-lembaga tersebut. Penyebabnya karena persyaratan yang ditetapkan sangat tinggi, serta penyerahan agunan yang sulit dipenuhi.
Disamping KSP, terdapat lembaga keuangan lain yang lebih informal (atau bisa dikatakan illegal), yang meminjamkan dana dengan bunga mencekik leher. Di lingkungan kelompok-kelompok rakyat diatas, ada lembaga keuangan yang menjalankan praktek pemberian pinjaman dengan modus: jika pinjam 1 juta rupiah, maka peminjam akan mendapatkan dana 900 ribu rupiah, dan peminjam wajib mengembalikan 1.200 ribu rupiah. Jika peminjam agak kesulitan mengembalikan dan seret dalam mencicil, maka lembaga keuangan ilegal ini menambahi pinjaman sebesar 500 ribu rupiah bahkan lebih, sehingga peminjam akhirnya sulit keluar dari jeratan relasi yang menghisap tersebut.
Sedangkan program pemerintah yang berupa PNPM dirasakan kurang bisa membantu masyarakat, terutama dalam menyelesaikan problem di atas, seperti program simpan pinjam perempuan. Dalam program simpan pinjam ini, bunga pinjaman yang ditawarkan tidak lebih baik dari yang ditawarkan bank konvensional atau KSP-KSP. Akibatnya, banyak kelompok-kelompok tidak mengambil dana bergulir, karena terbentur oleh besarnya bunga pinjaman.
Persoalan-persoalan inilah yang kemudian diadvokasi oleh organisasi aliansi dan sebagai materi dalam melakukan penguatan terhadap kelompok-kelompok anggota. Para penggerak masyaralat memandang, persoalan tersebut tidak terlepas dari masalah kepemimpinan politik yang ada di wilayah tersebut, baik kepemimpinan di tingkat desa maupaun kepemimpinan di tingkat kabupaten. Pemimpin politik yang ada di wilayah tersebut, khususnya ditingkat desa (menurut hasil diskusi di KRJB dan SRKB tahun 2007), minim kepeduliannya terhadap berbagai persoalan yang muncul di desa. Sementara itu, pada tingkat kabupaten, salah satu bupati (baca: Kediri) bahkan terhitung alergi terhadap upaya-upaya yang dilakukan organisasi alinasi. Hal ini terbukti ketika dilakukan rapat umum SRKB, bupati Kediri mencurigai kegiatan tersebut.
Persoalan lemahnya dan tidak pedulinya pemimpin politik ini, mengakibatkan persoalan akses rakyat terhadap sumberdaya ekonomi terbengkalai, terutama kelompok-kelompok rakyat yang selama ini bergabung dengan organisasi aliansi. Misalnya, ketika pemerintahan provinsi Jawa Timur membuat program bantuan 25 juta rupiaH bagi koperasi wanita, pemerintah Jombang malah lebih tertarik mendirikan koperasi-koperasi baru di desa-desa, ketimbang memberikan bantuan dana kepada koperasi-koperasi yang dimiliki oleh kelompok-kelompok anggota organisasi aliansi (KRJB). Hak mereka untuk mengakses kebijakan, terutama APBD, juga tidak diperhatikan dan dipenuhi, sehingga rakyat jauh dari akses tersebut. Sementara itu, ketidakpedulian pemimpin politik di desa terhadap rakyatnya, berakibat diabaikannya hak-hak rakyat desa untuk turut terlibat dalam pemerintahan desa. Hal ini terjadi hampir di seluruh desa dimana kelompok anggota organisasi aliansi berada, baik di Jombang, Kediri, Mojokerto maupun di Nganjuk.
Upaya-upaya yang dilakukan
Untuk menjawab persoalan lemahnya akses terhadap sumberdaya ekonomi yang berkaitan dengan minimnya modal usaha dan rendahnya ketrampilan manajemen, didirikanlah koperasi-koperasi di kelompok-kelompok yang selama ini menjadi anggota organisasi aliansi. Namun sebelum koperasi didirikan di setiap kelompok, para penggerak yang selama ini melakukan pengorganisasian di kelompok-kelompok tersebut terlebih dahulu mendirikan dan mengelola koperasi di antara para penggerak sendiri yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan para penggerak dulu. Di sisi lain, pendirian dan pengelolaan koperasi ini juga sebagai wahana belajar bagi para penggerak sebelum mendorong pendirian koperasi di kelompoknya masing-masing atau di kelompok yang diorganisir. Selain itu, informasi dan belajar ke koperasi lain juga dilakukan, misalnya soal teknik berkoperasi dan juga ideologi serta analisis dalam berkoperasi.
Sambil terus belajar, upaya mendorong pendirian koperasi di setiap kelompok juga dilakukan. Pendirian koperasi di tingkat ini tidak selalu berjalan mulus, karena tidak semua anggota kelompok bisa secara sukarela dan percaya begitu saja dengan pendirian koperasi. Di kelompok CAKRA Sengon, Jombang, misalnya, mula-mula hanya diikuti oleh delapan orang dari sekitar 50-an anggota kelompok. Kondisi ini tidak menjadi masalah, karena sifat dan keanggotan koperasi yang bersifat sukarela. Namun seiring berjalannya waktu, 90 persen anggota kelompok itu bisa menjadi anggota koperasi. Hingga saat ini, jumlah koperasi yang berbasis komunitas/kelompok di Jombang, Mojokerto, Kediri, Nganjuk dan Tulungagung berjumlah 37 koperasi, dari sekitar 110 kelompok yang menjadi anggota organisasi aliansi. Dan sejak awal tahun 2009, 25 kelompok telah menyiapkan untuk pendirian koperasi baru. Kelompok-kelompok yang mendirikan akan terus bertambah, seiring dengan semakin dirasakannya manfaat koperasi bagi anggota.
Koperasi yang didirikan selalu berbasis kelompok/komunitas tidak berbasis individual. Maknanya, pendirian koperasi merupakan kegiatan kelompok (meskipun secara organisasional, antara kelompok dan koperasi berbeda sifatnya), karena itu anggota koperasi adalah anggota kelompok. Keberadaan koperasi juga digunakan sebagai pengikat solidaritas di antara anggota, dan terbukti hal ini sangat efektif, karena ikatan ekonomi lebih material daripada yang ikatan yang lain.
Analisis yang selalu digunakan untuk memberikan makna bagi kegiatan-kegiatan berkoperasi ini adalah: pertama, sebagai alat perlawanan terhadap sistem ekonomi dominan saat ini yang sangat individual, kapitalistik dan dikuasai oleh pemilik modal besar. Sistem ekonomi koperasi berbeda dengan ekonomi kapitalis, karena ekonomi koperasi lebih adil dimana semua anggota bisa memiliki akses terhadap keputusan-keputusan yang dibuat; kedua, koperasi sebagai wahana perjuangan bagi pemenuhan hak ekonomi (hak hidup sejahtera). Jadi berkoperasi bukan hanya sekedar melakukan aktifitas simpan, pinjam, pembelian dan lain-lain, tetapi juga diberi makna sebagai aktifitas pemenuhan hak, yang sampai saat ini terus terabaikan. Meskipun analisis pemenuhan hak ekonomi ini masih belum secara tajam dilakukan, tetapi dalam setiap kesempatan hal ini selalu disampaikan, misalnya dalam pertemuan rutin koperasi atau dalam pelatihan-pelatihan kader koperasi. Masih butuh waktu dan tenaga untuk selalu memberikan perspektif ini di masa-masa mendatang.
Saat ini sedang disiapkan untuk mendirikan koperasi induk atau koperasi sekunder. Koperasi ini berfungsi sebagai koperasi penjamin bagi koperasi-koperasi yang ada di kelompok, tapi yang lebih penting, koperasi sekunder ini berperan sebagai forum belajar bersama untuk mengembangkan koperasi-koperasi kelompok, juga sebagai tempat untuk membicarakan penyusunan strategi pengembangan dan perjuangan, tidak hanya tentang masalah ekonomi tetapi juga persoalan-persoalan yang lain.
Selanjutnya, untuk mengatasi lemahnya akses terhadap sumberdaya politik dijawab dengan terlibat dan melakukan intervensi dalam proses politik, terutama ketika ada momentum politik. Momentum politik yang selama ini diintervensi oleh kelompok yang ada di desa-desa adalah pemilihan kepala desa dan Badan Perwakilan Desa. Diupayakan kader-kader kelompok bisa menduduki jabatan politik di desa tersebut. Hal ini berangkat dari pemikiran: "daripada jabatan politik diserahkan kepada orang yang tidak memiliki kepedulian kepada rakyat desa, lebih baik jabatan tersebut diambil dan jalankan seperti halnya ketika kader tersebut mengelola organisasi kelompoknya." Di antara kelompok-kelompok yang sudah mendudukkan kadernya di pimpinan desa antara lain di desa Joho Semen, Manggis Puncu - Kediri, Badang Ngoro dan Mojowarno Jombang.
Sedangkan upaya untuk terlibat dalam perebutan pimpinan politik di tingkat kabupaten, pada tahun 2010 ini dilakukan di kabupaten Kediri. Upaya keterlibatan tidak berangkat dari sesuatu yang kosong, tetapi berangkat dari keputusan yang dibuat dalam organisasi aliansi SRKB. Dalam kongres ke 2-nya, organisasi aliansi ini memutuskan untuk mengusung salah kadernya dalam Pilkada Kabupaten Kediri tahun 2010. Keputusan itu, disosialisasikan kepada seluruh anggota organisasi yang terdiri dari anggota-anggota kelompok.
Untuk merealisasikan keputusan tersebut dilakukan langkah-langkah berikut: pertama, melakukan restrukturisasi organisasi, yang dilakukan dengan mengubah struktur organisasi yang semula beranggotakan kelompok, menjadi organisasi yang memiliki struktur berjenjang dari kabupaten, kecamatan dan desa. Struktur ini untuk menunjang proses pemenangan yang akan dilakukan; kedua, melakukan survey kepada seluruh anggota, melalui kegiatan diskusi-diskusi di kelompok; ketiga, hasil survey di bicarakan dalam workshop lalu diseminarkan; keempat, melakukan kampanye hasil survey kepada masyarakat yang lebih luas bekerjasama dengan beberapa media massa; kelima, menyelenggarakan konvensi terbuka bagi semua kader yang akan maju; keenam, hasil konvensi dideklarasikan di hadapan semua anggota.
Semua proses ini telah dilakukan, meskipun SRKB memutuskan dalam rapat terakhirnya untuk tidak mengajukan calon bupati. Hal ini dikarenakan ada persoalan yang sifatnya sangat politis, dan banyak dipangaruhi oleh keputusan bupati Kediri yang saat itu mengajukan dua istrinya untuk bertarung dalam Pilkada. Namun demikian, seluruh proses untuk terlibat dalam pemilihan bupati di Kediri ini menjadi pelajaran yang sangat berharga. Bahwa terlibat dalam pemilihan bupati di Indonesia, bukanlah proses yang mudah bagi rakyat kecil. Selain akses terhadap sumberdaya politik sangat kecil, masih dibutuhkan ketangguhan dalam menjaga kekompakan, serta modal dan kerja keras untuk memperluas pengorganisasian dan menciptakan kader-kader yang militan.
Keterlibatan dalam perebutan pimpinan politik ini, seperti yang menjadi kesepakatan di antara anggota kelompok dan organisasi aliansi, dilakukan tidak sekedar untuk menduduki kursi dan berbuat seenaknya karena memiliki kuasa. Lebih dari itu, sebagai upaya untuk memperbaiki kondisi politik yang kini dikuasai oleh aktor-aktor politik yang tidak memiliki rekam jejak yang baik dalam memberikan pelayanan terhadap rakyat dan pemenuhan hak-hak rakyat.
Semua upaya yang disebutkan di atas, selalu dilakukan secara bersama-sama sebagai upaya membangun gerakan rakyat. Karena kami percaya, apapun persoalan yang melanda rakyat miskin, penyelesaiannya harus dimulai dengan membangun gerakan rakyat yang kuat dan tangguh.***